BAB 23 Ⅱ Jaka

288 68 50
                                    

JAKA

YOGYAKARTA, 2024
TADINYA, Arta mau ikut gue kerja ke Bandung supaya gue nggak perlu pulang ke Jakarta untuk menjemputnya, tapi, ternyata dia ada make-up class untuk mengganti kelas yang dua hari lalu kosong karena dosennya sedang penelitian. Alhasil, perempuan itu meyakini gue kalau ia akan baik-baik saja meskipun berangkat sendiri dari Jakarta. Gue nggak mau memaksakan, karena kami pun benar-benar nggak punya banyak waktu.

Ini sudah hampir pukul sepuluh malam. Gue sudah duduk di stasiun selama dua jam, dan sudah bolak-balik melihat jam besar yang ada di stasiun. Kereta yang Arta tumpangi belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Pengeras suara di tiap sudut stasiun juga belum mengumumkan kedatangan kereta Bangunkarta dari arah Pasar Senen, Jakarta.

Padahal, Arta bilang dia akan tiba pukul sembilan, tapi belum ada kabar darinya.

Pukul setengah sebelas, setelah entah berapa menit gue sayup-sayup memejamkan mata, akhirnya gue dengar pengumuman yang menggelegar di stasiun yang terlampau sepi. Keretanya sudah mau sampai, dan dalam waktu dekat, gue udah bisa melihat Arta berlarian ke arah gue sambil menarik koper merah mudanya yang masih awet.

Kami beranjak segera, memesan taksi online menuju rumah Bu Ratih. Beberapa hari lalu gue dan Arta sudah memberi kabar kepada Ayu kalau kami akan datang ke acara pernikahannya, dan Bu Ratih menyuruh kami untuk menginap di rumahnya ketika datang.

Gue masih ingat di luar kepala jalan menuju rumah Bu Ratih. Tibalah kami di sana, di rumah sederhana bercat putih yang belum memiliki perbedaan apapun selain catnya diperbaharui.

Senyum gue mengembang begitu langkah gue dan Arta membawa kami masuk ke pelataran rumahnya. Tanpa perlu gue ketuk pintu, sang pemilik rumah sudah tau kami datang. Mungkin, sudah menunggu seharian. Gue bisa lihat Ayu mengintip dari jendela, sebelum akhirnya gue dengar suara kunci pintu yang terbuka.

"Mbak Arta!" pekik Ayu sambil melebarkan kedua tangannya untuk saling berpelukan dengan Arta. Mereka langsung kangen-kangenan, bak teman lama yang sudah lama nggak ketemu. Sementara gue ditinggalkan di teras, dengan dua koper yang harus gue bawa masuk.

Selanjutnya, Mas Wara, kakak laki-laki Ayu nomor tiga, menyambut kehadiran gue. Semua saudara laki-laki Ayu berkumpul, sehingga malam ini, rumah Bu Ratih ramai sekali dengan anak-anak kecil, cucunya.

"Mas Jaka, di kamar atas, Mas. Udah tak siapin," ujar pria dengan nama lengkap Jawara tersebut. Gue mengangguk dan menyungging senyum, lalu mengikuti langkahnya menuju lantai dua. Ada satu kamar kosong, memang khusus tamu. "Mau langsung istirahat, po, Mas?"

Gue mengangguk sopan. "Nggih, Mas."

Selanjutnya, Mas Wara pamit meninggalkan kamar gue, dan menutup pintunya. Gue menilik tiap penjuru ruangan sebelum akhirnya menyambar koper untuk mengambil pakaian ganti. Gue nggak langsung tidur, melainkan jalan ke balkon. Dari sini, gue bisa melihat gedung kampus gue, serta jalan raya yang terlampau sepi. Hampir kosong.

Angin malam yang dingin bukan main berulang-ulang menerpa, membuat gue berkali-kali pula mengusapkan telapak tangan gue ke lengan, dan berakhir memeluk tubuh gue sendiri.

"Dingin to, Mas, tengah malam gini di luar, nggak pakai mantel."

Tanpa gue menoleh, gue sudah tahu itu suara Ayu. Perempuan yang besok akan resmi jadi istri orang ini, berdiri di sebelah gue. Tubuhnya terbalut piyama hitam berlengan panjang, pun dengan celana yang panjang pula.

"Kok belum tidur, Dek?" tanya gue.

"Nggak tau, e, Mas. Aku takut lho, Mas, menghadapi besok," katanya.

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeМесто, где живут истории. Откройте их для себя