07

3.6K 645 9
                                    

"Nenek aku membuatkanmu Bibimbap," panggil Renjun kepada sang nenek yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Wanita tua itu terenyuh kemudian memandang sendu cucu kesayangannya. "Kau tidak perlu membuatkanku Bibimbap karena nenek sudah makan di rumah bibimu. Tapi nenek menghargai keteladananmu. Nenek bangga mempunyai cucu perhatian sepertimu, nak. Kau mengingatkan nenek kepada Ayahmu yang juga sama perhatiannya dengan nenek."

Renjun terkekeh lalu menyiapkan sepiring Bibimbap untuk neneknya. Renjun juga menyiapkan bekal makan berupa sandwich karena ia sedang malas membuat makanan yang dimasak terlebih dahulu. Bibimbap yang ia buat khusus untuk neneknya, jadi ia tidak mengambil sedikit pun makanan itu.

"Kalau begitu aku berangkat dulu ya nek," pamit Renjun yang mendapat anggukan dan lambaian tangan dari sang nenek.

Saat sampai di teras rumah ternyata ada Hendery yang menunggunya di atas motor. Sepupunya itu memang berubah dingin tapi sifat perhatiannya tak pernah menghilang.

"Dimana Lucas?" tanya Renjun.

Hendery menyerahkan helm kepada Renjun. "Bekerja," jawab Hendery seadanya. Renjun mengedikkan bahu acuh lalu naik ke atas motor.

•••

Renjun mengembalikan helm kepada si pemilik motor.  "Terima kasih sudah mengantarku," ucap Renjun. Sepupunya hanya berdehem dan menyuruh Renjun masuk.

"Masuklah, semangat bekerja di hari kedua," ujar Hendery menyemangati. Renjun mengangguk lalu berjalan masuk. Hendery memandang punggung Renjun yang semakin menjauh dari penglihatannya.

Dia tersenyum tipis, tapi secepatnya kembali mendatarkan ekspresi.

Seperti biasa Renjun selalu menyapa Jaehyun sebelum memulai pekerjaannya. Pria yang sudah menikah itu tampak menghindari Renjun. Bisa jadi karena kejadian kemarin di mana Renjun menyanyainya tentang tembok itu. Renjun sudah membuat dua orang jengkel karena pertanyaannya.

Renjun duduk manis di kursi kebesarannya sembari mengisi absensi kehadiran. Setelah itu ia akan duduk diam atau menonton movie di laptop agar suasana tidak membosankan.

•••

Drrtt Drrtt

Renjun tersentak kaget saat tiba-tiba ponselnya bergetar. Renjun mengangkat benda pipih persegi panjang itu untuk melihat si penelepon. Rupanya sang paman meneleponnya. Ia segera menggeser naik tombol hijau untuk menghubungkan sambungan.

"Halo Pamㅡ"

"Renjun, cepatlah pulang!"

Renjun mengerutkan dahi mendengar suara terburu pamannya seolah tengah menahan tangisan. Terdengar suara tangisan lain dari seberang sana membuat Renjun khawatir.

"Tapi ada apa, kenapa aku harus pulang?"

"Nenek Jun ... nenek meninggal."

Renjun melebarkan mata, untuk sejenak waktu seolah berhenti berputar. Debaran jantungnya berpacu tak beraturan setelah pamannya mengatakan itu kepadanya. Jaehyun yang melihat itu hendak bertanya, tapi Renjun segera berlari seedan-edannya. Jaehyun berteriak memanggil namun Renjun tetap pergi, karena tidak ingin Renjun kenapa-kenapa Jaehyun pun mengikuti Renjun dengan ikutan berlari.

Di perjalanan Renjun menangis keras. Air matanya tidak berhenti keluar. Ia masih mengenakan jas dokter yang membalut pas tubuhnya.

'Mengapa? Mengapa semua ini harus terjadi. Baru tadi pagi aku membuatkannya Bibimbap dan sekarang nenek meninggalkanku? Mengapa engkau memberikan kesedihan yang berlarut-larut padaku ... Tuhan."

Renjun bisa melihat beberapa warga sudah berdatangan. Renjun berlari masuk, menerobos beberapa orang yang juga ingin melayat. Neneknya terbaring dengan kain putih menutup seluruh tubuhnya. Renjun menangis sejadi-jadinya memandang wajah keriput neneknya yang terpejam damai.

"Kenapa nenek pergi terlebih dahulu. Aku belum bisa menjadi cucu yang membuat nenek bahagia ... maafkan aku ...." Renjun memeluk tubuh neneknya dengan tangisan pilu. Beberapa pelayat memandang iba sosok lelaki muda yang tengah berduka.

Ibu Lucas mendekat lalu merengkuh tubuh Renjun guna menenangkannya. Renjun memeluk wanita itu, isakan tangisnya membuat beberapa orang yang melihat ikut bersimpati.

"Sudah, jangan menangis, nenek tidak akan suka melihat cucu kesayangannya menangis cengeng seperti ini."

•••

Acara pembakaran jasad neneknya sudah berakhir beberapa menit yang lalu. Renjun termenung di dalam kamar dengan jejak-jejak air mata masih terlihat jelas di kedua mata rubahnya itu. Renjun masih tidak menerima jika neneknya pergi meninggalkannya secepat itu. Pintu kamarnya dibuka oleh Hendery, sepupu Renjun itu sejak tadi memandang sedih Renjun yang terus-terusan menangis.

Setelah pintu tertutup Hendery mendekati Renjun. Ia mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya pada sang sepupu. Renjun hanya melirik enggan mengambilnya.

"Renjun!"

Renjun mendongak menatapnya. "Aku mohon keluarlah, aku ingin sendiri," perintah Renjun berucap lirih. Tangisan tiada henti tadi membuat suara Renjun menjadi serak.

Bukannya keluar tetapi Hendery duduk di samping Renjun. Membawanya ke dalam dekapan hangat walau tubuhnya sendiri bersuhu dingin. Renjun kembali terisak saat usapan lembut ia rasakan. Hendery mengusap pundak Renjun agar sepupunya itu tenang, tetapi Renjun kembali menangis.

"Kenapa nenek setega itu meninggalkanku, aku begitu menyayanginya tetapi dia malah pergi."

Hendery hanya diam mendengarkan Renjun berbicara. Tangannya masih setia mengusap pundak dan punggung Renjun. Ia cukup mendengar tak perlu berkomentar.

"Apa Vampir bisa menangis? Kulihat sejak tadi kau tidak merasa kepedihan yang aku rasakan? Kau itu cucu macam apa!"

Hendery mengembuskan napasnya. "Aku sedih kehilangan nenek tetapi kesedihanku tak perlu aku tunjukkan kepada orang-orang. Dalam lubuk hatiku aku juga merasakan kesedihan tetapi air mata tidak mau keluar, aku bukan tipikal orang seperti itu," jelas Hendery tenang.

"Jadi berhentilah menangis, aku tahu kau baru saja kehilangan orang tuamu dan sekarang nenek kita. Jadi kau jangan merasa sendiri karena disini masih ada aku yang akan menjagamu. Ada Lucas, Ayah, Ibuku bahkan kedua orang tua Lucas juga," lanjut Hendery. Renjun tak membalasnya ia hanya diam melamun.














Yeux BleusDonde viven las historias. Descúbrelo ahora