5. Sirkus Bagian Pertama

10.8K 369 40
                                    

Paginya, Alvian nebeng Awan untuk pergi ke sekolah. Lagipula motornya masih berada di parkiran sekolah. Kemarin dirinya diantar oleh Awan dan meninggalkan motornya begitu saja. Kondisi kakinya sudah mendingan. Seperti kata Pak Said, pijatan Mbah O'ok memang luar biasa, sesuai dengan rumor yang beredar. Yang membuat Alvian tidak enak hati adalah, lagi-lagi Pak Said dibuatnya repot. Tadi pagi saat Alvian ingin mengganti biaya pemijatan Mbah O'ok, Pak Said menolak.

"Hari ini ngajar sampai jam berapa, Yan?" tanya Awan sambil menerima helm yang diulurkan oleh Alvian. Sebagai guru olahrga, Awan tidak pernah mengajar hingga siang. Biasanya jadwal pelajaran yang diwulangnya selalu selesai sebelum jam istirahat kedua.

"Jam dua belas lima belas sudah selesai," sahut Alvian. Dia berjalan sedikit terpincang, dan Awan dengan sabar berjalan mengiringinya. Untungnya, hari ini Alvian tidak begitu sibuk. Kelas yang dia walikan, sudah menyerahkan lembar informasi kepengurusan kelas. Bahkan regu piket sudah mereka bentuk. Yang membuat Alvian lebih senang adalah murid-murid di sini sopan-sopan. Mereka tahu betul tata krama. Ya memang ada satu dua anak yang badung, namun tidak kelewatan dan masih bisa Alvian tolerir.

Hari berganti begitu cepat, dan tidak terasa Alvian sudah numpang Awan hampir empat hari. Ini hari Sabtu, dan Alvian merasa dia sudah bisa membawa motornya pulang. Kakinya dirasa telah mendingan. "Aku enggak bareng ya hari ini, Wan," kata Alvian begitu melihat Awan baru saja masuk ruang guru. Mejanya memang berada di samping meja Alvian. "Aku nanti pulang pake motorku sendiri," lanjut Alvian. Lagipula, kasihan juga motornya sudah empat hari berada di parkiran sekolah.

"Yakin?" tanya Awan sembari melirik kaki Alvian, yang menurut Alvian percuma, toh Alvian sudah memakai sepatu. Awan tidak bisa melihat pergelangan kakinya. "Sudah sembuh betul?" pertanyaan Awan tersebut dijawab dengan anggukan mantap oleh Alvian. Dia memang sudah merasa kakinya baik-baik saja. "Ya sudah, aku pulang dulu kalau gitu. Jadwal ngajarku sudah selesai." Awan masih menatap Alvian khawatir. Tiba-tiba dirinya teringat saat tangannya mengocok kontol Alvian. Dimana pagi harinya, baik Alvian dan Awan bertingkah seolah kejadian malam itu tidak pernah ada. Dan bersikap biasa saja. Awan berharap, bisa mengulangi kejadian itu lagi. "Ingat kalau ada apa-apa, langsung telepon aku!"

"Siap!"

Jadwal mengajar Alvian masih dua kali jam pelajaran sehabis istirahat jam kedua. Dan Alvian akan mengajar kelas Tono. Hari Ini Alvian mengajar tentang Certainty. Murid-muridnya tampak gembira begitu melihat wajahnya muncul di ambang pintu. Terakhir Alvian masuk kelas ini adalah hari Senin. Itu pun hanya sebentar. Ketika Alvian duduk di kursi guru, Tono maju untuk menghapus papan tulis yang tadi digunakan oleh guru sebelumnya. Alvian membuka absensi, lalu mengabsen murid-muridnya satu-persatu. Lengkap. Tidak ada yang sakit atau membolos.

Alvian mengambil kapur lalu menulis judul dari materi yang akan dia ajarkan hari ini. Daripada fokus dengan hapalan, Alvian ingin anak didiknya lebih sering praktek. Oleh karena itu, Alvian menetapkan anak didiknya untuk sebisa mungkin menggunakan Bahasa Inggris ketika Alvian mengajar. Jika ada kosakata yang mereka belum tahu, Alvian akan membantu.

Selesai mengajar, Alvian memutuskan untuk langsung pulang. Kali ini menggunakan motornya sendiri. Ketika dia sedang berada di parkiran, Alvian melihat Tono yang sedang berjalan gontai, menyangklong ranselnya. Alvian pun inisiatif menawari Tono untuk pulang bareng dengan alasan mereka satu tujuan. Awalnya Tono menolak karena rikuh, namun setelah sedikit dipaksa, Tono mengiyakan tawaran tersebut. Apalagi Alvian tadi juga bilang ongkos ojeknya bisa ditabung atau dipakai untuk keperluan lainnya. Tono biasanya naik angkot hingga gerbang desa. Masih haus naik ojek untuk menempuh jarak 3km, tetapi biasanya Tono tempuh dengan berjalan kaki. Tidak heran, jika Tono memiliki kaki yang kuat. Tanpa ditempa leg day di tempat kebugaran, kaki Tono sudah berotot. Nah kalau bareng Alvian, Tono hanya perlu berjalan sebentar karena turun di depan rumah Alvian. Sepanjang dibonceng oleh Alvian, Tono teringat kembali kejadian saat di kamar mandi Awan dan saat Alvian dipijat Mbah O'ok. Entah mengapa bonggol kejantanan milik wali kelasnya ini terus menghantui pikiran remaja Tono. Dari bentuknya, kerasnya. Milik wali kelasnya itu jauh lebih besar ketimbang miliknya dan sudah ditumbuhi rambut di sekitarnya. Daripada nafsu, Tono lebih penasaran, apakah miliknya nanti akan sebesar milik guru Bahasa Inggrisnya tersebut atau tidak. Apalagi kepala kontol Alvian yang seperti jamur dan lebih besar daripada batangnya. Meskipun pikirannya sedang jorok, Tono tidak berani macam-macam. Dia memilih untuk berpegangan pada tepian motor, daripada pinggang guru mudanya. Hidung Tono menghirup aroma seperti kelapa dan kayu basah dari tubuh Alvian. Membuat Tono nyaman. Kalau dirinya lancang, ingin sekali Tono memeluk pinggang Alvian. Namun dirinya masih tahu sopan santun. Sementara Alvian yang mengendari motor, tidak tahu pergolakan hati dan pikiran remaja yang sedang dialami oleh murid yang dia bonceng.

Jati Diri (selesai)Where stories live. Discover now