chap 12

1.3K 83 1
                                    

CHAPTER DUA BELAS

Karle tidak mengenakan kalung tersebut. Aneh saja, karena kalung tersebut begitu mencolok di lehernya. Apalagi, berat mutiara tersebut menghantuinya. Untuk apa Mr. Priceton perlu memberinya? Padahal di sana ada Janet. Jika Janet melihat dan curiga bagaimana kalung itu melingkari leher Karle, tentu itu jadi masalah. Bagaimana pun, Janet itu ... gadisnya, bukan?

Pilihan Karle jatuh pada gaun putih dengan motif sederhana di bagian kerah Terdapat bunga-bunga mungil yang begitu indah. Karle membiarkan rambutnya tergerai lurus, sedangkan dia memoles riasan tipis. Ini hanya makan siang. Dia mengingatkan dirinya untuk beberapa menit terakhir di depan cermin. Terakhir kali ia berdadan seperti ini, ia teringat akan hari di mana Mr. Priceton mendatanginya. Membawanya kemari. Dia tidak pernah bisa lari dari sosoknya.

Hazel Priceton, tanpa sadar, telah membuat hidupnya berbalik arah dalam poros yang aneh dan mengejutkan.

Dan Karle masih setengah linglung mengingat apa yang terjadi di tengah mereka; rasanya bagaikan mimpi?

"Nona, kau sudah siap?"

Karle mengangguk lantas mengikuti langkah Charlotte. Biasanya dia akan sibuk dengan pikirannya, sekarang dia hanya ingin tidak ada hal yang buruk terjadi.

"Siapa lagi sih yang kita tunggu? Apakah orang itu penting aku—" Ucapan Janet terpotong sewaktu Karle mengangkat wajah dan tampil di hadapan dua orang tersebut. Mr. Priceton mempersilahkan sedangkan Janet seperti baru saja tersiram cairan keruh. "Apa—apa ini, Hazel?" Dia berdecak.

Mr. Priceton mengintruksi pelayannya untuk membawa makanan dengan segera. Dia terduduk di kursi di ujung sana, namun ketika Karle memgambil tempat biasanya, dia menggeleng. "Pindahlah di sebelahku."

"Hazel!"

"Karleigh, kemarilah," bujuknya lembut. Karle mengangguk samar seraya berjalan ke dekat kursi, tepat di sebelah kanan Mr. Priceton. Janet belum duduk, masih berkacak pinggang. "Apa kau hanya berdiri saja di sana atau makan bersama kami?"

"Apa ini?"

"Makan siang kita." Beberapa chef menyajikan beberapa lauk yang memiliki aroma lezat. Karle tidak fokus, namun dia coba tidak terlalu tertarik dengan percakapan pasangan di dekatnya.

"Tapi apa?" desak Janet. "Bagaimana mungkin kau mengundang orang asing ini."

Mr. Priceton berdeham pelan. "Orang asing apa? Dia adalah bagian dari rumah ini."

"Dia hanya pelayanmu, Hazel! Sadarlah, tidak ada bedanya dengan—"

Kursi Mr. Priceton terdorong, dia cepat menghadap Janet. "Apa kau ingin mengoceh terus atau aku perlu menyelesaikan semua ini hanya bersamanya?" Karle hanya terdiam. "Duduk."

Janet mencebik kasar seraya menarik kursi di seberang Karle. Wajahnya tertekuk muram dengan pandangan mata menusuk. Karle sempat bertatapan dengannya namun dia tidak mengatakan apapun. "Ini mengesalkan."

Mr. Priceton membiarkan chef-chef handalnya mempersiapkan seluruh makan. Sampai mereka selesai, barulah dia menatap keduanya bergantian. "Pertama, tidak boleh ada yang memprotes di meja makanku. Kedua, ini makan siang yang bukan tanpa sebab. Ketiga, aku harap semua orang mendengarkanku."

Karle menunduk, tapi Janet berbeda, dia malah mendengus pelan. "Apakah kau akan berbasa-basi terus? Untuk apa aku makan semeja dengan pelayanmu."

"Demi Tuhan, Janet! Bisakah kau tutup mulutmu?"

"Apa ini, Hazel? Ini penghinaan! Bahkan pelayanku yang sudah dua puluh tahun bekerka pun tidak pernah ada yang berani duduk di meja makanku atau makan bersamaku!"

Mr. Priceton memejamkan mata.

"Kau keterlaluan! Aku pikir saat kau mengajakku makan siang, aku pikir kau akan menjelaskan yang sebenarnya! Bukan memperkeruh semuanya."

"Tenangkan dirimu, oke?"

Janet mengerang. "Apa? Kau membuatku bertambah kesal!" Dia memalingkan wajah. Karle akhirnya menatap keduanya bergantian. Dia melihat bagaimana Mr. Priceton yang masih kaku di tempatnya sepeti iasa, Janet yang sudah terlihat kesal buan main.

"Tuan, kurasa aku sebaiknya kembali."

Mr. Priceton menoleh padanya. "Tidak."

"Tapi—"

Mr. Priceton menghembuskan napas. "Karleigh, kumohon duduk di sini. Tidak ada yang meninggalkan meja ini sebelum aku bicara." Dia beralih pada Janet. "Aku ingin kau tidak berkata kasar, dan minta maaf padanya, Janet."

"Apa?"

"Kau sudah berkata kasar selama ini padanya. Aku tidak bisa menolersansi itu." Nada bicaranya memang tenang namun terdengar begitu tajam, dan Karle tidak heran mengapa seorang Hazel Priceton yang memilikinya. "Janet."

"Tapi kenapa? Kau sudah kehilangan aka—"

"Dia adalah orang penting dalam hidupku." Keduanya terkesiap. Mr. Priceton tidak berbalik pada Karle yang menatapnya bingung. "Kumohon, jangan buat aku membencimu."

"Tapi apa ini?! Aku kekasihmu dan kau yang sangat kasar padaku!" Ia menjerit. "Aku tidak percaya ini!"

"Janet," ulangnya.

"Aku tidak akan pernah minta maaf pada pelayanmu."

"Astaga, Janet, dia bukan pelayanku." Janet yang hendak bangkit langsung mengurungkan niatnya. Sekarang wanita itu menelisik wajah Karle seakan hendak menerkamnya hidup-hidup.

"Apa maksudmu, Hazel? Aku akan benar-benar marah kepadamu dan kau mungkin akan menyesalinya jika kau tidak berpikir sebelum berbicara kali ini."

"Dia tunanganku, Janet." Sesuatu seperti meledak begitu kerasnya. Karle membeku, napasnya sekaan berhenti begitu saja. Janet? Seperti baru saja mendapat siraman air keras di tempat. "Dia tunanganku dan aku telah mendapatkannya kembali."

Janet terkekeh kasar. "Kau bercanda."

"Aku tidak pernah bercanda, kau tahu itu," tegasnya. "Dia adalah tunanganku," sekarang Mr. Priceton mengangkat satu tangannya seraya meraih tangan Karle. Dia membungkustangan Karle yang dingin dalam genggamannya yang hangat tersebut. "Aku mendapatkannya kembali." Senyuman tipis terukir di bibirnya.

Karle tidak bereaksi. Dia masih seperti patung lilin yang mengeras. Jadi, ini sungguhan, sekarang?

"Tapi, Hazel? Kita—"

"Kita tidak pernah berhubungan apapun, kau tahu itu."

Janet mengebarak meja, seraya berdiri. "Kau sudah gila! Bagaimana mungkin kau bisa—aku sudah bilang kau gila!" makinya keras. Mr. Priceton tidak mengubrisnya, justru memandang Karle dengan tatapan yang aneh, membuat darah Karle berdesir cepat dan wajahnya serupa tomat. Dia tidak pernah menyukai dipandangi. Janet keluar dari ruangan tersebut, sedangkan Karle tidak menemukan suaranya.

"Jangan pernah terganggu karenanya. Kau memang pantas di sini, dan akan selalu demikian. Secepatnya, aku pastikan dia tidak akan di sini lagi," ujar Mr. Priceton. Dengan santai pria itu telah menarik tangannya kembali dan memulai makan siangnya.

Karle nyaris percaya ini mimpi di siang bolong!

"Ke mana kalungnya? Kau tidak suka?"

"Uh, itu ..." Karle menunduk. "Hanya saja ... aku tidak terlalu ingin mengenakan kalung."

Mr. Priceton mengangguk samar. "Jadi, cincin saja?"

"Bu—bukan begitu." Aku masih tidak mengerti saja. Ini mengejutkanku.

"Katakan saja, apapun yang kau mau, tidak perlu sungkan."

[]

hidden desire (2017) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang