BAB 11 Ⅱ Jaka

238 61 46
                                    

JAKA

TELEPON masuk dari Mama jadi alarm paling nggak bisa gue dismiss dan snooze pagi ini. Masih jam sembilan pagi, harap anggap wajar gue yang masih tidur karena hari ini gue cuma ada kelas jam satu siang nanti sampai jam tiga. Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, gue mencabut ponsel dari casan yang mencolok, gue terima telepon masuk dari Mama untuk gue dengar betapa panik ibu satu anak tersebut.

"Nak, udah lihat berita, belum?" pertanyaan itu jadi kalimat pertama yang menyambut gue. Gue tentu saja cuma diam. Boro-boro lihat berita, pas ditelepon saja gue baru bangun tidur, dan sekarang gue belum seratus persen memeluk kesadaran. "Kamu pulang aja, ya?"

Pulang?

Gue baru berminat untuk buka Google sambil tetap terhubung ke Mama, tapi wanita yang kelewat panik itu telanjur menjelaskan apa yang sedang terjadi. Wabah sedang melanda, dan Mama bilang, gue harus pulang secepatnya sebelum akses transportasi ke Jakarta diberhentikan.

Nggak bisa dimungkiri, gue ikut panik. Tapi pikiran gue bercabang. Kalau gue pulang, kuliah dan organisasi gue gimana? Kalau masih ada rapat secara tatap muka gimana? Terus, emangnya teman-teman kos gue pada pulang juga?

Setelah telepon berakhir, gue masih sibuk banget mikirin semua itu. Gue langsung keluar dari kamar, mendapati teman-teman kos gue hampir semuanya sedang berkumpul di ruang tengah. Gue mendekat, ikut duduk di sofa yang mulai sempit karena sudah ditempati tiga orang tanpa termasuk gue.

"Jak, lo pulang, nggak?" Haikal berujar. "Gue lagi pesen tiket kereta ke Jakarta. Mau join?"

Gue geming, berpikir singkat. Rasa-rasanya, gue jadi orang paling bego di sini karena teman-teman gue ternyata berkumpul di sini untuk mendapatkan sinyal terbaik. Semuanya sedang buka situs pemesanan tiket. Semua teman-teman gue juga pulang, terus siapa yang di Jogja, dong?

Masih belum menghiraukan pertanyaan dari Haikal, gue memutuskan untuk menyetel televisi. Semua pembawa berita mendadak membawakan kabar mengenai pandemi yang baru menyelimuti Indonesia. Di grup WhatsApp juga, semua teman-teman kampus gue membicarakan kabar lockdown. Kampus akan ditutup sampai dua minggu ke depan. Perkuliahan akan diadakan secara daring.

Berarti keputusan yang gue ambil akan sama dengan Haikal.

"Join dong pesen tiket. Masih sabi?" ujar gue sambil melirik layar ponsel milik Haikal yang masih menampilkan aplikasi pemesanan tiket itu.

Haikal mengangguk. "Tiga hari lagi tapi, Jak. Nggak apa-apa?"

Gue mengangguk. Udahlah, nggak apa-apa, yang penting Mama nggak khawatir, dan gue nggak sendirian di kosan.

Panik gue mereda ketika Haikal sudah sukses pesan tiket. Nggak sedikit teman-teman gue yang langsung berkemas. Nggak sedikit juga yang sore ini sudah pulang, apalagi yang rumah orang tuanya masih di sekitaran Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Seharian gue nggak keluar dari kosan. Sekalinya keluar, cuma sampai teras, dan cuma duduk-duduk di depan sambil ngelihatin langit yang malam ini cerah dan bertabur banyak bintang.

"Guntur udah pulang ke Surabaya, ya, Mas?"

Lamunan gue buyar seketika. Ayu pelakunya. Gue menoleh, mendapati gadis itu bersandar pada pagar pendek yang membatasi rumahnya dan indekos. Gue mengangguk sambil tersenyum. "Iya, tadi sore jalan. Kenapa cariin Guntur?"

"Nggak," balas Ayu. "Cuma mau kembaliin bukunya Guntur yang minggu lalu aku pinjam. Tapi udah pulang, ya wis, nanti aja tak kirim paket."

Gue mengangguk-angguk. "Aku juga nanti pulang, Dek, ke Jakarta," ujar gue.

Ayu diam. Kami sama-sama diam tanpa sedetik pun mengalihkan pandangan dari satu sama lain. Satu-satunya hal yang membuat gue tersadar kalau kami sudah terlalu lama saling tatap adalah Ayu yang menyungging senyumnya. Tidak ada kata apapun yang keluar dari mulutnya. Mungkin dia nggak peduli, ya, kalau gue harus pulang?

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now