chap 11

1.4K 82 1
                                    

CHAPTER SEBELAS

Meskipun kebenarannya seperti itu, Karle tidak bisa leluasa akan kehadiran Mr. Priceton. Jadi, untuk menjaga jarak, dia pun mengekori dengan lamban walaupun tangan Mr. Priceton tetap melekat kuat pada tangannya. "Aku sudah menantimu sampai kau sebesar ini."

Karle tidak membalas, dia masih terlalu terguncang. Apalagi hidupnya yang semula damai dan tenang sekarang mulai menghadapi titik paling curam. Bersama Mr. Priceton, entah ancaman apa yang akan ia dapatkan.

"Aku dan kau pernah bertemu sewaktu kecil," ungkap Mr. Priceton seraya mendekati salah satu rak di sebuah ruangan perpustakaan. Karle belum pernah kesini sejak hari pertama ia datang namun dia pun merasa tidak punya alasan untuk kemari. Ruangan ini berlapis cat cokelat kelam, sebuah sofa kulit, beberapa meja, serata rak-rak raksaka dengan jejeran buku paling tebal dan lengkap.

"Karleigh," bisikan Mr. Priceton membuat tubuh Karle meremang. Ketika mata gadis itu bertemu dengan mata menelisik milik pria tersebut, tubuh mereka telah menempel di salah satu rak. Karle menatap panik sedangkan Mr. Priceton menyeringai. "Aku telah menunggumu, sayang." Senyumannya melekuk dalam, sedangkan bibirnya mulai menesuluri rahang Karle.

Gadis itu menegang. Namun, sepasang tangan Mr. Priceton telah menahannya, jadi dia bertahan dengan punggung menempel dengan dinding perpustakaan. Ia tidak bernapas.

"Aku sudah lama menunggumu." Bibir tersebut bergerak lamban menuju sudut bibirnya yang terbuka. Karle tidak bisa mengerang atau menjerit, dia mendadak kaku.

Karle tersentak. Dipandangnya tangannya yang masih menggenggam tangan Mr. Priceton. Matanya sontak membuka lebar mendapati napasnya sudah berantakan, seiring wajah Mr. Priceton yang makin jelas di pandangannya. Jika semula Karle menganggap bahwa pria itu bagai ilusi, sekarang ia dapat memastikan bahwa ... ini nyata. Semua sensasi ini nyata dan Karle terbuai karenanya.

*

Jujur saja, sejak beberapa awktu tadi, Karle enggan untuk keluar. Pertama, dia belum bisa mengeyahkan bayangan tersebut. Kedua, dia belum tahu sikap apa yang ia tunjukkan atau jawaban apa yang perlu ia berikan pada Mr. Priceton jika sewaktu-waktu pria tersebut bertanya mengapa Karle sampai jatuh pingsan di ruangan tersebut.

Karle menutup wajahnya dengan bantal. Ini memalukan sekali. Selama sembilan belas tahun hidup, dia tidak pernah dilanda gemuruh di dada sampai tangannya berkeringat, lutut yang melemas atau pun rasa malu yang menyengat kulitnya. Apalagi, keadaannya diperparah karena tatapan dari pria berpengaruh seperti Mr. Pirceton. Karle hampir percaya tubuhnya dipenuhi oleh bintik-bintik yang jumlahnya tidak terkira hingga pria itu harusmemperhatikannya lekat.

Apa di hidungnya mulai tumbuh sesuatu?

Karle mengerang. Terdengar suara pintu, sejenak ia ragu.

"Nona, ini saya Charlotte. Anda sudah membaik kan? Dokter bilang Anda sudah siuman." Karle mengembuskan napas lega. Setelah pintu terbuka, Charlotte membungkuk seperti biasa. "Nona, siapkan dirimu siang ini, karena Tuan akan mengajak Anda makan siang."

"Aku?"

Charlotte. "Yah."

"Hanya berdua?"

"Tidak," jawab Charlotte. Karle mengembuskan napas yang tertahan. "Tapi dengan Nona Janet."

"Tapi untuk apa?"

"Entahlah, sepertinya terdengar penting." Charlotte langsung membawa beberapa gaun untuk masuk bersama Emily. Karle tidak memprotes saat tumpukan gaun tersebut dimasukkan, dia hanya terduduk di tepian ranjang seraya memperhatikannya saja.

Emily tersenyum. "Ini pemberian Tuan, dia bilang berdandnalah yang manis." Sejenak Karle ingin merenggut, namun dia tidak enak hati pada Emily jadi dia tersenyum simpul. "Saya pikir ini sangat cocok untuk Nona."

"Terima kasih." Karle tidak pernah tahu dia butuh banyak gaun hanya untuk makan siang.

Charlotte dan Emily pamit. Sementara itu, Karle kembali memandangi gaun tersebut. Pertama, untuk apa dia makan siang bersama mereka? Kedua, mengapa dia harus mengenakan gaun banyak ini? Ketiga, mengapa dia tidak coba menolak?

Charlotte masuk dengan mendadak. Dia menyerahkan sebuah kotak merah ke hadapan Karle. "Ini dari Tuan pula."

"Apakah ini penting?"

Charlotte hanya manggut-manggut sedangkan Karle membukanya. Dia membawa sebuah suarat yang berada di dalamnya. Wah, pria itu ternyata perlu surat juga untuk bicara dengannya.

'Karleigh, jangan tersinggung tapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Maaf, apakah kau masih terguncang? Makan sianglah bersama kami, dandan seperti biasanya, tidak perlu khawatir. Soal hal yang terjadi di ruangan itu, aku harap itu bukan masalah besar untukmu. Aku menunggumu. Sampai jumpa – H. P.'

Karle merenggut, dia melempar keras itu lantas tertegun dengan isi dari kotak merah tersebut. Sebuah kalung, mutiara, dan ini lebih daripada yang Karle pernah lihat.

[]

hidden desire (2017) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang