BAB 24 Ⅱ Arta

296 71 63
                                    

ARTA

MASIH didera kantuk hebat, aku memutuskan untuk tidur tepat ketika mobil jip yang Jaka kendarai berbelok ke Jalan Laksda Adisucipto. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur pulas di kursi penumpang, tapi ketika tidak sengaja terbangun karena jalanan yang tidak rata, gelap masih mendominasi. Aku mengumpulkan nyawa, untuk melihat jalanan yang, astaga, kebun mengelilingi kami!

"Jaka!" pekikku sambil mencengkeram lengan hoodie yang dikenakannya.

"Apa? Mau curiga gue bawa lo ke tempat aneh-aneh lagi?" tanyanya.

Aku diam. Kupandangi wajahnya yang tenang. Kedua matanya tetap fokus menyorot ke depan, memerhatikan jalan yang gelap dan sepi. Keadaan di sekeliling kami memang benar-benar gelap dan sepi. Tidak ada suara kendaraan selain suara jip yang kami tumpangi. Tidak ada penerangan apapun selain dari lampu kendaraan yang memberi cahaya seadanya.

"Udah sih, tenang aja," ujar Jaka. "Masa lo nggak belajar dari pengalaman? Pernah gue ajak lewat jalan kayak gini, ujungnya sampai di mana, coba?"

"Awas lo, ya, kalau yang nggak-nggak!" ancamku sebelum melepaskan cengkeraman pada lengannya. Jaka hanya menanggapi dengan tawa mengejek, seolah kewaspadaanku adalah sesuatu yang tidak lazim.

Sebelum matahari terbit, kami tiba di lokasi yang Jaka pilih sepihak. Kalau kulihat di pintu masuk, kami sekarang ada di Gunung Ireng. Kami turun dari mobil, lalu menyusuri jalan meninggalkan lahan parkir. Jaka tidak melepaskan genggaman tangannya denganku. Katanya dingin, katanya juga tidak mau aku hilang. Konyol memang.

Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Jaka dan aku untuk tiba di puncak Gunung Ireng, setelah melewati jalan yang penuh dengan bebatuan. Puncaknya tidak begitu ramai. Entah karena memang sepi, atau karena masih pagi buta. Matahari belum muncul sama sekali di ufuk timur. Aku bahkan tidak bisa membedakan mana timur dan barat sekarang. Yang ada di depan mataku hanya langit gelap khas pagi yang masih buta, dengan awan yang memayungi, serta awan-awan yang ada tepat di depan mataku.

Jaka membawaku ke gubuk kayu yang berada di puncak gunung. Gubuk yang kelihatan sudah ringkih dan tua, namun rupanya masih sanggup menampung Jaka dan aku di terasnya. Tidak ada orang lain di sini selain kami.

"Ngapain lo bawa gue ke sini?" tanyaku.

"Sekarang masih jam setengah lima. Nanti, jam lima atau sekitar setengah enam lo juga tau," jawabnya sambil menyungging senyum. Laki-laki itu kemudian bersandar pada pagar kecil yang mengelilingi gubuk. Pasrah dengan entah apapun kejutannya, aku putuskan untuk manut. Aku ikut bersandar pada pagar yang sama, dan kami mulai tenggelam dalam hening dan dinginnya Gunungkidul.

"How's college, Arta?" tanya Jaka.

Aku mengangguk dan senyum, artinya baik-baik saja. Kaku sekali, sih, pertanyaannya. Seperti orang tua!

"Gimana rasanya jadi guru muda di SMA? Jadi inceran berondong, nggak?"

"Ya nggak, lah, gila aja lo!" tukasku sambil tertawa menanggapi pertanyaan konyolnya. "Ngapain juga sama anak kecil, nggak minat gue."

Jaka hanya terkekeh menanggapi jawabanku. Selanjutnya laki-laki itu diam. Setelah pertanyaan-pertanyaan anehnya, sekarang dia diam? Sebenarnya Jaka mengajakku ke sini untuk apa, sih?

Akhirnya, setelah bermenit-menit kami diam, aku yang angkat suara. "Kerjaan lo sendiri, gimana?"

"Good," jawabnya singkat sambil menyungging senyum. "Gue menikmati pekerjaan gue, sih. Mungkin karena emang gue juga seneng baca, kali, ya. Jadi asyik gitu jadi translator buat buku. Terus, gue juga seneng public speaking, jadi kerjaan sampingan gue pun rasanya seru. Kayak, nggak ada beban."

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now