chap 17

1K 61 0
                                    

CHAPTER TUJUH BELAS

Air putih ini jadi berasa aneh di lidah Karle. Sementara itu, matanya menelisik pada beberapa pelayan di wilayah dapur utama. Dia tetap terdiam di dekat meja granit di tengah ruangan sedangkan para pelayan hilir mudik. Matanya tidak lepas pada apapun; pada pelayan yang kian berdesakan masuk, bunyi nampan yang dijatuhkan, aroma makanan yang makin tercium kuat, atau bahkan beberapa langkah cepat karena sol sepatu mereka kenakan.

Karle menunggu, dalam diamnya. Satu bagian dirinya tidak tahan, namun bagian dari dirinya agak ragu dan .. well, ia agak berpikir seharusnya ia tidak senekat ini. Terakhir kali ia berurusan dengan Mr. Priceton kabur, itu tidak berjalan semulus yang ia pikirkan.

"Nona, ikuti aku." Satu pelayan mendadak datang dan berbisik di tengahnya. Karle menaruh gelas tersebut, seraya melangkah perlahan. Ia menegok untuk melihat apakah ada yang memperhatikan mereka namun tidak ada. Sebuah mantel tebal mendarat di punggung Karle. "Pakailah."

Karle menurut. Mereka melangkah bersamaan melewati lorong demi lorong. Jujur saja, ia tidak pernah tahu dapur memiliki lorong yang begitu panjang dan berkelok. Sementara sepatu mereka menggema senada, Karle menoleh beberapa kali.

"Tetap fokus, Nona." Pria itu telah melepas jas pelayannya, mengenakan jas lain di baliknya, seraya merapikan rambutnya, masih berjalan.

Ketika itu sebuah pintu lain muncul. Pelayan itu mempersilahkan Karle agar membungkuk. Sebuah pintu menuju pagar belakang yang waktu itu. "Tapi aku sudah mencoba.."

Pelayan itu bergerak, mereka melihat keramaian yang di sisi lain. Namun, mereka bergerak ke arah lain, memutar sampai akhirnya menuju sebuah labirin penuh pohon. Mereka bergegas, memasuki labirin. "Kita akan tersesat."

"Pintunya ada di ujung." Dia mengawal Karle.

Dengan napas terputu-putus, Karle terus berjalan, melewati rumput tebal di bawah kakinya, agak sulit karena seringkali menjerat heels-nya namun ia tetap berjalan. Sampai akhirnya terdapat tanaman rambat besar, pelayan tersebut mengeluarkan pisau sebelum mencongkel sebuah besi kecil di sana. Pintu terbuka! Sebuah pintu aneh setinggi pinggang Karle.

Pelayan tadi mengulurkan tangan, membantu Karle yang membungkuk untuk masuk ke dalam sana. Tidak lama setelah aroma rumput yang pengap, dan kepalanya yang pening, dia pun di luar pagar besar. Pelayan tadi ikut keluar, seraya menutup kembali pintu yang tersembunyi itu. "Ayolah."

Sebuah mobil lain telah menunggu mereka. Karle mengeratkan mantel sebelum akhirnya masuk ke dalam sana. "Mereka akan mencari kita kurang dari setengah jam, jadi kita harus pergi." Terdapat satu supir dan satu orang lain di kursi sebelahnya. Karle terduduk merapat setelah si pelayan tersebut ikut masuk dan mobil mulai melaju.

Karle mengembuskan napas, tidak menyangka dia menahannya sedaritadi. Dia bebas.

*

"Kau benar-benar tidak mengingatku ya?" tanya orang yang tadi masih disebut pelayan oleh Karle. Gadis itu menoleh, alisnya bertautan satu sama lain. Pria bersambut cepak itu makin melebarkan senyum. "Ini menyakitkan."

"Ayolah, jangan terlalu menggodanya," sahut si supir yang berkepala plontos. Sedangkan yang duduk di sebelahnya, wanita muda dengan sanggul ikut terkekeh.

"Dia tidak pernah banyak bicara seperti ini."

Si pelayan ini masih melirik Karle. "Rudolf, yang pernah kau tolong waktu itu, aku pernah terjebak di toilet saat tengah malam." Ia mengulurkan tangan. Karle menjabatnya perlahan. "Astaga, apakah aku terlihat mengerikan? Itu tadi hanyalah samaran dan semua ini sudah di bawah kendali Nona Janet."

Karle tersentak. "Rudolfo?"

"Ya!"

Karle menggeleng. "Tidak mungkin! Kau kan sudah dibawa pergi! Maksudku, kau dibawa oleh pasangan tua bernama .."

"Mereka memang orang tua angkatku tapi mereka tidak tahu pekerjaanku ini," jawabnya santai. "Well, ini menyenangkan. Pekerjaan kami yang terlihat keren."

Temannya tertawa bersamaan.

Rudolfo memandang wajah Karle yang masih kaku. "Senang melihatmu lagi." Dia tersenyum tipis. Karle masih mengerjap, dia perlu untuk itu. Sampai akhirnya Rudolfo menyikap lengan kanannya, dia membukanya sampai ke dekat siku. Sebuah luka bulat terlihat di sana. "Kau ingat kan? Aku sempat terbakar karena wajan panas di dapur saat kita coba memasak untuk Mom Meredith."

Alih-alih menjawab, Karle justru menundukkan wajahnya. "Mom.."

"Hei."

"Kau memang Rudolfo!" Gadis itu berhambur mendekap tubuh teman kecilnya tersebut. Rudolfo yang lima tahun lalu adalah teman bermainnya, namun diasuh. Karle terisak pelan, sedangkan Rudolfo mengusap punggungnya. "Aku merindukan Momku."

[]

hidden desire (2017) ✔Where stories live. Discover now