BAB 08 Ⅱ Arta

280 71 45
                                    

ARTA

AKU tersenyum membaca ucapan dari Jaka yang ia kirimkan melalui direct message di Instagram. Tidak sepanjang ucapan yang Javas berikan, memang, pun doa yang Jaka jabarkan tidak begitu menggetarkan hati siapa saja yang membacanya. Akan tetapi, ini terasa hangat sekali. Aku jadi ingat masa-masa sengit itu, ketika aku patah hati sebab kalah ketika pemungutan suara dalam pemilihan Ketua OSIS.

"Ar, dua bulan lagi kita ngadain lomba debate, loh. Lo nggak mau rapatin ini?"

Sekejap, perhatianku teralih. Gegas aku mengirimkan pesan balasanku kepada Jaka, lalu menyambut kedatangan Rafhi yang baru saja masuk sekretariat BEM tanpa ketuk pintu. Laki-laki itu mendekat, menghampiri aku yang sedang duduk sambil angkat kaki ke meja kerja.

"Emangnya dua bulan lagi ya, Fhi?" tanyaku polos. Aku memang tidak tahu kalau kegiatan tersebut harus diadakan dua bulan lagi. Duh, merepotkan sekali, sih. Padahal, aku baru serah terima jabatan kemarin sore, rasanya, tapi sekarang harus sudah rapat lagi untuk menjalankan program kerja tahunan yang sudah turun-temurun dijalani.

Menanggapi pertanyaanku, Rafhi mengangguk. "Gue udah minta Siska buat selalu follow up, sih. Dia lagi cari fail tahun lalu buat jadi referensi proposal dan lain-lain."

Aku hanya mengangguk-angguk, lalu gegas menurunkan kakiku yang bertumpu pada meja. "Gue sempet lihat failnya, sih, tapi nggak tau yang gue lihat itu tahun berapa," ujarku sambil berbalik untuk membuka lemari penuh fail peninggalan BEM tahun-tahun lalu.

Kubaca satu per satu tulisan yang tertera pada box file yang berjajar di lemari, hingga kutemukan satu boks bertuliskan "Annual Debate Competition" yang jadi tujuan pencarianku. Kukeluarkan boks tersebut untuk kemudian kuletakkan di atas meja supaya Rafhi juga bisa ikut melihat isinya.

"Lengkap juga," ujar Rafhi sambil menarik salah satu stopmap yang ada di dalam boks yang kubawakan. "Nanti gue kasih tau Sis—atau suruh ke sini sekarang aja mungkin, ya, Ar?"

Sebenarnya aku sedang tidak semangat, tapi ini adalah sebuah keharusan. Alhasil, aku mengangguk, menyetujui saran Rafhi untuk segera memanggil Siska ke sekretariat BEM. Sambil menunggu kehadirannya, aku dan Rafhi pun duduk di lantai, membongkar fail-fail lama yang mayoritas adalah arsip proposal, beberapa surat peminjaman barang dan ruang, dan surat undangan.

"Fhi, kabarin aja deh di grup. Besok kita rapat ya, jam lima sore," ujarku sambil masih melihat-lihat arsip proposal dari acara tiga tahun lalu. "Kita bikin struktur panitia besok."

Rafhi mengangguk, menyetujui saranku dengan cepat. "Mau pilih dari sekarang, nggak? Supaya besok tinggal konfirmasi aja ke orangnya. Kalau dia nggak cocok, ya diganti."

"Boleh. Sekalian sama Siska, ya."

Lima belas menit Rafhi dan aku menghabiskan waktu untuk membaca-baca arsip proposal dan fail surat-menyurat, sampai akhirnya Siska datang. Gadis itu lantas duduk di sebelahku, lalu mengambil salah satu map yang ada di dalam boks. "Gue udah dapet fail digitalnya. Tinggal ganti tanggal dan edit sedikit, udah siap disebar," katanya tiba-tiba.

Lantas, Rafhi menjentikkan jarinya. Senyum semringah langsung terlukis di wajahnya yang putih, berbarengan dengan lesung pipit yang samar-samar hadir di pipinya. "Well done, Siska!" pujinya.

Siska hanya senyum tipis menyambut pujian tersebut.

"Kita lagi mau bikin struktur kepanitiaan sih, Sis, sebenernya. Nungguin lo dateng, supaya nggak gue sama Rafhi doang yang kerjain," tuturku. "Lo lowong kan habis ini, nggak ada kelas?"

"Aman kok, Ar," jawab Siska. Gadis itu kemudian melepaskan tote bag yang sejak tadi masih menggantung di bahunya. Segera, Siska mengambil kertas HVS kosong serta bolpoin dari kotak alat tulis. "Ketua pelaksananya lo aja, Fhi."

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeOn viuen les histories. Descobreix ara