BAB 17 Ⅱ Jaka

298 77 104
                                    

JAKA

"FAIL paling paling paling final dari susunan acara udah ku-upload ke Google Drive, ya, Jak," tutur Nadhira ketika gue sedang sibuk-sibuknya mengecek kelengkapan materi presentasi anak-anak serta materi dari dekan dan rektor. Gue hanya mengangguk tanpa mengalihkan perhatian dari layar laptop, lalu menaikkan kacamata gue yang agak merosot. "Anu, di depan ada yang nyari, Jak. Samperin dulu, gih."

"Nyari apa?"

"Ya nyari kowe, lah. Siapa lagi?"

Kali ini perhatian gue teralihkan kepada Nadhira, "Ayu, ya? Suruh masuk aja sini, Nadh."

Tapi, Nadhira menggeleng. "Bukan," katanya. "Nggak tau siapa. Dia cuma bilang nyari Jaka. Tak suruh tunggu depan aja."

"Suruh masuk aja, Nadh."

"Wis, kamu aja yang keluar. Kayaknya penting dia nyari kamu. Sini kerjaanmu tak back up dulu. Santai," balas Nadhira. Gue diam memandang gadis itu, seperti meminta kepastian bahwa ia akan baik-baik saja mengambil alih tanggung jawab gue. Nadhira mengangguk dan menyungging senyum.

Akhirnya gue mengangguk paham. "Tolong ya, Nadh. Makasih."

Sekali lagi Nadhira tersenyum, sebelum gue benar-benar meninggalkan ruangan. Gue jalan ke depan sedikit, mencari orang yang Nadhira maksud. Karena hampir tidak ada orang lalu lalang, akhirnya gue temui satu orang yang sedang duduk. Posisinya membelakangi gue. Rambutnya yang panjang digerai bebas. Di kakinya, ada koper kecil berwarna merah muda yang sepertinya sudah menemani perjalanan panjangnya untuk sampai ke sini.

"Ar?"

Gue tahu, sepertinya gue halu kalau menganggap cewek itu Arta. Tapi boleh percaya atau nggak, cewek dengan rambut panjang itu menoleh. Sukses gue dibuat bengong. Meski setengah wajahnya tertutup masker, gue sudah mengenali wajahnya banget. Itu memang Arta. Matanya sembap, kayak habis menangis semalaman.

Perlahan, gue melangkah ke arahnya. Gue duduk di sebelahnya, lalu melepas masker yang membalut wajah gue. Arta ikut melepaskan maskernya, lalu menyungging senyum kecil di wajahnya yang sangat nggak baik-baik saja itu.

"Kok bisa sampai di Jogja?" tanpa pertimbangan apapun, itu adalah pertanyaan yang pertama gue keluarkan untuknya. Bukan tanpa alasan gue bertanya, karena memang gue heran, kenapa dia bisa sampai di kampus gue, dan dalam rangka apa dia datang sore-sore begini bersama koper merah mudanya itu. "Sendirian?"

Arta mengangguk. Dia nggak jawab pertanyaan pertama gue, tapi sebagai gantinya, Arta menjelaskan secara singkat kenapa ia pergi ke sini. Mula-mula, senyumnya terbentuk. Manis, seperti biasanya, tapi bisa gue baca kalau senyum itu adalah penjelasan pertamanya sore ini, bahwa ia sedang nggak baik-baik saja. Ditambah matanya yang sembap, maka semakin memperkuat opini gue barusan.

"Gue putusin pacar gue, gue capek nanggung beban jadi Ketua BEM, gue capek mempertanggungjawabkan acara PKKMB, gue capek jadi ketuplak buat PKKMB, gue capek banget sama kehidupan kampus, Jak."

"They all happen at the same time?"

Arta mengangguk. Bibirnya yang tadi membentuk lengkungan senyum, kini jadi mengerucut. Gue bisa melihat wajahnya yang lelaaaah sekali. Gue bisa merasakan semua keletihan itu, meski mungkin nggak mengerti betul karena gue sedang nggak punya tanggung jawab sebagai ketua pelaksana sebuah acara.

Cerita Arta lalu mengalir begitu saja. Suaranya lirih, kepalanya sesekali menunduk, matanya nggak henti-henti berkaca, dan bibirnya sesekali mengerucut. Ceritanya dimulai dari dia diminta jadi ketua pelaksana oleh pengurus BEM periode sebelumnya, yang mana adalah pacarnya sendiri. Kemudian berlanjut dengan kelelahannya mengurusi acara seberat ini di tengah pandemi. Seterusnya cerita Arta berjalan, satu per satu permasalahannya ia beberkan. Gue tetap diam menjadi pendengar setia. Lama-lama gadis di sebelah gue menitikkan air matanya, sehingga gue berinisiatif untuk mengusap punggungnya perlahan, lembut, penuh sayang.

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now