BAB 22 Ⅱ Arta

302 72 88
                                    

ARTA

JAKARTA, 2023
LIMA tahun aku menekuni pendidikan di kursi Universitas Negeri Jakarta. Meski telat setahun, tapi hari ini, semuanya usai. Toga yang jadi outfit of the day telah menemaniku melangkah sejak pukul enam pagi tadi. Serangkaian acara resmi wisuda hampir selesai. Master of Ceremony yang berdiri di depan panggung membacakan sederet penutupan singkat yang diakhiri dengan doa. Seluruh wisudawan akhirnya bernapas lega setelah duduk berjam-jam di dalam ruang serbaguna yang besar ini.

Satu per satu orang keluar berdasarkan urutan yang telah dibacakan. Jurusanku pertama. Aku bersama beberapa orang berbondong-bondong keluar dari ruangan, menemui orang tua masing-masing yang menunggu di lobi Jakarta Convention Center. Begitu pula denganku. Meski dengan toga yang membuatku agak tidak bebas bergerak, aku berlarian ke arah Ayah dan Bunda, memeluk mereka erat sebelum akhirnya pelukku berpaling kepada Bang Dhito, kakak laki-lakiku.

Belum selesai aku memeluk Bang Dhito, mataku tiba-tiba menangkap sosok yang sudah asing, jalan mendekat. Seketika, dekapku merenggang. Kami sudah tidak pernah berjumpa sejak terakhir kali berpisah di kedai kopi tiga tahun silam, tapi kenapa Javas datang ke acara wisudaku? Siapa yang memberi tahunya?

"Ar, ada Jaka." Bang Dhito ikut merenggangkan dekapnya, lalu berbisik.

Kontan, aku melepaskan peluk hangat kami dan berbalik badan. Jaka datang dengan senyum merekah di wajahnya. Seketika, pikiranku tentang Javas habis seluruhnya. Perhatianku kini tertuju kepada Jaka yang membawakan satu buket bunga dengan kombinasi warna merah dan merah muda. Senyumku ikut mengembang menyambut kedatangannya.

"Selamat, ya, Bu guru," katanya.

Aku meninju lengannya sambil terkekeh-kekeh menanggapi ucapan selamatnya. "Ih, Jaka!"

"Loh, kan gue bener. Lo itu sarjana pendidikan, jadi pantes, dong, gue panggil Bu guru."

"Iya, sih. Tapi kan tetap aja, malu tau gue."

Omong-omong, sejak Jaka dan aku pulang dari Jogja, hubungan kami membaik sekali. Meski hanya sebagai teman, tapi kami selalu menjaganya. Tahun lalu, Jaka sudah lulus duluan daripada aku. Aku pun hadir di acara wisudanya, bertemu lagi dengan Ayu untuk sesaat. Perempuan itu masih berpacaran dengan Rama, dan kabarnya, akan menikah tahun ini, setelah gadis itu lulus kuliah.

Betapa mulus perjalanan cinta orang lain. Sementara aku, entah kenapa masih berdiri di titik yang sama. Sejak tiga tahun lalu, setelah kuputuskan untuk pulang kepada Jaka, hubungan kami begini-begini saja. Tidak pernah ada yang spesial. Entah sampai kapan.

"Heh, kok lo bengong!" Jaka segera mencubit pipiku yang masih dempul dengan berbagai kosmetik. Seketika aku terperanjat, hilang semua pikiranku tentang laki-laki yang kini berdiri di hadapanku. "Ini bunganya mau apa nggak? Atau gue kasih wisudawan lain aja?"

"Ih, mau!" ujarku, sedikit merengek.

Jaka hanya tertawa, dan sudah jelas, lebih memilih untuk semakin meledekku dengan cara menjauhkan bunganya dari gapaian tanganku.

Siang itu kami berfoto berdua, setelah aku sudah berfoto dengan Ayah, Bunda, dan Bang Dhito duluan. Keluargaku pamit pulang lebih dulu, sementara Jaka berjanji pada Ayah dan Bunda ia akan mengantarku pulang setelah kami jalan-jalan. Entah ke mana. Namun, sebelum kami jalan, aku izin sejenak pada Jaka untuk berganti pakaian dan menghapus make up tebalku. Laki-laki itu menunggu di depan toilet, bersama barang-barangku yang dititipkan kepadanya.

Kami jalan seiringan meninggalkan gedung. Hari ini, aku tidak melihat Javas lagi. Tidak tahu ke mana perginya, aku pun tidak peduli. Aku mau menghabiskan waktuku dengan Jaka.

"Ar, tau nggak, itu namanya bunga apa?" tanya Jaka sambil menarik seat belt. Aku menggeleng, sambil tetap memerhatikan bunga dengan kelopak panjang-panjang yang ramping, saling tumpang tindih dengan kelopak yang lebih kecil di atasnya. "Bunga gerbera."

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now