BAB 19 Ⅱ Jaka

281 77 69
                                    

JAKA

TANGGUNG jawab gue jadi bertambah akhir-akhir ini. Selain harus memantau progres pekerjaan staf gue di divisi acara, gue juga harus mengurus kerucil resek yang tiba-tiba datang ke Jogja tanpa aba-aba. Iya, Arta. Cewek itu memang deh tingkahnya banyak banget dari dulu. Meskipun sebetulnya dia bukan tanggung jawab gue secara resmi, sih, tapi gue nggak pernah tega meninggalkannya tanpa pengawasan. Meskipun gue yakin Arta baik-baik saja dengan Ayu—bahkan mereka kelihatannya akur banget, tapi gue tetap nggak bisa tenang kalau gue nggak memastikan sendiri. Akibatnya, setiap nggak nongkrong di kampus, gue jadi nongkrong di rumah Bu Ratih.

Untuk apa lagi kalau bukan untuk merhatiin Arta? Dia setiap malam juga cerita sama gue, katanya Javas, mantannya itu, masih menghubunginya dan bertanya-tanya ke mana Arta kabur. Bukan cuma tentang Javas, Arta juga selalu mengeluh kepada gue tentang kesibukan di organisasinya. Semangatnya hilang banget. Gue sering lihat Arta rapat secara daring di ruang tamu rumah Bu Ratih. Dia nggak kayak Arta yang gue kenal.

"Ar, lo yakin nggak mau gue beliin makan malam?" tanya gue di sela-sela rapat daringnya. Gue duduk di sebelahnya, tapi tetap memastikan wajah gue nggak tertangkap kamera laptopnya. "Ayam geprek mau, nggak?"

Arta menggeleng. Matanya tetap menyorot ke layarnya. Seharian ini Arta belum makan. Dia bete lagi karena tadi siang, si Javas Javas itu nelepon Arta dan menggertaknya untuk kasih tahu ke mana Arta pergi. Mereka akhirnya berantem di telepon, dan Javas berakhir marah balik ke Arta. Dih, kasar banget bentak-bentak cewek, padahal dia yang bikin Arta terpuruk begini.

"Soto lamongan, mau?"

Arta menggeleng lagi.

"Ya terus apa dong, Ar?" gue bertanya untuk yang kesekian kalinya dalam satu jam terakhir ini. "Jangan nggak makan dong, Arta. Lo dari pagi ngurusin PPSMB—"

"Di kampus gue namanya PKKMB, bukan PBSM—PPSB, PSBB, apalah itu namanya."

"Iya, oke. PKKMB. Lo dari pagi ngurusin PKKMB. Sore ke malam rapat. Lo belum makan sama sekali loh, Arta," koreksi gue sambil melanjutkan ucapan. "Lo ke sini mau have fun, kan, bukan mau suntuk begini?"

"Sip. Thank you ya, Siska. Untuk anak acara gimana progresnya? Sori, ya, kemarin gue lupa kirim balik fail undangan yang udah gue tanda tangan, tapi tadi siang udah gue upload ke Google Drive. Udah dicek, belum?"

Gue berdengkus. Amarah gue sudah menumpuk, tapi kali ini gue terpaksa mengalah dulu karena tanggung jawab Arta memantau anak-anak buahnya untuk acara PKKMB kampusnya nggak boleh gue ganggu. Setelah gue pastikan Arta sudah selesai bicara dan mikrofonnya sudah dinonaktifkan, gue menawarkan makan sekali lagi kepada Arta.

"Mau gudeg, nggak?"

"Jaka." Arta menoleh pada gue. Tatapannya serius. Alisnya bertaut. "Gue nggak mau makan."

"Cuma gara-gara lo bete sama Javas?"

"Bukan urusan lo, Jak," balas Arta. Gadis itu kembali menatap layar laptopnya. Wajahnya kini memerah penuh amarah; tatapannya nanar.

"You come here to see me, and I bring you here, Arta. So you are part of my responsibility," ucap gue. "Gue nggak cari ribut, ya, sama lo. I just put attention on you. Gue bertanggung jawab atas lo di sini, Ar. Lo belum makan seharian, nggak mungkin gue tetap biarin lo nggak maka—"

PRAAANG!

Debat gue dan Arta terjeda. Kontan tatapan gue teralihkan ke sumber suara. Ayu menjatuhkan piring dari tangannya hingga pecah dan kini belingnya bersepah ke mana-mana. Arta ikut menoleh, bahkan refleks hendak menghampiri Ayu juga, tapi gue menahannya.

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now