26. (18+) Lima Tahun yang Singkat

25.3K 716 21
                                    

Disclaimer

Part ini agak sedikit anu, tapi masih aman dibaca, kok.

***

“Rania ....”

Ucapan Sabda terdengar sangat berat di telinganya. Sesaat Shanum meneguk ludahnya. Dari dasar diri gadis itu, muncul sebuah kehangatan yang meledak. Lagi-lagi jantung Shanum berdetak di luar kendali.

Shanum berusaha untuk meloloskan diri dari Sabda yang berada dalam pengaruh alkohol, tapi tenaga pria itu cukup kuat untuk Shanum. Dia tidak bisa melakukan apa-apa. Shanum beberapa kali meronta berusaha untuk melepaskan diri.

Panas. Panas sekali.

Sabda sudah berpindah posisi menjadi di atas tubuh istrinya. Secara lambat, wajah Sabda terdorong ke wajah Shanum. Akal gadis itu seketika kosong, bahkan dia nyaris kehabisan oksigen.

Tatapan matanya semakin intens dan diselubungi gairah mendamba.

“Rania.”

Darah Shanum mulai berdesir sekaligus marah karena yang diucapkan Sabda berkali-kali adalah nama wanita lain. Shanum muak sekali mendengar nama itu. Shanum sakit hati karena merasa diperlakukan dengan tidak adil.

“Aku bukan Rania, lepaskan aku!”

“Maafkan aku, Rania.”

Entah kenapa mata Shanum memanas, air mata mengenang di sana. Seolah ada rasa sakit yang menyelusup ke dalam dada. Tatapan Sabda begitu sayu, bisa Shanum rasakan napasnya yang memburu, membuat jantung gadis itu kian bertalu.

Bibir itu mulai mendekat dan terjatuh di atas bibirnya. Butuh beberapa detik bagi Shanum untuk menyadari hal itu. Dia bahkan tidak mengerti maksud ucapan Sabda yang tadi.

Ini adalah ciuman pertama yang Shanum dapatkan di usia lima tahun pernikahan. Hangat dan mendamba. Mereka bertautan dengan cukup intens, berpagutan tanpa tuntutan. Shanum tidak bisa mengendalikan Sabda, dia hanya bisa terdiam ketika pria itu mencium bibirnya untuk pertama kali.

Sabda semakin menekan tangannya pada tengkuk Shanum, membuat ciuman itu semakin dalam. Sabda semakin tak terkendali dan Shanum mulai kehabisan oksigen. Perempuan itu terkejut saat tangan kekar Sabda mengangkat badannya dengan mudah lalu menempatkan kepala gadis itu di bantal dan membetulkan posisi mereka di ranjang.

Shanum masih terkejut dengan apa yang Sabda lakukan. Sebelah tangan Sabda mengunci tangannya di samping. Sampai sesuatu membuatnya tersadar. Pipi Shanum menghangat. Ada cairan bening yang mengalir. Wajah Shanum menjadi basah karena salah satu dari mereka menangis.

Sabda menangis, entah karena apa. Ini pertama kalinya dalam lima tahun mereka bersama, Shanum melihat Sabda menangis dengan mudahnya.
***
Shanum duduk dengan wajah ditekuk. Sisa air mata membias di wajahnya yang memucat. Dia berusaha menutupi tubuhnya dengan jubah yang semalam dipakai, tapi tetap terbuka di bagian paha. Di sebelahnya ada Sabda yang baru saja terbangun.

Shanum masih terlalu shock dengan apa yang terjadi. Memori menegangkan tadi malam masih terekam jelas dalam otaknya. Shanum masih tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi juga.

Sabda menggeliat dari tidurnya, matanya mengerjap enggan terbuka. Saat kesadaran Sabda sudah pulih, barulah dia terkejut melihat keadaan kamar yang begitu berantakan dengan baju yang tercecer di mana-mana.

Sabda menoleh ke arah samping, keterkejutannya tak sampai di situ. Sang istri yang tengah duduk di sampingnya jauh lebih kacau daripada dirinya. Mata Sabda membelalak, dia nyaris tak mengingat apa yang sudah terjadi semalam?

Sabda tidak ingin menebak kalau semalam mereka habis melakukan sesuatu.

“Apa yang terjadi?” tanya Sabda dengan bodohnya. Dia bangun sambil bertelanjang dada, menatap Shanum tak yakin. “Jangan bilang kalau semalam kita sudah melakukannya.”

