BAB 07 Ⅱ Jaka

276 70 58
                                    

+ + +

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

+ + +

JAKA

TANPA diundang, bibir gue membentuk lengkungan yang lebar ketika gue lihat update terbaru di akun Instagram Arta. Foto perempuan berambut panjang itu memenuhi layar gue. Arta beberapa kali me-repost Instastory teman-temannya yang mengucapkan selamat atas jabatan yang baru diembannya. Meskipun mungkin hanya sepersekian persen dari seratus, tapi gue merasa cukup bangga. Bangga dengan Arta, dan bangga dengan diri gue sendiri. Gue sedikit meyakinkan dia untuk percaya sama dirinya sendiri, dan dia benar-benar percaya dengan dirinya sendiri sekarang.

Sebelum Instastory-nya habis, gue secara singkat mengetikkan pesan kepadanya. Gue ucapkan selamat secara singkat, beserta doa yang mengekor setelah ucapan selamat gue. Dan, tepat setelah gue mengirimkan direct message kepadanya, layar ponsel gue lantas berubah tampilan. Seakan-akan gue langsung ditarik ke kenyataan bahwa gue nggak boleh terlalu fokus menaruh perhatian ke Arta.

Foto Ayu kini mendominasi isi layar ponsel gue, tanda telepon masuk darinya menyapa. Gegas gue bangkit dari kursi yang sedang gue tempati. Sambil menarik koper menuju pintu keluar, gue terima pula telepon masuk dari Ayu.

"Halo, Mas," sapa Ayu. Selalu lembut seperti suaranya yang gue kenal. "Aku dan Mas Haikal udah di depan stasiun. Mas Jaka udah sampai, to?"

"Iya, Dek. Sek, yo, aku masih jalan keluar, nih," balas gue sambil mempercepat langkah. Tanpa repot, gue sudah bisa melihat mobil Avanza putih berpelat AB yang udah gue pastikan milik Bu Ratih, yang dikendarai oleh Haikal.

Jendela depan mobil tersebut dibuka, bisa gue lihat Ayu yang melambaikan tangannya dari dalam. Gue menyungging senyum, sembari melangkah ke bagian belakang mobil. Dibantu oleh Haikal, gue memasukkan koper ke bagasi, sebelum gue masuk ke mobil melalui pintu bagian tengah.

"Udah lama, Dek?" tanya gue pada Ayu.

"Baru, Mas. Baru aja sampai," jawabnya cepat. Gue hanya mengangguk-angguk. Haikal kemudian masuk ke kursi kemudi. "Piye Mas, Jakarta? Seru acaranya?"

Gue mengangguk antusias sambil kini bersandar pada punggung kursi yang Ayu tempati. "Acaranya seru puol," aku gue. "Tapi ya Jakarta ya biasa. Aku sih bosen sama Jakarta. Enak di Jogja, lah."

"Ya biasa, lah. Wong ke Jakarta berharap ketemu mantan, tapi mantan e wis punya pacar!" ujar Haikal sambil tertawa puas.

"Sembarangan!" gue menukas. Perjalanan pulang kami menuju indekos pada akhirnya diisi dengan percakapan yang Haikal usung. Perkara mantan di Jakarta, teman-teman di Jakarta, dan segala-galanya mengenai Jakarta. Gue dan Haikal menikmati obrolan, tapi, sepertinya Ayu nggak. Perempuan yang duduk di kursi sebelah kiri itu justru sibuk sekali menyaksikan jalan raya yang sunyi.

Mungkin hanya karena Ayu nggak paham sih dengan obrolan gue dan Haikal. Maklum, Ayu lahir dan besar di Jogja, sehingga dia nggak punya banyak gambaran soal Jakarta. Nggak seperti gue dan Haikal yang lahir dan besar di ibu kota.

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now