BAB 04 Ⅱ Arta

311 88 29
                                    

ARTA

SETELAH sepuluh menit berlalu dengan sunyi mencekam, aku akhirnya memutuskan untuk bicara. "Jak, mau nggak, temenin gue sebentar beli martabak?"

"Oh, boleh," katanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Setipis bulan yang tertutup awan yang menghitam di atas kepala kami. "Di tempat yang biasa itu, Ar, yang di Cibubur Tiga?"

Sekali lagi aku mengangguk. Sejujurnya salut karena Jaka masih ingat tempat biasa aku beli martabak. Motornya pun segera berbelok, dan aku segera turun dari motor untuk memesan satu martabak manis pada penjual yang sepertinya sudah mengenalku saking Bang Dhito dan aku sering beli martabak di sini.

Sementara aku memesan, Jaka pamit untuk jalan ke mini market yang terletak tidak jauh dari penjual martabak. Aku mempersilakannya, dan memutuskan untuk menunggu pesananku sambil duduk di atas motornya dan menyibukkan diri dengan ponsel. Selang lima menit, laki-laki dengan jambul hitam legam itu kembali dengan dua botol minuman di tangannya. Ia menyikutku pelan, menyodorkan sebotol teh dengan perasa madu.

"Makasih, Jak," tuturku sambil menerima pemberian kecilnya. Laki-laki itu hanya mengangguk, lalu duduk di sebelahku. Segera kunikmati teh yang sudah jadi milikku meski hanya dua teguk. "Gimana Jogja?"

Aku tidak tahu kenapa dua kata itu yang keluar dari mulutku sambil tanganku menutup botol minuman. Dan lebih memalukannya lagi, aku mendengar tawa kecil dari mulut Jaka, yang datang berbarengan dengan aksi tersedak kecil-kecilannya. Sepertinya aku memang salah bertanya.

"Apanya gimana?" Jaka bertanya balik sambil masih sedikit terbatuk. "Lo nanya 'Gimana Jogja' as if gue baru tinggal di sana sebulan, Ar."

Aku tertawa pelan. Ternyata tadi Jaka benar-benar menertawakan pertanyaanku yang memang konyol. Betul juga, sih. Padahal Jaka sudah di sana dua tahun. Sudah setengah perjalanan untuk kami akan sama-sama lulus dari universitas. Rasanya terlalu terlambat, ya, kalau aku baru bertanya bagaimana Jogja.

"Ya, siapa tau, dua tahun lalu dan hari ini udah beda," balasku. "Lagian, kita jarang banget ketemu, lagi. Lo jarang banget pulang ke Jakarta. Hubungin gue juga nggak pernah, jadi gue mana tau pandangan lo tentang Jogja dan segala isinya."

Jaka mengangguk-anggukkan kepalanya. "Boleh juga ngelesnya," katanya, yang rupanya terdengar lebih seperti ejekan ketimbang pernyataan bahwa ia mengerti sanggahanku barusan. "Biasa aja, sih. Nggak spesial, dan nggak buruk juga. Kadang kalau lagi di sana, gue kangen Jakarta. Tapi, kalau lagi di Jakarta, suka pengin buru-buru balik ke Jogja."

Aku menyungging senyum tipis sambil mengangguk. Sejurus, kulihat langit yang semakin menghitam. "Kuliah, gimana?" tanyaku lagi. Seperti sedang interview, sih, tapi ya sudahlah. Hitung-hitung, ini reuni kecil-kecilan antara Jaka dan aku. Sebagai rekan kerja semasa di OSIS dulu. "Lo BEM, nggak? Atau kuliah aja?"

Jaka memandangiku setelah pertanyaan itu kuajukan tanpa kupandang wajahnya. Ia lama sekali memandangiku dan diam, dan selama itu pula, aku tetap tidak mengalihkan pandanganku dari langit yang kosong. Kutebak sebentar lagi hujan akan turun.

"Di kampus gue namanya LEM, Lembaga Eksekutif Mahasiswa. Itu tingkat fakultas. Baru aja sertijab tiga minggu lalu," jawab Jaka pada akhirnya. "Kenapa? Lo lagi galauin organisasi ya, Ar?"

Aku tidak tahu laki-laki di sebelahku ini cenayang jenis apa, tapi mungkin ia sudah menebak ini sejak berjam-jam lalu, karena kulihat Jaka adalah satu-satunya orang yang tidak mengungkit-ungkit perkara kalah saing di pemilihan Ketua OSIS beberapa tahun silam.

"Sedikit," jawabku. Singkat dan sepertinya kurang jelas. Buktinya, Jaka hanya diam, dan kami malah jadi saling tatap dalam sunyi. Mengusir canggung, senyumku akhirnya mengembang tipis. "Gue lagi dipaksa sama banyak orang buat calonin diri jadi kandidat Ketua BEM."

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now