BAB 25 Ⅱ Jaka

649 92 111
                                    

JAKA

JAKARTA 2027
DULU, gue pernah bercanda ke teman-teman SMA, kalau gue dan Arta harus menikah duluan sebelum mereka. Sejak semalam, guyon gue bertahun-tahun lalu itu dibalikin sama teman-teman OSIS. Ya, itu artinya, gue dan Arta menikah paling terakhir di antara anak-anak OSIS yang lain.

Arta dan gue sepakat untuk menggelar acara cukup besar untuk resepsi pernikahan kami besok, persis seperti ketika Dhea menikah dulu. Bahkan, venue yang Arta dan gue pakai pun sama dengan yang dulu Dhea gunakan. Time flies. Dulu gue datang ke resepsi pernikahan Dhea dan melihat Arta yang berulang-ulang takjub sama acara Dhea saking megahnya. Besok, gantian teman-teman gue yang akan takjub melihat acara gue dengan Arta.

Teman-teman gue pada datang dari luar kota. Teman OSIS maupun teman kuliah, dan malam ini, gue menghabiskan sisa waktu sebelum akad secara intimate dengan teman-teman alumni OSIS. Bahasan kami di kamar sudah bukan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, melainkan tanya-jawab mengenai parenting. Sudah pasti, gue cuma menyimak dalam diam. Mereka pada sudah gandeng balita, sementara gue sampai hari ini masih sibuk baca novel fantasi yang makin lama makin memenuhi rak buku gue.

Sesekali, hal itu memang jadi ejekan, tapi gue nggak sekali pun anggap serius. Toh, gue yakin sepenuh hati, segala sesuatu sudah diatur. Termasuk hari ini dan besok. Tuhan yang mengatur gue dan Arta siap di usia gue yang ke-28, dan Arta ke-27.

"Tapi keren sih, Jaka. Langgeng banget sama Arta. Dari jaman SMA," ujar Affan. Pasti cari perhatian saja dia membela gue. Dari tadi gue diejek-ejek karena baru menikah.

Tiap orang di dalam kamar tertawa menanggapi ejekan Affan. Detik selanjutnya, yang lain mulai menimpali dengan ejek-ejekan lainnya. Gue hanya tertawa menanggapinya. Atau, kadang, kalau ejekannya menyebalkan, gue lempar aja kepalanya pakai kacang yang sedang jadi camilan kami di kamar.

Tok tok!

Tawa menggelegar kami terhenti. Pintu kamar diketuk, dan kini perhatian semua orang tertuju pada sumber suara. Affan yang terdekat posisinya dari pintu kami jadikan tumbal untuk menerima tamu. Arta yang berdiri di ambang pintu, ternyata.

"Nyari Jaka atau nyari yang lain, Ar?" tanya Affan.

"Ye, sembarangan lo!" tuding Arta sambil tertawa. "Mana Jaka?"

"Lagi nobar onlyfans sama Rendi. Closing-an sebelum nikah."

Gue memelotot. Gegas gue beranjak dari kasur, menyingkir dari Rendi yang tengah menonton video di Instagramnya. Kalau Rendi marah dan menimpuk Affan dengan kacang, maka gue langsung menghampiri dan mengusirnya dari hadapan Arta. "Edan. Ngawur abis," dakwa gue. "Kenapa, calon istriku?"

"Anjir, Jak! Najis banget lo!" Affan menyikut sebelum dia benar-benar pergi dari hadapan gue dan Arta. Gue hanya tertawa menanggapinya.

"Ih, sebelas tahun gue buta banget ya bisa-bisanya mau nikah sama laki kayak lo." Arta mendelik. Kali ini, tawa gue yang berhenti, digantikan dengan seisi kamar yang menertawakan gue. Sialan, Arta. Beneran, pengin gue kata-katain seandainya dia nggak akan jadi istri gue besok pagi. "Ikut gue, yuk."

Dia nggak meminta persetujuan gue, tapi langsung menarik tangan gue untuk keluar dari kamar, bahkan tanpa mempersilakan gue untuk ambil jaket atau ponsel. Arta membawa gue ke kolam renang, lalu dia baru melepaskan gandengan tangannya untuk duduk di pinggir kolam.

"Why?" tanya gue sambil duduk di sebelahnya. "Malam sebelum Dhea nikah, lo nyuruh gue ke kolam renang, dan sekarang, malam sebelum kita nikah, lo narik gue ke kolam renang. Lo punya kisah tak terlupakan sama kolam renang atau gimana, sih, Ar?"

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang