BAB 15

129 31 1
                                    

•••

Begitu membuka mata yang pertama dilihat adalah langitlangit putih dengan lampu menyilaukan. Bau khas rumah sakit tercium. Kejadian semalam tak terlupakan. Melirik lengan yang merah menguatkan bahwa hal kemarin bukan mimpi.

Sholat subuh dilakukan munfarid karena sang ayah lebih memilih sholat berjamaah di mesjid rumah sakit.

Mukena dilipat, lalu berjalan keluar setelah memastikan si Abang tak demam, pintu ditutup pelan.
Mata diliarkan melihat sekeliling, masih sepi.

Diamdiam kaki di langkahkan ke ruang rawat wanita itu. Entah jenis kekhawatiran seperti apa yang Keira rasakan untuk Chacha sekarang. Berdiri diam di depan ruang rawat, tak berani mengetuk pintu.

"Eh Suster, bagaimana kabar pasien di dalam?" tanya Keira begitu perawat keluar dari ruangan Chacha.

"Dia sudah baikbaik saja sekarang. Hanya saja emosinya masih belum stabil, jika anda ingin menjenguk sebaiknya tunggu dia tenang dulu. Saya permisi!"

"Oh iya terima kasih!" ucap Keira.
Setidaknya Chacha sudah baikbaik saja sekarang. Keira bisa pergi dengan tenang.

"Tunggu!" Tangan Keira ditarik begitu dia hendak pergi. "Kamu yang semalam itu kan?"

Keira mengangguk pada ibunya Chacha yang menghentikannya.

"Kamu sudah baikbaik saja? Kamu pasti shock juga semalam kan?"

"Saya baikbaik saja!" jawab Keira sopan.

"Ayo kita bicara!"
Ibu Chacha membawa Keira duduk di kursi tunggu. "Maaf atas sikap Chacha semalam."

"Tidak apaapa."

"Dia sangat menginginkan anak. Bukan kami tak ingin juga, tapi keadaan Chacha tak memungkinkan dia untuk mempertahankan anak itu. Karena takut dia stress dan keadaannya semakin drop, kami mencoba membiarkannya dulu. Namun beberapa hari lalu Chacha sempat drop dan kami tak bisa lagi menahan anak itu. Semalam adalah percobaan bunuh diri yang entah sudah keberapa kali, setiap kami akan melepaskan anaknya dia akan melakukan hal itu. Kami sakit melihat Chacha seperti itu, tapi kami tak punya pilihan lain."

Keira mengelus tangan ibunya Chacha.
"Apa tak ada jalan lain? Apa tak bisa diusahakan lagi agar bayi dan ibunya selamat?"

Ibu Chacha menggeleng, "Bukan kami mendahului ketentuan Tuhan. Tapi dari hasil pemeriksaan, kami hanya bisa mempertahankan salah satu. Ah tidak ... Sebenarnya jika anak itu dilahirkan pun belum tentu akan selamat juga. Kesempatan hidupnya hanya beberapa persen saja."

"Mengenai hidup, itu bukan tentang presentase. Sekecil apa pun harapan hidup, itu tetap sebuah nyawa yang tak bisa diabaikan begitu saja. Tante, aku sedikit paham ketakutan kalian. Orangtua mana yang ingin kehilangan anaknya. Tapi coba kalian menempatkan diri di posisi Chacha, dia juga sedang melindungi anaknya sekarang. Kedokteran sudah canggih, keajaiban Tuhan selalu ada. Coba usahakan lagi untuk mempertahankan keduanya. Dan untuk sekarang aku harap kalian jangan terlalu menekan Chacha. Jika dia bahagia selama masa kehamilannya, tak stress dan tertekan, mungkin keadaan tubuhnya akan lebih baik dan baik ibu dan bayi dapat hidup dengan sehat. Jika memang tak bisa juga, setidaknya slowtalk lagi dengan Chacha. Tapi aku harap kalian akan selalu menghormati keputusannya. Ini melibatkan kehidupan lain yang hidup dalam dirinya. Jangan berdebat dengannya, aku yakin dia sangat tersiksa juga. Dalam dirinya, aku yakin dia juga takut meninggalkan kalian. Karena itu tolong jadi kekuatan untuknya. Jangan membuatnya seolah dia berjuang sendirian. Ini juga tak mudah untuknya."
Keira bicara panjang lebar. Dia tak tahu apa yang dikatakannya benar atau salah. Dia tak bermaksud mempengaruhi atau apa pun. Hanya mengutarakan apa yang ada di hatinya tanpa berpikir panjang sebab akibat. Keira tahu benar mungkin dia terdengar sok tahu sekarang. Tapi jujur dia juga bingung. Melihat kegilaan Chacha semalam dia merasa sedih. Dia ingin menyelamatkan jiwa Chacha. Hatinya pasti sangat hancur ditentang oleh seluruh keluarga.

NoktahWhere stories live. Discover now