BAB 12 Ⅱ Arta

249 63 18
                                    

ARTA

DENGAN paksaan beradaptasi dengan keadaan baru ini, aku perlahan mulai membiasakan diri. Toh, hari akan selalu bergulir meskipun aku tidak siap dengan besok. Termasuk, kalau aku memenangkan rasa tidak siap untuk proker perdanaku bersama pengurus BEM.

Berbekal doa dan dengan upaya maksimal, kami akhirnya benar-benar menggelar kompetisi debat Bahasa Inggris antar mahasiswa hari ini. Sejak satu jam sebelum acara dibuka kami sudah stand by. Aku bisa melihat satu per satu orang mulai masuk di layar laptopku dan menampilkan wajahnya. Tidak seperti hari-hari rapat yang kumal, pagi ini semua orang tampak rapi dengan dress code yang sudah disepakati. Rambutnya tersisir, wajah anak perempuan minimal terpoles liptint meski di kamera tidak begitu terlihat.

Di luar itu, yang membuatku bersyukur lagi adalah aku bisa melihat bahwa mahasiswa lain pun mendukung acara kami. Sejak semalam, banyak sekali mahasiswa dari kalangan kakak tingkat sampai adik tingkat, serempak mengunggah poster acara debate competition. Meski bosan berulang-ulang melihatnya, tapi ternyata memuaskan juga rasanya melihat banyak orang mendukung acara kami.

Seandainya pergerakan kami tidak terbatas, aku ingin sekali mengajak teman-teman panitia untuk makan malam bersama setelah penutupan acara nanti sore. Namun, tentu saja hal tersebut harus urung kulakukan. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada jajaran panitia yang sudah berkontribusi dalam perjalanan panjang yang terasa singkat ini. Tanpa mereka, Rafhi dan aku takkan pernah bisa menyukseskan acara hanya berdua. Untukku, ini adalah acara perdana yang membanggakan. Sebuah pembukaan dari pengurus BEM angkatan kami yang sukses.

Agenda evaluasi yang diadakan setelah magrib juga rasanya menyenangkan. Kami tidak banyak melakukan kesalahan, bahkan hampir tidak ada selain tadi sempat terkendala karena sinyal moderator tidak stabil sehingga harus diambil alih oleh panitia lainnya. Selebihnya, tidak ada yang perlu dikomentari. Evaluasi berjalan lancar, begitu pula dengan penghitungan skor peserta untuk menentukan pemenang, yang dinilai oleh dosen dari jurusan.

"Tim desain tinggal buat pengumuman pemenang untuk di-upload ke Instagram. Tektokan sama anak publikasi, ya, buat caption dan tentuin jam upload. Dua hari lagi kita publish pengumuman pemenang," dikte Rafhi. Kami semua sedang menyimak laki-laki itu bicara. Energinya seperti tidak bisa habis setiap harinya. "Nanti list pemenangnya gue forward setelah gue dapat informasi dari kaprodi. Besok sih paling telat. Bikin template-nya aja dulu, ya. Nama-namanya nanti menyusul."

"Ada pertanyaan lagi?" tanya Rafhi. Beberapa orang menggeleng tanpa mengaktifkan mikrofonnya, beberapa sisanya tetap diam. "Kalau nggak ada, bisa gue tutup, ya? Berhubung udah malam juga, kalian butuh istirahat. Take your time, everyone. Karena, mulai Juni atau Juli nanti kayaknya kita udah harus bahas Pra-PKKMB sama PKKMB, iya kan, Ar?"

Aku diam, berpikir sejenak untuk memastikan bahwa Rafhi sedang bicara padaku. Sadar tidak ada yang memberikan respons, aku langsung bicara, "Oh, iya. Iya Juli, Fhi. Nanti gue bakal follow up lagi."

Semua orang mengangguk paham. Hak bicara kuberikan lagi kepada Rafhi yang segera menyudahi agenda padat hari ini. Satu per satu orang keluar dari pertemuan daring kami. Aku memutuskan untuk keluar terakhir, dan sepertinya, begitu pula dengan Rafhi. Dalam lima belas menit, semua orang sudah meninggalkan ruangan kecuali Rafhi dan aku. Kameranya pun masih menyala. Bisa kulihat kini laki-laki itu tersenyum, "Thanks ya, Arta."

Aku hanya mengangguk. Rasanya sudah terlalu lelah untuk bicara panjang lebar.

"Lo capek nggak, Ar?"

Pertanyaan itu melambung ketika aku baru saja ingin menyudahi pertemuan ini. Sebetulnya lelah sekali, sih, tapi melihat wajah Rafhi, aku rasa ada yang ingin ia bicarakan. "Kenapa, Fhi?"

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang