BAB 05 Ⅱ Jaka

324 92 37
                                    

JAKA

SEBETULNYA ini merepotkan gue, tapi entah kenapa, gue nggak menyempatkan diri untuk protes pada Arta atas beban yang dilimpahkan ke gue sore ini. Gue juga sebetulnya nggak tau, acara yang Dhea usung ini acara model apa, tapi ya udahlah. Toh, gue tinggal hadir, makan malam dan mengobrol dengan anak-anak OSIS, tidur malam, lalu besok seharian berada di hotel tempat resepsi pernikahan Dhea berlangsung.

"Jaka, makasih ya. Semua barang-barang Arta udah dia siapin di sini. Bunda nggak tau deh, pokoknya kata Arta sih bawa ini aja," ujar bunda Arta seraya memberikan gue sebuah tote bag kanvas berwarna broken white. "Makasih ya, Jaka. Hati-hati loh kalian perginya. Jangan aneh-aneh."

Gue senyum menyambut perhatian kecil itu. "Iya, Bunda," jawab gue singkat, sebelum akhirnya gue pamit untuk benar-benar pergi karena sepertinya Arta sudah nungguin gue di kampusnya.

Setelah mendapatkan restu untuk pergi, gue segera menancap gas, meninggalkan kawasan rumah Arta dengan kecepatan tinggi. Dalam waktu kurang dari dua jam, gue dan Arta sudah tiba di The Dharmawangsa, hotel yang akan jadi venue untuk resepsi pernikahan Dhea besok. Kami segera menuju ke kamar yang tadi disebutkan Dhea, sambil tak henti-hentinya saling sikut karena nggak menyangka acara pernikahan Dhea akan diadakan di hotel semegah ini.

"Such a dream wedding," ujar Arta begitu langkah kami terjeda karena pada akhirnya kami memutuskan buat menunggu Shafa dan Affan menjemput di lobi. Senyum Arta mengembang sambil matanya masih menyapu tiap sudut ruangan. "Gila ya, Jak."

Gue terkekeh pelan. "Kenapa gila?"

"Kalau calon suami gue kaya raya, gue pengin deh resepsi gede-gedean begini," ujarnya, tanpa menggubris pertanyaan yang barusan gue tanya. Menanggapi keinginannya, gue hanya menganggukkan kepala tanpa bicara lagi. "Gila ya, Jak."

Sekali lagi, ungkapan itu keluar dari mulut Arta, dan sekali lagi juga, gue terkekeh. "Siapa sih yang gila? Lo, atau gue?"

"Ye, bukan kita lah, bege," balasnya seraya menyikut gue. "Maksud gue, Dhea sama calon suaminya."

Gue hanya mengangguk-angguk sambil tertawa. Nggak berkelanjutan lagi percakapan kami, berhubung dari arah lain, gue mendengar Affan berteriak memanggil kami. Di sebelahnya, ada Shafa yang jalan seiringan dengannya. Gegas, gue dan Arta jalan mengekor Affan dan Shafa menuju kamar hotel yang bersebelahan. Gue masuk ke kamar bersama Affan, sementara Arta pergi dengan Shafa. Gue temui beberapa orang di dalam, yang kemarin malam juga sempat nongkrong di kafe ketika gue baru tiba di Jakarta.

"Jaka Almi Syahidan!" pekik Rendi sambil membentangkan kedua tangannya, seperti mau memeluk gue. Gue hanya tertawa pelan tanpa mau menyambut peluknya. "Beh, sombong banget anak UGM, euy."

Gelak tawa menggelegar kemudian. Pun dengan gue, turut menertawakan ejekan tersebut.

Malam ini, kegiatan kami sebenarnya hanya berkumpul. Setelah acara makan malam bersama, kami kembali ke kamar, dan menghabiskan sisa malam dengan mengobrol panjang sambil beberapa di antara kami mabar game online. Gue sih nggak ikut main. Gue hanya jadi tim horenya Affan, yang bersorak bangga ketika Affan mengalahkan lawan, dan bersorak mengejek ketika Affan yang dikalahkan lawan.

Sementara sibuk dengan game online dan membahas berbagai hal—melanjutkan pembicaraan yang malam lalu kami bahas di kafe—gue dan anak-anak laki nggak tau apa yang dilakukan anak-anak perempuan di kamar sebelah. Entah sedang gosip, atau sedang main dandan-dandanan, nggak penting juga sih, sebetulnya.

Perbincangan anak-anak laki di kamar kian malam kian ngawur. Nggak ngawur, sih, tapi gue rasa makin aneh aja. Awalnya kami membicarakan perkembangan game online yang tengah hit, membandingkannya dengan game-game yang sudah lebih dulu beredar bertahun-tahun sebelumnya. Lalu, gue nggak ingat gimana kronologinya sampai kami tiba-tiba membahas kisah Nabi Ibrahim. Pandu yang memulakannya.

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now