2|

292 47 0
                                    

Buku biru yang waktu itu Aruna Irvetta letakkan di kapal adalah novel bertemakan Kerajaan yang dikelilingi oleh Samudera. Sungguh sebuah keindahan dan kekayaan melimpah dengan sumber daya alam yang tidak ada habisnya, jika dilihat dari sudut pandang positif. Namun tentu saja, arus laut dari berbagai arah menjadi gangguan tersendiri, mulai dari yang paling tenang sampai yang paling ganas.

Nama kerajaan itu adalah Oseania Kingdom. Benar-benar mencerminkan keadaan kerajaan itu sendiri. Anehnya, kerajaan ini memiliki tiga iklim berbeda. Iklim panas di sekitar pantai—yang mana hanya terdapat dua musim di sana yaitu kemarau dan hujan. Sedangkan beberapa kilometer dari pantai terdapat hutan-hutan yang membuat suhu semakin sejuk. Jika pantai dengan berbagai macam olahan laut, maka daerah selanjutnya dikenal dengan perkebunan kopi, teh, dan cokelat. Perbedaan daerah ini dengan daerah pantai adalah memiliki dua musim kemarau, yaitu kemarau sejuk dan kemarau panas. Kemudian daerah terakhir memiliki empat musim, musim dingin, musim semi, musim kemarau, musim gugur.

Sebagai Aruna Irvetta, ia dulu tinggal di dekat pantai, iklim panas. Sebagai Irvetta Iridis, ia tinggal di daerah terjauh dari pantai sekaligus paling dekat dengan pegunungan. Akibatnya, Irvetta harus menyesuaikan diri. Sebagai Irvetta, ia tidak diperbolehkan pindah ke sisi terluar kerajaan. Percaya atau tidak semakin jauh kamu dengan pantai, maka pangkat keluargamu makin tinggi. Khas peradaban kerajaan penuh diskriminasi. Tapi, perkunjungan keluar dalam artian kunjungan bisnis masih diperbolehkan.

Irvetta menghela napas. Napasnya saat ini bahkan terlihat di udara. Benar-benar dingin, ia belum terbiasa. Badannya menggigil. Ia suka dingin tapi tubuhnya tidak.

"Irvetta? Kau kedinginan? Kenapa tidak menyalakan perapian?" Ah, itu Sora, kakaknya.

"Aku tidak bisa bergerak." Malas lebih tepatnya.

Kakaknya menghela napas, kemudian mendekati perapian dan menyalakannya. "Paling tidak kau bisa panggil pelayan."

Benar. Irvetta masih lupa tentang hal itu. "Lupa."

Sora mendekat ke arah ranjangnya. "Mau aku peluk?" Irvetta membelalak kaget. "Apa? Tidak mau? Biasanya juga begitu."

Oh Irvetta, apa kau sedekat itu dengan kakakmu ini? Sebagai Aruna Irvetta, ia tidak suka disentuh laki-laki yang tidak dikenalnya dengan baik. Tapi ini kan kakak Irvetta... namun ia masih belum terbiasa menjadi Irvetta, ia baru seminggu di sini—bertepatan dengan pergantian musim. Irvetta menggerutu dalam diam.

Irvetta masih diam. Sora, kakaknya itu di kehidupan ini mendekat, memeluknya. Hangat. Astaga, Irvetta ingin lari. Tapi ini hangat.

"Lebih baik?" Irvetta mengangguk.

Sejujurnya Irvetta masih canggung dengan keluarga barunya. Tapi... Mereka begitu baik. Mereka memperlakukan dengan benar, hal yang dulu Irvetta tidak pernah pikirkan untuk mendapatkannya. Sebagai Aruna Irvetta, ia sudah menyerah dan tidak menginginkan apa pun. Dalam kondisi seperti ini, sebagai Irvetta Iridis, apa yang harus ia lakukan? Ia tidak tahu.

"Irvetta, kenapa kau melamun? Apa yang kau lamunkan?" Lagi, Sora mengajaknya berbicara dengan nada lembut.

Irvetta menggeleng, "...aku hanya sedang berpikir."

"Apa itu?" Kakaknya itu menatapnya ingin tahu.

"Kalian sangat baik, padaku. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Apa...yang harus aku lakukan?" Jawaban sekaligus pertanyaan itu membuat Sora terdiam sejenak.

Dua orang di sana, di dekat pintu masuk ikut mendengarkan. Mereka merasa sangat sedih, seakan baru saja mendengar suatu hal membuat mereka tertusuk. Mereka adalah orang tua Irvetta Iridis.

"Irvetta..." Perempuan paruh baya itu memegang lengan lelaki di sampingnya.

"Kau tahu," Sora mulai membuka suara. "Kami baik padamu karena kau keluarga kami. Setiap anggota keluarga berharga. Jadi, tidak perlu merasa terbebani... Itu bukan apa-apa."

Sea of HopeWhere stories live. Discover now