BAB 11

123 31 0
                                    

•••

Harapan orangtua Rey pada hubungan Keira dan Rey sangat besar. Dan bukannya Keira tak tahu. Dia sadar sekali tentang keinginan mereka itu. Tapi masih ada simpul yang belum lepas di hatinya.
Keira bisa memaafkan apa pun, tapi untuk pengkhianatan. Dia tak bisa menerima lagi.

Rey memang berhubungan dengan Chacha setelah mereka putus. Tapi cara mereka berpisah, cara Rey meninggalkannya, cara Rey kembali berhubungan dengan Chacha, dia merasa Rey telah mengkhianatinya.

Orang sering bilang, kalau bosan kalau tak cinta, putuskan dulu pasanganmu baru cari pasangan baru, jangan selingkuh, jangan berkhianat. Ya, Rey memang melakukan hal itu. Tapi putus tanpa penjelasan lalu tibatiba menjalin hubungan baru apa itu benar? Tentu saja bagi Keira itu tak benar. Setidaknya jika Rey sudah tak mau bersamanya lagi, harusnya pria itu bicara dulu baikbaik dan akhiri hubungan dengan baik. Dulu Rey memulai hubungan sepihak, memutuskan juga sepihak. Keira merasa dirinya hanya mainan yang bisa sesuka hati Rey kendalikan. Itu lah simpul besarnya selama ini. Dia hanya butuh penjelasan.

"Bubund!" panggil Khai melambailambai tangan di depan wajah Keira. Dari tadi dipanggil tak menyahut.

"Kenapa sayang?"

"Bubund menangis!" ucap Khai lalu menyeka air mata di pipi Bundanya. "Bubund okay?"

"Bubund baikbaik saja! Oh ya, Khai senang main dengan Kakek dan Nenek?" tanya Keira mengalihkan perhatian.

"Senang!" jawab Khai sambil tersenyum.

"Besok Kakek dan Nenek akan mengajak Khai bertemu Mama Chacha, Bubund dan Papa ikut?"

"Maaf sayang. Besok Bubund tak libur. Titip salam saja buat Mama Chacha, okay?"

Khai mengangguk mengiyakan.

"Anak baik!" Keira mengusap kepala anaknya. Sangat manis ketika Khai menyebut 'Mama Chacha'. Meski bahagia, tapi Keira sedikit sedih. Dia senang karena Khai tak menidakkan keberadaan Chacha. Tapi di sisi lain ada perasaan tak tertahankan di hatinya. Bukan benci atau pun kesal. Hanya ada sesuatu yang tak bisa dia jelaskan.

***

"Key, kenapa melamun?" tanya Eca.

"Hah? Euh gpp!" jawab Keira. Dia sedang memikirkan Khai yang jauh darinya. Kemarin anak itu pergi menemui Chacha dan tak pulang, dengan sekarang sudah dua hari anak itu tak di rumah. Keira rindu. Ini akhir pekan, harusnya mereka bisa bermain bersama.

"Kau tak enak badan?" Kali ini Ryan yang bicara. Sejak meeting waktu itu dia masih stay di hotel, tak pulangpulang. Demi bisa berkumpul dengan mereka.

"Aku baikbaik saja!" ucap Keira.

"Btw, kenapa Ana belum datang ya? Tumben telat. Biasanya dia paling on time! Dan ... Eh itu dia!" ucap Eca menunjuk ke pintu Kafe.

Ana tersenyum melambai pada mereka. Namun, yang tak mereka duga. Bukan hanya Ana saja yang mereka lihat. Tapi ada Rey juga.
Ryan dan Eca langsung menatap Keira.

"Haruskah kita pindah kafe saja?" kata Eca.

"Tak usah!" jawab Keira tak acuh.

"Kenapa ya bisa kebetulan seperti ini?" ucap Ryan dengan nada sedikit kesal. "Waktu itu kita bertemu pria yang pernah menyakitimu juga, sekarang kita bertemu orang ini pula. Dari sekian banyak kota di negara ini, kenapa mereka bisa ada di kota yang sama denganmu, Key?"

"Mana kutahu!" balas Keira masih berusaha bersikap tenang.

"Kalian lagi bahas apa? Pasti ngomongin aku ya?" tanya Ana yang sudah bergabung dengan mereka.

"Pede!" cebik Eca.

Keira melirik Rey yang duduk dua meja dari mereka. Kenapa orang itu bisa muncul di tempat yang sama dengannya? Keira terus bertanya dalam hati dan merasa sedikit tidak nyaman.

