chap 18

1K 50 0
                                    

CHAPTER DELAPAN BELAS

Janet berbicara lewat telepon setelah mereka keluar dari perkotaan, cukup jauh dari kediaman Mr. Priceton. Dia terhubung dengan ponsel si supir yang Karle tahu bernama Roger, dan rekannya bernama Ashley. Mereka adalah tim yang kompak. "Senang sekali, aku tahu aku harus mengucapkan selamat untuk kalian. Well, agak kacau di sini tapi tenang saja, Hazel akan kutangani."

"Sepertinya Nona Karleigh ingin bicara padamu."

Karle menerima ponsel dari tangan Ashley. "Hallo, ini aku. Terima kasih, sungguh, aku tidak pernah tahu hari ini akan tiba. Kau telah membantuku, terima kasih."

"Jangan senang dulu, Nona, perjalananmu masih panjang. Sebelum itu, aku harus pastikan Hazel tidak sampai menangkapmu."

"Ba—baiklah." Telepon pun terputus. Karle menyerahkannya pada Rudolfo perlahan.

"Kau baik-baik saja?"

"Tentu." Apakah ia bermimpi? Apakah ini nyata? Mobil begerak dengan kecepatan penuh, Karle menyandarkan tubuhnya sesaat Rudolfo ikut memandangnya dari samping. "Aku hanya belum percaya ini nyata."

*

Janet menamainya misi "melarikan diri"—wanita itu memang nekat—sementara Karle menyebutnya misi "membebaskan diri". Namun, Karle masih membayangkan bagaimana wajah Mr. Priceton yang kesal dan penuh amarah. Bagaimana ia akan membentak setiap pelayan, mengertakan siapapun, dan mengusir seluruh tamu. Pria itu jelas tidak akan tinggal diam.

Langit mulai menggelap dengan mobil masih melaju. Mereka sempat mengisi perut di jam tiga tadi tapi tidak berlama-lama. Apalagi Rudolfo memperingatkan mereka bahwa kawanan anak buah Mr. Priceton mungkin telah mencium keberadaan mereka. "Kita harus bergegas." Karle pun mengangguk paham.

Mereka kembali di mobil, giliran Rudolfo yang menyetir sedangkan Roger beristirahat, telah memejamkan mata di sebelahnya. Ashley membalikkan badan untuk mengoper selimut lain, setelah Karle menyelimuti tubuh besar Roger. "Tidurlah, kau pasti kelelahan."

Karle tersenyum. "Tidak, aku baik-baik saja."

Ashley balas tersenyum, telah kembali di kursinya. "Aku hanya bingung, bagaimana kalian bisa begitu akrab? Maksudku, Rudolf kami tidak pernah cerita." Karle melihat bagaimana Rudolfo hanya melebarkan senyuma. "Jadi, Nona, bisa kau ceritakan?'

"Hei, dia kelelahan."

"Aku akan bercerita," sanggahnya. "Aku dan dia berkenalan sewaktu kami di panti, dia pria yang manis, dia teman kecilku, walaupun terkadang ia cengeng." Ashley tertawa pelan. "Meskipun begitu, dia sudah seperti saudaraku, aku menyayanginya sepenuh hati."

"Oh, manis sekali."

Karle terkekeh. "Dia yang terbaik." Apalagi mengingat bagaimana mereka sering dihukum bersama karena mengambil beberapa permen di dapur, atau mereka yang sering bermain hujan hingga mengotori pelataran panti, bagaimana Mom Meredith memarahi mereka jika berwajah penuh lumpur.

"Itu kenangan yang sangat indah."

"Benar."

Ashley menoleh. "Kalian sangat manis," dia melirik Rudolf, lantas menyenggol bahunya perlahan. "bagaimana bisa kau berpisah darinya? Dia gadis yang sangat menyenangkan."

"Aku tidak mau, dan aku tiak akan meninggalkannya lagi." Ia melirik lewat kaca yang ada di tengah mobil, senyumannya tidak luntur sama sekali, persis seperti yang Karle ingat dan sukai.

Karle hanya menundukan wajah, menggeleng dengan tawa pelan.

*

"Oke, jadi ini hunian sementara kita. Maafkan aku kalau ini kurang layak untukmu, Nona," ucap Rudolfo sesampainya mereka di sebuah penginapan di ujung kota. Ashley telah turun dan merenggangkan ototnya, begitupun Roger yang telah berdiri di sebelah mereka walaupun matanya masih menyipit. "Maaf."

"Astaga, kau berlebihan, ini sempurna," kata Karle seraya memimpin jalan. Mereka disambut oleh seorang wanita tua yang membungkuk sopan. "Selamat pagi, Nyonya."

"Pagi, Nona, kalian pasti teman-teman Nona Janet kan? Mari masuklah," ajaknya bernada lembut. Karle menengok pada ketiga orang tersebut sebelum mengikuti wanita yang Karle kira pemilik penginapan ini. "Kami sangat senang kalian datang, Nona Janet telah memberitahukan jauh-jauh hari bahwa kalian akan menginap di sini."

"Tempat ini ... seperti tumah," komentar Ashley di belakang. "Aku suka."

"Tadinya memang rumah saya, tapi saya pikir .. untuk apa tinggal sendirian?" Ia tertawa pelan. "Jadi, lebih baik saya sewakan sekalian, hanya untuk beberapa orang yang saya kenal, dan kebetulan Nona Janet adalah teman dari keluarga saya."

Karle mengangguk-ngangguk dengan kepala mendongak. Sesampainya mereka di dalam, Karle mendapatkan kamar di lantai dua, begitupun Ashley. Kamar mereka bersebelahan, sedangkan milik Rudolfo dan Roger di lantai bawah. Wanita bernama Nyonya Teresa tersebut mempersilahkan mereka melihat-lihat.

Karle terduduk di tepian kasurnya.

"Kau suka?" tanya Ashley seraya memasuki kamar Karle. Tangannya terselip di dalam saku celana. "Aku tidak tahu semewah apa kamarmu di kediaman Mr. Priceton, kuharap ini tidak membuatmu kecewa."

"Kau berlebihan," sahutnya. "Aku suka di sini." Karle memutar kepalanya, mendapati ruangan tersebut memiliki lemari kayu, satu kamar mandi, sebuah ranjang empuk dan sebuah jendela menuju ke arah jalan, "Ini sempurna."

Ashley terdudk di sebelahya. "Apa kau merindukan rumahmu? Maksudku, Rudolfo sangat merindukan tempat itu, dia suka menyinggungnya."

"Sangat," jawab Karle. Matanya menatap dalam Ashley. "Aku ingin bertemu Mom Meredith, apakah setelah semua ini aku bisa kembali padanya?"

"Aku harap juga begitu."

Karle tersenyum pedih. "Aku sangat berharap." Kemudian Ashley bangkit, membawa koper untuk Karle dari pintu. Karle menyambutnya, menggumamkan terima kasih singkat. Janet benar-benar sudah mengaturnya dengan baik, bahkan baju-baju tersebut untuk ukuran Karle. "Jadi, apakah hubunganmu dengan Rudolfo? Maksudku, kalian terlihat akrab dan .."

"Dia kakak yang baik, dan sahabat yang bisa diandalkan." Ashley mengerling singkat. "Sejujurnya, dia masih berharap pada sahabat kecil-nya. Bukan aku."

[]

hidden desire (2017) ✔Where stories live. Discover now