21. Two Sides : Kehilangan

404 99 29
                                    

"Eunha."

"Kenapa?"

"Besok aku—"

"Aku sedang sibuk, aku ke kamar duluan!"

Sinb mengangguk paham, lalu dia pergi ke dapur. Begitu sampai di dapur, Sinb menyiapkan dua cangkir yang akan diisi dengan cokelat hangat. Mungkin hari ini bukan hari yang baik untuk Eunha, makanya dia sedikit cuek.

Ketika sedang mengaduk cokelat hangat itu, tiba-tiba Sinb merasa sangat pening. Darah segar mengalir dari hidungnya, membuat ia mau tidak mau merosot dan terduduk saja di lantai.

Sinb meringis sambil meremas rambutnya sendiri, merasakan sakit yang teramat sangat saat dentuman kuat disertai pendengaran yang berdengung terasa. Dia sendirian sekarang, di rumah hanya ada Eunha dan dirinya saja.

Dengan susah payah Sinb mengangkat pandangannya, dan semua memburam. Sinb menggelengkan kepalanya untuk tidak terlalu merasakan, buru-buru ia menyeka cairan kental yang keluar dari hidungnya.

"Tidak, sudah selesai, jangan seperti ini selalu."

Sinb kembali beranjak ketika dirasa dirinya sudah lebih baik, dia menghembuskan napas panjang yang kemudian melanjutkan tujuannya datang ke dapur. Mengaduk cokelat hangat itu, menaruhnya di nampan, serta menambahkan dua bungkus roti kesukaan Eunha.

Berjalan dengan penuh kehati-hatian, untuk pertama kalinya Sinb mau melakukan hal ini. Dia sedang menarik perhatian Eunha, dia sedang ingin memanjakan Eunha seperti biasanya. Tetapi mungkin pelajaran di sana terlalu rumit, sehingga Eunha kelelahan.

"Eunha yya, aku menyiapkan cokelat hangat dan roti kesukaanmu, bagaimana?"

Sinb mengetuk pintu terlebih dahulu pastinya, lalu ia membukanya untuk mencaritahu bagaimana keadaan Eunha di dalam. Rupanya Eunha sedang duduk di kursi, dia sedang sibuk menggerakkan bolpoin sebagai pertanda bahwa dirinya menulis.

"Rotinya habis, jadi aku hanya mendapatkan dua bungkus saja," ucap Sinb. "Semua untukmu."

"Ya," balas Eunha singkat, padat, dan jelas.

Sinb menatap buku yang sedang berada di hadapan Eunha. "Sebanyak itu? Kenapa ada banyak buku di meja belajarmu?"

"Ini pekerjaan rumah," jawab Eunha tanpa berniat menoleh.

"Sampai menjadi tumpukan?"

Eunha menaruh bolpoin dengan kasar. "Bisakah kau pergi dari kamarku? Aku sedang sibuk, Sinb!"

"Apa?"

"Sibuk! Kau tahu artinya sibuk, bukan?"

"Aku bisa membantumu dan—"

"Tidak perlu! Sudah sana keluar, dan tidak usah membuatkan cokelat hangat atau menyiapkan makanan untukku, aku tidak suka!"

"Eunha, kenapa?"

"Itu makanan murahan, aku tidak suka sekarang."

Sinb tersenyum miris. "Apa makanan di sana telah mencuci otakmu?"

Eunha beranjak. "Kenapa? Kenapa kau banyak bicara dan berisik seperti ini, hah? Sudah sana pergi!"

"Baiklah," ucap Sinb bersabar. "Aku akan pergi."

"Membuang-buang waktu saja, huh!"

Sinb kembali mengambil nampan itu, tetapi dia menaruh dua bungkus roti di meja belajar Eunha. Eunha menajamkan sorot matanya.

"AKU BILANG AKU TIDAK SUKA ROTI ITU, SINB!"

Sinb bergeming.

"Makananku sekarang bukan roti berbungkus plastik yang harga jualnya murah, aku tidak suka!"

Two SidesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang