28. Kenyataan Pahit

16.9K 714 14
                                    

Rania tengah melamun sejak tadi pikirannya tidak tenang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rania tengah melamun sejak tadi pikirannya tidak tenang. Ini sudah hari kelima, Sabda lagi-lagi tak ada kabar. Dia bimbang, haruskah dia menelepon pria itu? Tapi, Rania takut akan mengganggunya.

Pikirannya kembali berkelana pada wanita yang dia ingat hari itu, wanita cantik yang pergi ke toko roti menggunakan mobil Sabda. Juga menyebut nama kekasihnya ketika bertemu dengan seorang teman. Dia masih penasaran ada hubungan apa di antara mereka.

“Apa aku memang harus mencari tahu semuanya sendiri?” gumam Rania penuh kebimbangan.

Pada akhirnya Rania memberanikan diri untuk pergi ke luar. Tak ingin dihantui perasaan bersalah terus menerus, dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika Sabda tak mau mengatakannya, maka Rania yang akan mencari tahu semuanya.

Rania berbelok gang lebar mengarah pada distrik perumahan. Dia ingat Shanum sempat ke rumah ini hari itu. Rania masih mengingat dengan jelas lokasinya. Ya, Rania ingin bertanya pada seseorang. Siapa tahu orang tersebut bisa memberi Rania informasi.

Gadis itu menekan bel dan langsung berseru, “permisi.”

Rania menekan bel itu kembali, dan pemilik rumah tersebut keluar dari dalam. Ekspresinya langsung terkejut saat melihat siapa orang yang datang ke rumahnya.

“Ya?”

Rania melihat perempuan berambut pendek membuka pintu rumah. Awalnya, dia ragu untuk bertanya, tapi Rania tidak punya pilihan. Rasa ingin tahunya terlalu mendominasi. Jadi, lebih baik dia menahan rasa malu ketimbang terus merasa bimbang.

“Maaf, kalau saya lancang, tapi ngomong-ngomong apakah Anda punya waktu? Bisa kita bicara sebentar?” pinta Rania tulus.

“Siapa, ya?” Nada Sinar terdengar ragu. Namun, sopan.

“Mungkin kita bisa bicara dulu,” tawar Rania sedikit tergesa.

Sinar menimbang dan mengangkat sebelah tangannya yang dibelit arloji, lalu kembali menatap Rania.

“Tapi saat ini aku tidak punya banyak waktu. Ada urusan penting yang harus kukerjakan. Mungkin kita bisa bertemu lagi kapan-kapan.”

Sinar menolak permintaan Rania secara halus, wanita itu hendak kembali menutup pintu rumahnya. Namun, sebelum dia benar-benar masuk, suara Rania membuat penggerakannya berhenti.

“Sebentar saja. Mbak kenal Mas Sabda, kan? Aku ingin bertanya soal itu, Mas Sabda adalah kekasihku.”

Kata-kata itu tanpa bisa Rania cegah langsung menyeruak ke permukaan.
***
“Kamu tunggu di sini, aku ke dapur dulu untuk membuat minuman.”

Rania hanya membalas ucapan Sinar dengan seulas senyum kikuk. Sejak Rania mengakui bahwa dirinya adalah kekasih Sabda, wanita itu tidak punya pilihan lain selain membiarkannya masuk.

Entah apa yang ingin Rania sampaikan. Namun, Sinar punya firasat lain. Sinar merasa bahwa kedatangan Rania ke rumah ini karena suatu hal, dia tidak bermaksud jahat.

Dia mengizinkan Rania duduk di sofa sementara dirinya pergi ke dapur untuk membuat teh dan camilan. Sementara itu, Rania melihat-lihat semua perabotan di rumah ini kurang dari dua puluh detik.

Rania bisa melihat dari balik pintu geser dua sisi yang terbuka dan menampilkan kebun asri yang terurus, berdiri satu pohon rindang, usianya mungkin sudah puluhan tahun. Ada pot-pot bonsai berjajar di lantai kayu serta empat tiang jemuran. Rumputnya terawat, mirip artifisial, tapi Rania tahu itu asli. Percikan sinar matahari pagi yang masih muncul malu-malu membuat segalanya lebih cantik seperti ilustrasi buku dongeng.

Selagi menunggu wanita itu kembali, pandangannya berkeliaran lagi. Banyak barang seperti kursi, meja, jam antik sudut, dan rak ukuran delapan puluh senti penuh buku. Dari deretan buku itu dia mampu menemukan beberapa judul dongeng anak-anak.

Bertepatan ketika Rania tengah memandangi foto-foto keluarga kecil Sinar yang menyebar di dinding, pemilik rumah tersebut membuka pintu dengan membawa nampan kecil. Rania hendak berdiri membantunya.

“Tidak apa-apa, duduk saja.”  Sinar menahan lebih dulu saat pantat Rania baru menjauhi sofa beberapa senti.

Sinar mengambil tempat di depannya. Hanya ada satu minuman yang dia bawa. Artinya, Sinar hanya menyediakan minuman untuk Rania.

“Minumlah dulu.”

Meskipun sedikit segan, tapi Rania memilih menurut, dia meminumnya seteguk. Tidak menampik.

Sinar memperhatikan penampilan Rania, cukup menarik. Pantas saja Sabda bisa jatuh cinta padanya. Rania tidak berlebihan, Sinar tahu itu.

“Jadi, kamu Rania?”

Sinar membuka obrolan, lantas tersenyum dan menempatkan sebelah kaki jenjangnya ke atas paha kiri sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Rania meletakkan kembali gelas itu ke atas meja sebelum menjawab pertanyaan Sinar.

“Ya. Benar.” Rania terkejut karena Sinar mengetahui namanya lebih dulu. Dia bahkan belum memperkenalkan diri. Apakah wanita ini sahabat Sabda atau siapa?

Rania ikut diam ketika Sinar diam. Sesungguhnya Sinar menunggunya mengatakan sesuatu. Ada banyak sekali hal yang ingin Rania tanyakan. Namun, entah kenapa semua pertanyaan itu seperti tercekat di kerongkongan.

“Jadi, kamu tidak ingin tanya siapa namaku? Apakah kita harus mengobrol tanpa saling mengenal?” tanya Sinar.

Pertanyaan menjebak. Rania tidak tahu harus bagaimana bereaksi ketika melupakan etika berkenalan. Dia merasa sangat gegabah untuk pertemuan pertama.

“Maafkan aku. Iya, namaku Rania. Nama Mbak siapa, ya?”

“Tidak masalah. Aku Sinar.” Dia menarik napas lega. “Senang akhirnya kita bisa bertemu. Aku sering dengar banyak hal tentangmu.”

“Ah, benarkah? Terima kasih.”

Walaupun Rania tidak tahu apa yang harus dia terima kasihkan dari semua itu dan dia tidak tahu siapa orang yang sudah sering menceritakan tentangnya pada Sinar.

“Kamu masih kuliah, benar?”

Rania hanya mengangguk. Dia sedikit jengkel karena Sinar malah berbasa-basi. Rasa penasarannya sudah di ujung tombak sekarang.

“Sebetulnya kedatanganku ke sini karena suatu hal, aku ingin bertanya tentang sesuatu,” celetuknya. “Ini mungkin terdengar sangat tidak sopan tetapi aku pernah melihat sahabatmu memakai mobil kekasihku. Aku hanya penasaran ada hubungan apa mereka? Karena ini selalu mengusikku.”

Rania berkata to the point. Dia benar-benar tidak bisa terus mengulur waktu, dia ingin tahu kebenarannya. Apakah benar Sabda berselingkuh darinya?

“Jadi maksud kamu menemuiku hanya untuk menanyakan hubungan wanita itu sama Sabda?”

“Ya, begitulah.” Rania terlihat sedikit putus asa.

Sinar terus tersenyum. “Aku tidak tahu harus jawab gimana, ya. Soalnya, ini hal yang cukup sensitif dan rumit.”

“Kenapa?” Rania semakin penasaran.

“Nanti kamu akan sangat terluka. Aku tak bisa bertanggung jawab.”

“Ada apa? Paling tidak berikan aku jawaban logis.”

Sinar menggeleng. “Sebaiknya kamu tanyakan langsung pada kekasihmu.”

Sinar tidak mau ikut campur dalam masalah rumah tangga sahabatnya. Meskipun dia sendiri gemas ingin membongkar semua kebusukan Sabda, tapi dia tak bisa melakukan apa-apa tanpa seizin Shanum.

“Aku hanya ingin jawabannya dari Mbak Sinar. Kenapa? Karena ada sesuatu di antara mereka? Tolong aku, Mbak. Aku bingung dengan semua ini, aku hanya butuh kejujuranmu. Mas Sabda akan menikahiku tak lama lagi. Jadi, tolong katakan yang sejujurnya padaku.”

Sinar terkejut mendengar ucapan Rania barusan. Apa tadi katanya? Sabda akan menikah? Apa Sinar salah dengar? Jantung wanita itu berdebar tak keruan. Apakah Shanum tahu hal ini?

“Apa maksud kamu? Sabda mau nikahin kamu?”

Rania mengangguk. “Ya, begitulah. Cuma ... akhir-akhir ini ada yang gak beres, aku jadi sering kepikiran.”

Sinar menghela napas cukup berat, matanya terpejam seolah tengah menahan rasa kesal yang membara. Sinar ingin sekali membunuh Sabda dan memotong tubuhnya menjadi beberapa bagian. Kenapa ada suami sekejam itu? Dia berniat menikahi selingkuhannya di belakang istri sah? Apa tidak gila namanya?

Sinar sempat sesak napas dibuatnya. Belum reda keterkejutannya tentang Shanum yang pertama kali disentuh oleh suaminya, sekarang dia kembali mendengar kabar buruk tentang suami Shanum yang ingin menikah lagi.

Sinar tidak mengerti rumah tangga macam apa yang tengah dijalani oleh dua orang tersebut.

“Mbak, tolong aku, ya. Aku janji gak akan bilang apa-apa ke Mas Sabda atau siapa pun kalau memang tak boleh.”

Rania masih terus memaksa, dia hanya ingin tahu kebenarannya. Nurani Sinar langsung goyah, mendengar hal ini jelas dia tak bisa diam saja. Shanum pasti akan sangat terluka.

“Baiklah, karena kamu yang meminta, aku akan menjelaskan semuanya padamu, tapi aku mohon apa pun kalimat yang aku ucapkan, kamu harus percaya. Kumohon, aku tak bermaksud membuatmu terluka, karena memang sudah banyak yang terlukai di sini.”

Sinar berusaha untuk meyakinkan Rania terlebih dahulu, dia sebenarnya kesulitan untuk menjelaskan hal rumit seperti ini.

“Pertama-tama, Rania kamu harus mengerti bahwa kekasihmu ....”

Rania menyimak dengan serius ucapan Sinar, dia tidak sempat menyiapkan hati terlebih dahulu, tapi semoga saja dirinya kuat.

“Kekasihmu bukan pria lajang, dia pria beristri.”

DOUBLE KILL!

Kepala Rania refleks terangkat, mulutnya tersingkap dan Rania bisa merasakan ada getaran dalam tenggorokannya. Sakit, apakah wanita ini sedang bercanda?

“Jangan bohong padaku!”

Rania menatap Sinar dengan sorot tidak percaya. Entah kenapa dia tidak bisa mempercayai apa yang wanita itu katakan, sekalipun benar, tidak mungkin Sabda bisa berbohong sekeji itu padanya.

Rania berusaha mencari celah kebohongan pada diri Sinar. Dia harap apa yang didengarnya barusan hanyalah gurauan semata, meskipun benar tidak dia temukan satu keraguan di diri Sinar. Wanita di depannya justru tersenyum. Dia sudah bisa menebak kalau gadis itu akan menyangkal kenyataan yang ada.

“Kenapa tidak percaya? Begitulah kenyataannya, Sabda dan Shanum sudah menikah selama lima tahun. Mereka sah di mata negara dan agama. Namun, seperti yang kamu lihat, dia malah berselingkuh.”

TRIPLE KILL!

Rania masih diam, tidak tahu harus menjawab apa. Seandainya benar apa yang Sinar katakan, ini semua terasa menyakitkan baginya. Rania bahkan sempat beberapa kali meminta pria itu untuk segera memberi kepastian. Dia tak tahu kalau Sabda sudah memiliki istri.

Ternyata keraguannya selama ini adalah bukti bahwa dia benar-benar tidak pernah serius pada Rania. Pantas saja Sabda selalu banyak alasan. Terlalu banyak kejanggalan yang dia rasakan. Namun, kemarin Sabda datang ke rumah dan merencanakan pernikahan pada sang ayah. Apakah ini artinya Rania akan dijadikan istri kedua?

“Bagaimana bisa? Bagaimana bisa pria itu sudah lama menikah, tapi malah berselingkuh denganku?”

Sinar menaikkan bahunya acuh. Dia sendiri tidak mengerti isi kepala pria itu, padahal Shanum jelas lebih cantik. Dia wanita mandiri dan cerdas, tapi kenapa takdir hidupnya begitu menyedihkan.

“Ya, aku sendiri pun tak bisa menyalahkanmu sebab kamu sendiri saja baru tahu kalau Sabda selingkuh. Shanum menyuruhku untuk diam saja saat itu karena mereka sudah bersepakat untuk tidak bercerai, tapi mendengar dia akan menikahimu. Sepertinya tak lama lagi mereka akan bercerai.”

Rania terdiam mendengar ucapan Sinar. Apa benar yang dia katakan tadi? Apakah dia tanpa sadar sudah menjadi penghancur kebahagiaan orang lain? Apakah semua ini sepenuhnya salah Rania?

“Tapi jika kamu pun sangat mencintai Sabda, aku tak bisa memaksamu untuk meninggalkannya. Justru aku senang, setidaknya Shanum bisa lepas dari suami laknat seperti dia!” Sinar mulai gusar.

Rania tak banyak bicara, dia masih sibuk mencerna apa yang terjadi. Hatinya begitu sakit. Dia seperti hilang pijakan. Bagaimana Sabda bisa membohonginya selama itu?

Melihat Rania yang terus diam, Sinar lama-lama merasa serba salah juga. Dia yakin gadis itu pun terkejut mendengar kenyataan ini. Dia hanya korban dari keegoisan Sabda. Tidak sepantasnya Sinar marah padanya.

“Bicaralah pada Sabda. Katakan yang sebenarnya, aku yakin jika kamu yang bicara, dia tak akan mengelak lagi,” putus Sinar akhirnya.

.

.
TBC

Alhamdulillah udah ketahuan gaes, tapi drama mereka masih panjang. 🤣

Terima kasih sudah support terus sampe ke bab ini huhu. Lope u ❤️

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now