22|

30 14 0
                                    

Ada yang baca sesuatu wall ku kemarin nggak? :) Aku tau nunggu dikabarin itu nggak enak. Jadi sering-sering cek wallku, kalau mau dapet notifikasi ya follow akunku. Tapi nggak wajib, hehe. Aku biasanya nulis info update di sana buat ngabarin, wkwk.

cece's

Hari ini Irvetta akan menemui kakaknya, Sora. Tidak sendiri, kedua laki-laki dari keluarga Nivalis itu entah bagaimana caranya ikut. Mereka sepakat bertemu di zona latihan kelas Matahari. Kebetulan tidak ada yang memakainya hari ini.

"Bagaimana kabar ayah dan ibu?" Irvetta bertanya.

"Jika kau penasaran, pulang." Irvetta mendengus.

"Kau tahu ini bukan saatnya liburan. Bahkan aku belum setahun di sini." Sora menghela napas.

"Ya, dan kau sudah banyak berubah padahal belum genap setahun." Irvetta menampilkan raut datarnya.

Semalam adalah hari penghapusan atau apapun itu sebutannya. Irvetta lebih bisa mengendalikan dirinya berkat itu. Tapi kakaknya juga mungkin akan lebih curiga, karena...

"Apa yang terjadi padamu? Aku tidak merasa mengenalmu lagi." Irvetta menahan napas.

"Apa maksudnya itu?" Irvetta harus mengakui kalau kakaknya ini memiliki intuisi tajam.

"Kemarin saat aku memergoki kalian saat entah membicarakan apa, aku merasa kau telah menemukan keinginanmu, kau terlihat lebih hidup. Tapi kau terasa semakin menjauh karena itu. Hari ini, kau terasa semakin jauh." Irvetta mendengarkan dengan baik.

"Itu benar, aku telah menemukan tujuanku. Kemudian, jika kakak merasa aku berbeda...itu karena aku berusaha menyesuaikan diri, tapi aku tidak sedang menjauh. Kakak, aku mengerti... sebelum ini mungkin kita sangat dekat. Maaf, aku melupakan semuanya... nanti, setelah keluar dari akademi aku akan menebusnya. Bisakah aku?" Irvetta menjawab dengan tegas sekaligus lembut.

Irvetta dapat melihat kakaknya cukup lega setelah itu. "Baiklah. Jaga dirimu."

"Tentu, kakak juga. Jagalah ibu dan ayah." Sepasang kakak beradik itu melemparkan senyum.

"Apa semua kakak adik seperti ini?" Noa yang sedari tadi memperhatikan mereka akhirnya membuka suara.

"Sepertinya keluarga Iridis sangat dekat satu sama lain." Sean menimpali.

"Jadi, kenapa kalian di sini?" Tanpa menjawab pertanyaan Noa, Irvetta bertanya.

"Kau benar-benar dekat dengan mereka?" Irvetta mengangkat bahu mendengar pertanyaan kakaknya.

"Oh benar. Kami ingin membicarakan kasus itu. Kakakmu belum tahu—"

"Tahu apa?" Sora menyela.

"Kami menemukan mayat Zoldian itu bersama, siswa yang dimaksud adalah Irvetta, adik anda."  Sean menjawab.

"APA?!" Irvetta menghela napas.

"Tidak perlu terkejut seperti itu." Irvetta menatap kakaknya sedikit kesal.

"Apa itu kembali lagi?" Irvetta kali ini bingung.

"Kembali?"

"Oh benar, kau mungkin tidak ingat. Sejak dulu kau tidak pernah ingin keluar dari kediaman karena takut...kami awalnya tidak mengerti apa yang kau takutkan." Sora menjeda. "...kau hanya bilang, melihat banyak hal mengerikan saat keluar dari kediaman. Hal-hal seperti kematian. Ada waktu di mana kau seolah tidak bernyawa, melamun seharian. Seperti waktu itu, saat kau tiba-tiba tenggelam... mungkin lebih pantas disebut menenggelamkan diri."

Irvetta terkejut, begitu juga Noa dan Sean. "...aku begitu?"

Sora mengangguk. "Kau tidak ingat? Kau pernah tidak mau keluar seharian dan mengatakan ada pelayan yang...apa katamu waktu itu? Menyeramkan? Kami mengira kau mungkin disiksa, tapi kau bilang...pelayan itu berjalan pincang dengan leher...uh, intinya begitu."

"Lalu apa yang terjadi?" Noa terlihat tertarik.

"Malam harinya, ada pelayan yang mati karena terjatuh dari tangga. Kaki kanan dan lehernya patah." Ketiga orang yang mendengar cerita itu terlihat terkejut dengan berbagai macam raut wajah.

"Uh." Irvetta memijat keningnya pelan.

"Kau tidak enak badan?" Irvetta menggeleng.

"Aku membayangkan apa yang kau ucapkan. Itu mengerikan." Irvetta meringis.

"Benar, kau mengatakan itu. Mengerikan." Sora mengangguk-anggukkan kepala.

"Jadi anak ini dari dulu sudah seperti ini?" Sora mengangguk.

"Hm, tidak. Ini berbeda...aku tidak melihat hal-hal seperti itu, untungnya. Aku tidak bisa membayangkan jika harus melihat hal seperti itu, uh. Aku tidak bisa mengatakan ini lebih baik, yah, tapi mungkin aku harus bersyukur karena tidak melihat..." Irvetta bergidik ngeri.

Meskipun Irvetta berkali-kali melihat orang-orang yang akan mati, Irvetta sama sekali tidak berminat untuk melihat dalam wujud seperti itu. Bagaimana Irvetta yang dulu menjalankan hari? Itu pasti sangat menggangu.

"Jadi intinya, kau menemukan orang dari Zoldian itu dengan kemampuanmu?" Irvetta mengangguk. "Apa kau merasa kesulitan dengan itu?" Irvetta kali ini diam cukup lama kemudian menggeleng.

Itu sudah tugasnya.

Sean melirik Irvetta yang tiba-tiba terlihat merenung. Ia teringat malam saat Irvetta menangis. Apa yang membuatnya seperti itu? Apakah setelah malam itu, Irvetta baik-baik saja tanpa mimpi buruk? Irvetta tiba-tiba menoleh kepada Sean.

"Apa?" Irvetta tentu saja bingung karena merasa diperhatikan dengan tatapan aneh.

"Tidak." Irvetta masih menatapnya dengan mata menyipit, seakan memaksanya untuk membuka suara. "Apa kau masih bermimpi buruk?"[]

Sea of HopeWhere stories live. Discover now