Shanum menoleh ke hadapan Sabda, pria itu tidak mengingat kejadian semalam. Padahal Shanum sudah menyuruhnya untuk berhenti.

“Kenapa masih bertanya padaku? Apa kamu benar-benar tidak ingat kejadian semalam?”

Sabda menggeleng. Dia sudah berusaha mengingat kejadian tadi malam. Seingatnya, dia mabuk dan akhirnya tertidur. Sabda hanya bisa mengingat sampai ke sana.

Shanum menghela napas, percuma saja membuat Sabda mengerti. Mau bagaimana lagi, mereka berdua sudah melakukannya.

“Sudahlah, ini sudah terjadi. Lagipula yang kau pikirkan saat meniduri istrimu adalah wanita lain.”

Sabda membenci intonasi wanita itu saat menyebut namanya. Dia masih linglung dan tidak bisa membaca situasi. Benarkah yang dikatakan Shanum? Atau justru wanita itulah yang memancingnya untuk ditiduri?

“Kenapa kamu menerima begitu saja, saat ada pria me ....” Sabda menghela napas lalu melanjutkan ucapannya. “Menyodorkan diri padamu.”

“Bagaimana caraku melepaskan diri? Kamulah yang terus menahanku, kamu pikir aku tak kesakitan karena kamu terus melakukannya sambil menyebut nama wanita lain?”

Jawaban Shanum membungkam mulut Sabda dan membuatnya makin merasa gugup. Cahaya matahari yang terbias dari jendela kaca di belakang Shanum, membuat wajah wanita itu terlihat bersinar. Entah kenapa aura Shanum tampak berbeda sekali pagi ini.

“Mas—“

Sabda mengangkat tangan. “Stop! Kita nggak usah bahas ini lagi. Jika bisa, aku mohon padamu untuk lupakan.”

“Kamu berkata begitu seolah menyesal sudah meniduriku. Apa bagimu aku ini orang asing?”

Sabda memijat kepalanya pening. Bagaimana bisa dia kebablasan membayangkan Rania yang semalam dia tiduri, padahal wanita itu adalah Shanum, bukan Rania si selingkuhan.

Sabda masih berusaha mengumpulkan setiap keping ingatannya semalam, yang dia tahu malam itu, dia dibawa pulang oleh Shanum, kemudian dibaringkan di kasur dan akhirnya ... Sabda tak bisa menyangkal bahwa dia benar-benar sudah meniduri wanita itu.

Sabda tidak mengerti, kenapa dia harus gelisah. Padahal yang dia tiduri adalah istrinya sendiri, bukan orang lain. Justru seharusnya Sabda gelisah jika yang dia rusak kehormatannya adalah Rania yang jelas-jelas tidak sah di mata negara dan agama.

Tidak ada yang lebih canggung dari keadaan sekarang. Saat Shanum harus berhadapan dengan laki-laki yang mencumbunya tadi malam. Mereka duduk berhadapan dan membahas sex seolah-olah bukan hal besar. Sedangkan jauh di lubuk hati mereka tahu, apa yang mereka lakukan tadi malam itu tabu.

“Aku harus kerja.”

Bangkit dari ranjang, Sabda berusaha menghindari Shanum. Pikirannya buntu, kepalanya pusing sehingga harus berpegangan pada sandaran ranjang. Shanum memperhatikan penggerakan pria itu tanpa berani menginterupsi.

Sabda tak mau mengungkit hal ini lagi. Bahkan ada satu hal yang membuat Sabda benar-benar takut. Dia lebih dulu memunguti pakaian yang tercecer di lantai. Sebelum melangkah menuju kamar mandi, Sabda berbalik menghadap istrinya yang masih setia duduk di ranjang.

“Kamu masih perawan, ‘kan?” ucap Sabda tiba-tiba.

Shanum tak menjawab, dia hanya berpaling pada seprai di ranjangnya. Ada sedikit noda darah di sana, melihat arah tatapan wanita itu, Sabda langsung terbungkam.

“Lalu, bagaimana kalau terjadi hal yang tidak diinginkan?”

Shanum tahu ke mana arah pembicaraan Sabda. Dia pun bukan tidak memikirkannya. Bagaimana kalau dengan kejadian ini dia hamil. Tapi, bukankah itu kabar yang bagus? Inilah yang dinantikan oleh keluarganya. Apa yang harus Shanum cemaskan?

