BAB 02 Ⅱ Arta

395 96 9
                                    

ARTA

"AR, lo yakin nih, nggak mau calonin diri jadi Ketua BEM?"

Dalam satu minggu ini, aku tidak tahu pertanyaan dengan pola serupa sudah berapa kali kudapatkan dari beberapa orang yang berbeda. Biasanya, hanya akan kubalas dengan senyum, lalu bilang, "Gue pikirin dulu deh."

Meskipun kenyataannya aku tidak mempertimbangkan apapun untuk menjawab semua pertanyaan itu dengan serius. Sebab, sejujurnya aku tahu, di antara enam puluh orang di angkatanku, belum ada lagi yang mencalonkan diri jadi ketua BEM Prodi selain Rafhi.

"Emangnya, apa lagi yang perlu dipikirin?" lalu dari lain arah, seorang laki-laki dengan rambut cepak yang hampir sudah tidak cepak lagi saking panjangnya, ikut campur dalam obrolanku. Senyum lebar menawan tampak di wajahnya yang segar, matanya yang hitam menyipit sedikit karena senyum. Tubuh tingginya yang tegap tersandar ke dinding di sebelah bahu kirinya. Penampilannya beda total denganku yang sudah lelah dan ingin segera istirahat.

Acuh tak acuh aku menanggapinya. Kupercepat kegiatanku, menyimpan satu stopmap berisikan belasan arsip surat dispensasi bulan ini. "Aku lagi nggak mau bahas yang penting-penting, Vas," balasku sambil melangkah mendahului Javas yang entah sejak kapan sudah ada di ambang pintu ruang BEM. "Udah yuk, pulang. Atau mau makan dulu?"

"Katanya nggak mau bahas yang penting-penting dulu," balas Javas sambil menyungging senyum meledek. Aku hanya berdengkus. Baiklah, aku kalah kali ini. Laki-laki yang terpaut satu tahun di atasku itu kemudian tertawa sambil melebarkan tangannya untuk merangkulku. "Keputusan mau makan dulu atau langsung pulang adalah hal yang penting, Ar."

"Astaga, Javas," responsku sambil menatapnya malas. "But it's part of our life."

Javas mengangguk sambil tetap merangkulku. Langkah kami sejajar meninggalkan gedung kecil di belakang gedung fakultas. "Jadi ketua BEM, juga akan jadi part of your life. Kenapa sih, Ar, kamu selalu menghindar untuk bahas itu?"

Kalau aku jadi Javas, aku sudah memutuskan untuk menyudahi percakapan soal Ketua BEM ini sekarang juga, tapi kenyataannya aku bukan Javas. Pun, laki-laki ini tidak mau berhenti bicara sebelum ia mendapatkan jawaban yang memuaskan hatinya sendiri.

"Vas, bisa nggak, kita nggak usah bahas BEM dulu?" tegasku pada akhirnya. Langkahku terjeda, membuat Javas turut berhenti melangkah. Kami saling tatap dalam diam. Ia masih dengan kesegaran di wajahnya yang tak hilang-hilang, dan aku dengan raut yang entah sudah selelah apa menghadapi hari yang panjang ini. "Kenapa sih aku harus jadi Ketua BEM?"

Rangkulannya merenggang. Javas menyungging senyum kemudian. "Bukannya kamu harus jadi Ketua BEM, Sayang, tapi maksud aku, ini adalah kesempatan emas yang bisa kamu manfaatkan. Jadi, kenapa nggak?"

"Kisimpitin imis."

"Eh, kok kamu ngeledek gitu, sih, jawabnya," balas Javas sambil tertawa. Laki-laki ini, selain tidak mengerti perasaanku yang tidak mau sama sekali mencalonkan diri jadi kandidat Ketua BEM, ternyata juga tidak mengerti bahwa aku sedang tidak bermain-main dengan ucapanku. Sial. "Aku nggak maksa kamu kok, Ar. Silakan kamu pikirin dulu aja, ya. Pertimbangin keputusan kamu. Jangan sampai Rafhi itu jadi kandidat tunggal buat Ketua BEM selanjutnya."

Aku diam. Kupandangi wajahnya yang baru saja tersenyum itu. "Emangnya kenapa sih, kalau Rafhi jadi kandidat tunggal?" tanyaku. "Kan kalau emang cuma Rafhi yang mau jadi Ketua BEM, ya udah. Nggak apa-apa, kan?"

"Ya ... bukannya nggak boleh," katanya. "Cuma, rasanya nggak aci aja kalau Rafhi nggak punya lawan. Lagian ya, Rafhi juga nggak punya wakil, Ar. Kalau emang nggak mau jadi ketua, kamu juga bisa, lagi, jadi wakil."

"Kalau aku nggak mau jadi dua-duanya, bisa, Vas?" tanyaku, sudah jengah maksimal dengan tawaran yang selalu Javas negosiasi setiap harinya.

"Kamu beneran nggak mau, ya, manfaatin kesempatan emas ini?" tanyanya. Aku geming. Kuputuskan untuk tidak menjawab pertanyaan itu, tapi Javas justru jadi jauh lebih serius dari sebelumnya. "Kamu tuh pinter loh, Ar. Dan, jadi Ketua BEM itu banyak membuka jalan ke banyak hal-hal yang bermanfaat. Kamu bisa lebih gampang dapet beasiswa, kamu bisa ikut pertukaran pelajar, kamu bisa lebih gampang jadi asdos, dan banyak lagi selain itu."

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang