BAB 01 Ⅱ Jaka

620 112 20
                                    

JAKA

"EH, Mas Jaka, nggak ada rapat po, Mas, jam segini udah pulang," sapa Bu Ratih, ibu kos gue yang sedang sibuk menjemur pakaian di halaman rumahnya. Singkat, gue mengangguk dan menyungging senyum sambil terus melangkah melewati halaman rumahnya, menuju indekos yang terletak tepat di sebelah rumah beliau. "Ada paket tadi, Mas. Ada di dalam, tuh."

Seketika langkah gue terjeda, gue urungkan niat untuk membuka pagar indekos, melainkan lebih memilih untuk meraih pagar rumah Bu Ratih. "Iya, Buk? Dari siapa?" tanya gue. Bu Ratih menggelengkan kepala, gue pun memutuskan untuk meminta izin untuk mengambilnya, "Jaka ambil ya, Buk."

"Iya, Mas."

Gue melangkahkan kaki, masuk ke rumah Bu Ratih. Di meja ruang tamu, gue sudah dengan jelas melihat adanya kotak yang gue duga adalah paket untuk gue. Tapi, sejurus perhatian gue teralihkan kepada Ayu, putri bungsu Bu Ratih yang sedang rebahan di sofa. Gadis itu langsung menyungging senyum kikuk sambil buru-buru bangkit untuk duduk.

Selanjutnya kami saling tatap dan telanjur canggung karena gue mergokin dia rebahan santuy. Gue memutuskan untuk duduk sejenak di sofa single yang kosong, meluruskan kacamata gue yang sebetulnya pun sudah lurus, lalu meraih kotak cokelat tersebut, "Ini punyaku, ya, Dek?"

Masih dengan senyum kikuknya, Ayu mengangguk. "Iya, Mas."

Gue mengangguk-angguk sambil membaca nama pengirim yang tertera. Dhea. teman gue semasa OSIS di SMA dulu. Entah apa isinya, tapi memang seingat gue, Dhea sempat minta alamat kos gue sebulan yang lalu. Meskipun gue juga sudah hampir lupa, sih, kalau dia pernah minta alamat kos gue. Dan, berbekal penasaran akan isinya, gue putuskan untuk pamit kepada Ayu, untuk kemudian segera beranjak dari ruang tamu rumah Bu Ratih.

Gegas gue melangkahkan kaki, menuju pagar kecil yang jadi pembatas antara teras rumah Bu Ratih dengan indekos milik beliau. Dengan langkah cukup cepat, gue menuju kamar, sambil sesekali menyapa teman kos yang sedang berkumpul di ruang tengah.

Indekos gue memang nyaman parah meski sederhana. Ada ruang tengah yang isinya adalah sofa empuk, lemari snack milik bersama, dan televisi serta wi-fi yang koneksinya kencang puol. Di sana biasanya anak-anak kos ngumpul. Entah kami sekadar nobar sepak bola, ngomongin masalah hidup, mengupas tuntas gosip yang lagi hangat di kampus, atau biasanya, pada mabar mobile legend. Gue sih biasanya ke sana kalau lagi pengin manfaatin wi-fi, meskipun, pada akhirnya juga pasti terseret lingkaran gosip, sih.

Contohnya saja dua hari lalu, ketika gue sedang ambis-ambisnya pengin ngerjain tugas, anak-anak kos malah pada bawa gudeg. Bukan hanya gudeg, tapi juga gosip hangat tentang anak fakultas sebelah. Alhasil, gue gagal menyelesaikan tugas gue karena ternyata, gosipnya jauh lebih menarik.

Gegas, gue masuk ke kamar kos gue sendiri di lantai dua. Gue meletakkan ransel yang sedari tadi masih tersampir di sebelah bahu. Gue lantas duduk di meja belajar, meraih gunting, dan membuka paket dari Dhea dengan hati-hati. Persis seperti youtuber yang lagi unboxing paket gitu. Karena gue nggak tahu isinya apa. Siapa tahu rawan rusak, kan.

Selesai membuka bungkusnya, gue mendapati plastik bening yang membalut satu set jas serta celana bahan berwarna abu-abu. Pun, melengkapinya, ada selembar undangan nikah yang tergeletak di bawahnya. Nggak terlewat juga, Dhea meninggalkan catatan singkat, yang intinya adalah kabar bahwa dia akan menikah minggu depan, dan gue dihitung sebagai teman eksklusifnya yang mendapatkan jas ini, yang katanya, seragaman dengan anak-anak OSIS angkatan gue.

Menarik banget. Gue sudah terlalu lama nggak dengar kabar mereka, tahu-tahu Dhea mau menikah. Gue pun langsung menjajal jas kelabu tersebut, mendapati ukurannya pas di badan gue. Gue jadi nggak sabar ke Jakarta. Dan, itu artinya malam ini gue harus segera cari tiket kereta untuk pulang ke Jakarta.

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now