Tentu saja Shanum mencemaskan nasib anak dalam kandungannya nanti. Dia tidak akan memiliki figur ayah yang utuh.

“Aku berharap itu tidak terjadi.” Sabda menjawab pelan.

Shanum menghela napas, dadanya terasa berat. Dia menatap pria itu yang kembali lanjutkan langkahnya memasuki kamar mandi. Tidak ada percakapan lagi di antara mereka.

“Tapi seandainya terjadi sesuatu, bisakah kamu memberitahuku?” kata Sabda tiba-tiba.

Berat rasanya untuk menjawab ‘iya’ karena membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi sudah membuatnya takut. Bagaimana kalau Sabda berencana menggugurkan bayinya hanya karena dia tidak menyukai Shanum hamil?

Sejak awal sebelum menikah, Sabda sempat menolak. Dia berdalih tak akan bisa memberikan keturunan untuk Shanum terlebih dia tak mencintainya. Namun, Shanum selalu mengatakan baiklah.

Bahkan dia tak pernah sekalipun menuntut Sabda untuk memberinya keturunan. Shanum sadar, Sabda tak akan bisa menjadi sosok ayah yang baik.

***
Suara ketel adalah penanda pertama kekosongan pagi ini. Ditemani seduhan kopi hitam, juga sayur sop sebagai pengisi perut, Shanum melangkah perlahan menuju ruang makan.

Tidak ada yang spesial. Sabda baru saja berangkat ke kantor karena sibuk dengan pekerjaan. Sementara yang membuat Shanum asing dengan pagi ini adalah rasa sakit yang mendera pusat tubuhnya. Dia harus berjalan perlahan karena rasa perih yang ditimbulkan oleh pria itu semalam.

“Apakah memang begini rasanya baru pertama kali melakukannya?”

Shanum berusaha untuk menahan rasa sakit dengan cara duduk merapatkan kaki, dia kesulitan untuk sekadar buang air kecil karena ini adalah pertama kali dalam hidupnya selama Shanum menikah dengan Sabda, wanita itu tidak menyangka rasanya akan seperti ini.

Sementara itu, Sabda pergi begitu saja tanpa rasa bersalah, dia tidak memikirkan perasaan Shanum. Setelah membuat istrinya kesakitan karena kesalahan tak disengaja itu, Sabda masih saja bersikap ketus padanya.

Sejenak menggesekkan kedua telapak tangan untuk mencari kehangatan, netranya lekas jatuh pada pintu kaca bening di halaman belakang yang tengah menunjukkan suasana pagi yang damai. Shanum jadi ingin keluar rumah hari ini demi menetralkan pikiran.
***
Sabda mengacak rambutnya frustrasi. Dia beberapa kali mendengkus kesal dan menyalahkan diri karena kecerobohannya yang tak termaafkan.

Bagaimana bisa semalam dia mabuk berat dan meniduri Shanum? Sabda tak bisa mengingat kejadian itu dengan cukup jelas. Melihat kondisinya tadi pagi, mana mungkin Shanum berbohong.

“Kenapa semalam aku mabuk berat? Dan kenapa Shanum menjemputku?”

Sabda yang uring-uringan terus meracau, dia memikirkan hal buruk yang akan terjadi ke depannya nanti. Bagaimana kalau Shanum hamil?

Sabda memang pria paling buruk di dunia. Bagaimana bisa dia takut Shanum hamil, padahal yang dia tiduri jelas adalah istrinya sendiri. Bukankah itu bagus? Sabda jadi bisa membungkam mulut orang tuanya supaya berhenti merecokinya tentang anak.

Kekalutan Sabda tidak kunjung selesai sampai di situ, dia teringat pada Rania yang hendak dia nikahi, haruskah Sabda benar-benar menikah dengan gadis itu setelah dia berhasil meniduri Shanum?

“Ah, berengsek!”

Sabda melempar berkas yang ada di hadapannya. Kepala pria itu benar-benar sakit karena dipaksa untuk bekerja pasca mabuk semalam. Belum lagi dengan masalah Shanum yang membuatnya antara percaya dan tidak.

Entah langkah mana yang harus diambilnya sekarang, Sabda jadi gelisah. Haruskah malam ini dia pulang ke rumah? Jika dia pulang, Sabda pasti akan bertemu dengan istrinya dan dia bingung harus bersikap bagaimana nanti.



TBC

Update lebih awal karena semalam author dilanda flu.

Cara sederhana untuk menyemangati author, cukup vote, komen, dan share ❤️

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now