BAB 20 Ⅱ Arta

291 72 86
                                    

ARTA

SAMA sekali tidak kurepotkan diri untuk bertanya ke mana Jaka akan membawaku, karena perjalanan kami terlihat normal-normal saja. Pada awalnya. Garis bawahi, pada awalnya. Tapi lama-lama, kami meninggalkan jalan raya. Jaka mengendarai motornya ke jalan kecil dengan kebun mengelilingi kanan kirinya. Jalanannya juga tidak rapi, sehingga motor yang kami tumpangi sesekali harus melaju dengan kecepatan rendah karena banyak lubang yang tersebar di sepanjang jalan.

"Jak, mau ke mana?" tanyaku sambil tetap menyaksikan rumput-rumput tinggi yang melingkup. "Kok ke jalan kecil begini? Mau ngapain lo ke kebon!"

"Dih, najis amat gue ngajak lo ke kebon!" pekik Jaka.

"Lah ini!" aku tidak mau kalah suara. "Kebon semua begini. Ini mah bikin makin suntuk, tau, nggak? Di Jakarta juga ada kalau kebon doang!"

Tanpa aba-aba, Jaka menepikan motornya, lalu berhenti di antara pepohonan yang tinggi besar, rimbun dengan banyak daun yang menaungi kami. Jalanan sepi pula. Hanya ada Jaka dan aku di satu motor yang sama.

Sebelum ia sempat menoleh kepadaku, aku sudah lebih dulu memukul helmnya dan mengomel lebih lanjut, "Heh, ngapain berhenti!"

"Lo cerewet banget," tukasnya. "Ini udah setengah jalan, mau dilanjutin atau nggak?"

"Mau ke mana?"

"Sekarang rahasia dulu. Nanti kalau udah sampai, gue kasih tau," jawabnya. "Mau dilanjut, nggak?"

Dengan wajah cemberut, aku merespons, "Apa susahnya sih bilang mau ke mana?"

"Emangnya nggak boleh, ya, kalau gue surprise ke lo?"

Aku total diam kini. Boleh, sih, tapi kalau dibawa ke tengah kebun begini kan aku jadi sangsi. "Awas lo ya kalau aneh-aneh," ancamku sambil memelototkan mata. Bukannya takut, Jaka malah menertawakanku. Tanpa konfirmasi lagi, laki-laki itu langsung membawa lagi motor yang kami tumpangi, menyusuri semakin jauh kebun hijau ini.

Aku tetap tidak berkutik, sampai akhirnya kusadari sendiri bahwa kami tidak sedang mencari ujung dari kebun ini. Sepanjang jalan kami diam. Jaka fokus pada jalan yang kami lalui. Lama-lama aku bisa melihat rumah-rumah warga, lalu lama-lama lagi, setelah hampir dua jam perjalanan dari rumah Bu Ratih, akhirnya aku tahu tujuan akhir Jaka.

Sejak memarkirkan motor di parkiran yang supersepi, aku tidak bisa berhenti merasakan senang di dalam hatiku. Ini benar-benar surprise! Jaka benar-benar di luar dugaanku. Tadi, dua jam lalu, aku pikir Jaka akan mengajakku jalan ke malioboro atau ke alun-alun yang dekat dari rumah Bu Ratih, tapi ternyata jauh dari itu. Kami menempuh dua jam perjalanan untuk tiba di Pantai Sadranan, di daerah Gunung Kidul.

Gegas kularikan diriku ke hamparan pasir putih di pinggir laut. Sesekali ombak menyambut kehadiranku, membasahi sepatu kets yang membalut kakiku. Tak henti-henti aku takjub pada laut biru yang jernih bukan main. Jaka berhasil memberiku surprise luar biasa!

Aku menyapu pandanganku ke sekeliling. Pemandangan pantai yang bersih benar-benar memanjakan mataku, sukses membuatku lupa akan hiruk-pikuknya Jakarta yang penuh masalah. Air yang jernih membuatku jadi ingiiiiin sekali masuk ke dalamnya, menyusuri betapa indahnya kehidupan bawah laut. Kami sebenarnya bisa snorkeling, tapi sayang sekali Jaka dan aku tidak bawa baju ganti. Memang anak itu bodoh sekali! Harusnya bilang kalau aku harus bawa baju ganti! Resek!

Sementara aku bermain-main di pinggir laut yang sesekali berupaya membanjiri sepatuku, Jaka duduk jauh dari posisiku berdiri. Laki-laki itu curang. Ia membawa kacamata hitam, dan mengenakan topi!

"Arta, sepatunya dilepas! Nanti basah lo nggak bawa ganti!" ujarnya. Terlalu terlambat, tapi aku juga baru sadar bahwa aku sejak tadi justru sengaja masih mengenakan sepatu.

[TJS 3.0] Jakarta: Welcome HomeWhere stories live. Discover now