hidden desire 2 - chapter 7

163 14 3
                                    


CHAPTER TUJUH

Karle tersaruk-saruk di depan pintu. "Hazel, kau mabuk?"

"Hm, apa maksudmu? Aku hanya .. dapat sedikit hadiah saja. Namanya Nyonya Ashley, dia memberikanku wine lezat, kau mau juga?"

"Kau terlihat mabuk, Hazel." Karle cepat menopang tubuh Hazel dan mendudukkannya di kursi. "Astaga, sejak kapan kau sampai? Bukannya kau harus menyetir? Mengapa mabuk?" Karle membantu melepas dua kancing teratas Hazel agar pria itu tidak sesak.

Setelahnya, Karle membantu Hazel agar terduduk di kursi. Sebenarnya Karle sangat tidak suka pria yang mabuk—mereka lebih mirip zombie mengerikan, yang bisa saja melukai siapa pun. Tapi ini Hazel. Mereka tinggal bersama. Mereka dekat. Dan Karle bersusah payah mengabaikan aroma alkohol yang menguar dari pria itu. Sekarang, beres melepaskan dua kancing kemeja Hazel agar pria itu bisa bernapas lebih leluasa, Karle menatapnya miring.

"Mengapa kau berani mabuk? Siapa yang mengantarmu?"

"Hm, kenalanku," jawabnya. Hazel langsung menyambar bahu Karle agar mereka berpelukan. Butuh segenap tekad agar Karle tidak mendorong keras Hazel. Dia suka dipeluk Hazel, tapi sungguh, Hazel yang mabuk? Yang sekarang bicar saja seperti mengingau? Ini bukan Hazel yang Karle sukai.

"Hm, kau jadi lebih mirip ibumu jika bicara seperti itu." Butuh beberapa menit sampai keheningan itu mulai pecah. Hazel menarik sedikit wajahnya lalu memandang Karle. Sedikit senyum terulas. "Kau sangat mirip dengannya, cantik dan manis. Dan pemberani, agak keras kepala, tapi sangat menawan."

"Jadi kau benar-benar mengenal ibuku, Hazel? Kapan kau akan cerita secara jelas padaku?" tanya Karle penasaran. Selama ini, pria tersebut terus menutup mulut dan tidak pernah membahas lebih lanjut soal orang tuanya—pasangan Wallace—padahal Karle sangat menanti momen tersebut, dan sekarang, tanpa pernah disangka, ucapan itu meluncur bebas dari bibir Hazel. "Ceritakan padaku apa yang kau tahu tentang mereka sekarang juga."

"Sst, pelan-pelan."

"Hazel, kumohon." Entah dorongan dari mana, Karle merasa matanya memanas. Orang tuanya bagaikan satu hantu di kepala. Karle juga tidak paham dengan seragan rindu yang menyerbu. Hanya saja, selama hidupnya Karle merasa kedua orang tuanya hanya legenda—dibicarakan tanpa pernah nyata, disebut tanpa pernah jelas keberadaannya. Karle sadar betapa dia ingin memandang mereka, mengatakan sesuatu pada mereka, dan bertanya mengapa Karle ditelantarkan sampai akhirnya berada di panti asuhan.

Misteri itu masih menjadi misteri hingga detik ini.

Hazel membasahi bibir bawahnya singkat. "Kurasa bukan waktu yang bagus untuk bercerita." Matanya agak berkunang, berat. "Aku ingin tidur.."

"Hazel! Serius! Apa yang kau ketahui soal orang tuaku? Mereka benar-benar sudah meninggal? Jawab! Mengapa kau terus menutup-nutupinya... " Karle merasa sesak. "Mengapa kau tidak pernah membahas mereka secara jelas. Mengapa... mereka meninggalkanku."

.

.

Pagi hari, Karle bersiap untuk pergi bekerja. Si kecil Rowe pasti sangat rewel jika Karle tidak muncul tepat waktu. Karle paham, sebaiknya dia menyibukkan diri daripada terus bergumul dalam rasa bingung, sedih dan gundah.

Hazel bangkit dari ranjangnya, menyikap selimut. Matanya melebar. "Astaga, semalam.." Ekor matanya melirik Karle yang sibuk di dekat lemari, tengah mengenakan tas yang disampirkan di sekitar bahu. "Kau mau ke mana?"

"Kerja."

"Semalam aku mabuk." Hazel merintih karena kepalanya yang masih pening. "Apakah sesuatu terjadi?"

hidden desire (2017) ✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum