BAB 21 Ⅱ Jaka

274 71 56
                                    

JAKA

KEPUTUSAN Arta untuk pulang sehari setelah kami pergi ke Pantai Sadranan, diurungkan. Gadis itu memutuskan untuk tetap tinggal di Jogja sampai acara PKKMB di kampusnya selesai. Kebetulan, jadwal kami berbarengan. Selama Arta PKKMB, gue pun PPSMB secara daring. Alhasil, kami hampir nggak ketemu karena terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Apalagi Arta ketua pelaksana, dan selalu mengadakan evaluasi hingga larut. Meski begitu, gue nggak pernah absen menanyakan keadaannya. Sekadar bertanya sudah makan atau mau makan apa, sampai bertanya bagaimana kegiatannya.

Hari-hari berlalu begitu cepat dan melelahkan. Selama hari PPSMB berlangsung, gue hampir selalu menghabiskan waktu untuk tidur ketika acara sudah selesai. Sumpah, capek bukan main gue harus menatap layar laptop dari jam tujuh pagi sampai jam satu siang. Lalu ditambah evaluasi yang biasanya berlangsung satu hingga dua jam. Sepertinya, sebentar lagi kacamata gue akan semakin tebal.

"Jak, mau ikut order, nggak? Kami mau beli ayam penyet." Dari arah tangga, langkah serta suara Guntur terdengar. Sekilas, gue menoleh ke arahnya. Ia sepertinya sudah siap memesan makanan. Tanpa pikir panjang, gue mengangguk, tentu saja gue mau ikut pesan. Ketimbang harus pesan sendiri nanti. "Kal, kowe gelem ora?"

"Iya, mau juga dong, Tur," jawab Haikal, yang duduk tepat di sebelah gue.

Guntur mengangguk-angguk. Laki-laki yang terpaut setahun di bawah gue itu langsung mengembalikan perhatiannya pada layar ponsel, sementara gue dan Haikal tetap memantau sesi evaluasi di layar laptop kami masing-masing. Gue bisa lihat wajah Haikal dari layar maupun secara langsung, dia sudah ngantuk bukan main. Beberapa kali ia menguap, mengucek-ngucek matanya pula. Tapi entah kenapa, ini cukup lucu bagi gue untuk menjadikannya bahan tertawa.

"Oke, makasih buat evaluasinya, tim peserta," tutur Theo, sang ketua pelaksana. "Ada yang mau nambah?"

"Sampun, Theo," ujar Haikal. Laki-laki itu segera menonaktifkan mikrofonnya, lalu bersungut, "Capek, woy."

"Kalau udah nggak ada yang mau nambah, tak tutup sesi evaluasi hari ini," kata Theo. Akhirnya, setelah dua jam, senyum Haikal terbit juga di wajahnya. "Matur nuwun, temen-temen. Nanti anak publikasi, jangan lupa ya untuk upload pos banner penutupan di Instagram. Udah selesai dibuat to, sama tim desain?"

"Iya, udah tak upload di Google Drive. Siap pos ke Instagram."

Kini bukan hanya Haikal, gue pun bernapas lega pada akhirnya. Setelah sesi evaluasi ditutup oleh Theo sang ketua pelaksana, baik gue maupun Haikal langsung menonaktifkan kamera, lalu keluar dari pertemuan daring. Laptop lekas kami letakkan di atas meja setelah terlipat. Kami langsung ambil posisi duduk ternyaman di sofa yang sejak pagi udah jadi saksi bisu atas kelelahan gue dan Haikal.

"Edan. Akhirnya selesai juga," ujar Haikal sambil memejamkan matanya. "Besok udah bebas."

"Besok gue pulang ke Jakarta, Kal. Anterin ke stasiun, ya."

"Lho? Piye, jal? Kowe baru balik ke Jogja, udah mau pulang lagi ke Jakarta?" bukannya Haikal, justru Guntur yang memberi respons. Gue hanya mengangguk. "Ngapain? Nganter bojomu?"

"Sembarangan," tukas gue. "Temenku itu, Tur."

"Terus ngapain lagi pulang ke Jakarta kalau bukan nganterin dia?" tanya Haikal sambil membariskan bantal sofa untuk ia jadikan sandaran empuk. "Kapan balik lagi ke Jogja?"

Gue mengedikkan bahu. "Nanti, nggak tau kapan. Nanti tak kabari."

Memang sih, ini keputusan yang mendadak sekali. Teman-teman gue memang baru gue berikan kabar sekarang kalau gue akan pulang besok. Gue memutuskan untuk pulang karena, entah kenapa, gue mendadak kangen dengan Jakarta. Gue mau menetap di sana untuk beberapa bulan ke depan.

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now