"Eh kenapa suasananya agak tegang gini?" tanya Ana lagi. Tak biasanya temantemannya jadi pendiam.

"Ada Rey di sini. Arah jam empat!" bisik Eca.

Sontak Ana langsung menoleh memastikan. Eca segera membalikkan kepala Ana dengan kesal.

"Jangan lihat lah ish!" marah Eca.

"Kenapa dia bisa ada di sini?" tanya Ana.

"Ya mana kita tahu. Emang kita emak bapaknya!" jawab Eca.

"Key, kau tak merasa ingin muntah kan melihatnya?"

Eca mencubit tangan Ana, "Kenapa kau bertanya begitu?"

"Ya kan siapa tahu. Kita tahu benar betapa bencinya Key pada orang itu. Kalau Key tak nyaman kita pindah tempat saja, maksudku begitu," jelas Ana.

"Hey sudahlah, anggap saja dia tak wujud. Kita makan dengan bahagia saja tak usah pikirkan hal lain," sampuk Keira.

Mereka melanjutkan makan dengan gembira. Benarbenar menganggap seolah Rey tak ada. Sesekali mereka akan becanda, tertawa sampai orang di kafe menjeling mereka.

Rey diamdiam memperhatikan interaksi keempat sahabat itu. Keira benarbenar terlihat bahagia bersama temannya. Ryan di matanya tak berubah, dia masih menjadi orang yang sangat peduli pada Keira, terlihat jelas dari prilakunya yang sesekali menaruh makanan di piring Keira, lalu mengambilkannya tissue, menyodorkan minuman saat Keira tersedak. Benarbenar perhatian. Dibandingkan dengan dirinya yang cuek, Rey tahu Ryan terlihat lebih layak untuk Keira.

***

Ryan memaksa mengantar Keira pulang. Tapi, tentu saja Keira matimatian menolak. Akhirnya setelah perdebatan yang lama, Keira pun bersedia diantar oleh Ryan, tapi hanya sampai halte bus saja.

"Key, kau tak merasakan sesuatu saat melihat Rey lagi tadi?" tanya Ryan saat dalam mobil.

"Tidak!"

"Kau sudah tak menyukainya lagi kan?"

"Tidak! Sebenarnya kemana arah pertanyaanmu ini?" Keira tak mengerti kenapa Ryan tibatiba mengajukan pertanyaan sensitif seperti itu.

"Aku dengar istrinya meninggal!"

Deg!

Keira langsung menoleh menatap Ryan.

"Kau terkejut?" Ryan sadar perubahan ekspresi Keira. "Aku dengar sudah lama istrinya meninggal. Sekarang dia duda, Key. Dan katanya dia tak dekat dengan wanita mana pun sekarang. Kau tak mau mencoba kembali lagi padanya?"

"Jangan ngaco!"

"Siapa tahu masih ada sisa cinta untuknya!" kata Ryan setengah menggoda. Dia juga tak berharap bahkan tak rela Keira kembali pada Rey. Tapi dia ingin memastikan sendiri bahwa Keira benarbenar tak memiliki cinta lagi untuk Rey.

"Tak ada! Kau pun tahu betapa terlukanya aku saat itu. Meski terdengar berlebihan, tapi aku memang selalu mendapat mimpi menyedihkan sejak putus darinya. Lubang yang dia gali di hatiku sangat besar. Tak ada lagi jalan kembali!" kata Keira yakin.

Begitu tiba di halte Keira langsung turun. Dia menyuruh Ryan pergi duluan tak usah menunggu bus datang. Karena memang dilarang parkir di area situ. Keira tak mau mencari perkara. Dan dengan tak rela hati Ryan pun pergi meninggalkan Keira di halte sendirian.

Mobil yang sangat Keira kenal berhenti di depannya. Jendela mobil terbuka dan suara familiar terdengar.

"Masuk!" ucap Rey.

Mau tak mau Keira pun masuk ke dalam mobil Rey.

"Kau mengikutiku?" tanya Keira begitu duduk di mobil Rey.

"Arah pulang kita sama, Key. Apa kau lupa?" balas Rey.

Keira diam. Harusnya memang kebetulan saja dia bertemu Rey. Arah dari kafe ke rumah mereka memang melewati jalanan ini. Jadi agak berlebihan kalau Keira mengatakan Rey mengikuti. Dia sepertinya terlalu banyak berpikir.

***


NoktahWhere stories live. Discover now