11. CRUSH HOUR

8.9K 1.3K 63
                                    

Sepenuhnya menjadi seorang ibu rumah tangga sudah pernah masuk dalam bayangan Odessa. Dia tidak memungkiri sama sekali bahwa suatu saat ketika memiliki suami, dia akan sibuk mengurus rumah. Justru yang tidak ia sangka adalah dirinya masih memiliki waktu selama tiga tahun untuk bekerja pasca menikah. Seda orangnya tidak rewel soal perempuan yang bekerja. Ya, mereka juga belum pernah membahas hal itu, sih. Komunikasi mereka, kan, kacau. Jadi, setelah ini harus Odessa coba tanyakan. Apakah pria itu bahagia atau tidak dirinya keluar dari pekerjaan. 

"Jadi, ceritanya kita nge-date, Mas?" tanya Odessa yang sudah rapi tapi tetap santai setelah mendengar ajakan suaminya untuk keluar rumah. 

"Kencan? Ya, sejenis itulah. Aku nggak ngerti sebenarnya, soalnya seumur-umur kencan itu menurutku nggak pernah kulakukan." 

Odessa mengernyit. Ada rasa tak percaya bila Seda belum pernah kencan. Mana mungkin Seda Dactari tidak memiliki pengalaman kencan? Odessa yakin itu adalah kebohongan.

"Kata mama Arnis, dulu kamu sering, kok, jalan sama cewek. Bahkan kalo mama Arnis bawa calon, kamu pasti kencan dulu." 

Seda mengangguk dan meminta istrinya berjalan lebih dulu menuju mobil. Seda memastikan rumah dijaga selama dirinya tak ada. Satpam penjaga, satu asisten rumah tangga, dan tukang kebun mendapatkan titah yang jelas. Odessa mengamati hal itu dari sisi pintu mobil, menunggu suaminya untuk segera membukakan pintu mobil dan segera menyalakan mesin. 

"Kamu belum jawab, loh, Mas. Katanya mau bangun hubungan yang baru? Komunikasi kita harus dua arah," ucap Odessa yang menuntut sikap pria itu untuk mau bicara banyak. "Aku baru denger kamu ngomong banyak waktu seks kita aja malam itu." 

Seda mengemudi dengan pandangan fokus ke depan, meski begitu dia menuruti istrinya. "Iya, ini aku mau jawab." 

Menunggu, Odessa mencari ponselnya untuk menyambungkan bluetooth pada pemutar lagu di mobil. Kencan ini harus berkesan. 

"Kencan yang aku lakukan itu cuma ajak makan kenalan cewek. Pasti itu bukan kencan menurut kamu." Odessa menoleh penuh pada suaminya karena disebut memiliki versi kencan sendiri. "Aku cari secara daring, kencan yang versi beneran nggak cuma ajak makan. Makanya aku nggak menganggap itu sebagai kencan. Ini kencan pertamaku, dengan istriku, kamu." 

Padahal Odessa tidak ditatap sama sekali oleh Seda. Sungguh cara pria itu bicara dengan ekspresi wajahnya berbanding terbalik. Tak Odessa percaya bisa memiliki suami yang begini. Namun, yang harus Odessa akui menguntungkan adalah ucapan Seda seringkali membuat Odessa tersipu. 

"Gitu? Jadi, aku spesial, ya?" tanya Odessa memancing jawaban. 

"Ya, nggak. Kalo aku niat, aku bakalan kencan yang versi bener sama perempuan yang aku mau." 

Sontak saja Odessa mendengkur bak sapi. Jawaban Seda memang tidak bisa ditebak. 

"Kok, sungut-sungut gitu? Aku ngomong beneran, Des." 

"Iya. Beneran juga kamu emang nyebelin," balas Odessa membuat Seda menggeleng. 

"Ya, terus maunya jawaban yang nggak nyebelin itu gimana?" 

Odessa menaikkan dagu, bersedekap tangan, dan menantang suaminya dengan berkata, "Kamu masih nanya, Mas? Kamu bilang aku nggak spesial karena kencan ini. Gimana nggak nyebelin?!"

"Siapa yang bilang kamu nggak spesial? Aku bilang kalo aku niat aku bisa kencan seperti bersama kamu sekarang ini dengan cewek-cewek yang aku kenal dulu. Tapi aku nggak niat."

"Astaga, Mas!" Odessa berniat menjambak rambutnya sendiri. "Sumpah, ya. Kamu nggak jelas banget jawabannya! Bilang nggak tapi aku nggak spesial—"

"Ya, karena aku nggak suka membuat perempuan mana pun ngerasa spesial. Aku maunya dinilai sebagai laki-laki yang niat. Niat nikahin, niat ngurusin, niat tanggung jawab. Jadi, nggak ada, tuh, atensi jadi laki-laki yang hobi bikin perempuannya spesial. Aku lebih suka kamu memastikan, 'jadi aku perempuan yang kamu niatkan dihidupmu, mas?' baru aku akan jawab iya." 

Double kill. Odessa kalah serangan jika menyoal kalimat balasan. Entah Seda makan apa sejak dalam kandungan sampai memiliki sifat yang aneh begini. Kaku, datar, tapi membuat gusar. Odessa jadi memikirkan, apa suaminya itu juga membuat anak gadis orang salah tingkah, dulu? 

"Aku boleh tanya lagi, nggak, Mas?" 

"Tanya aja. Asal jangan marah-marah kalo aku jawab sesuai gayaku." 

Memang Odessa harus terbiasa mengenal Seda dengan baik. Sungguh pria itu mampu membolak-balik kondisi hati Odessa. Bagaimana kalau Odessa hamil nanti? Bisa saja bukannya hormon yang membuat Odessa kacau, tapi justru suaminya yang lebih dari hormon wanita. 

"Dulu, kamu sering giniin cewek-cewek kamu, Mas?" 

Seda tidak pernah menunjukkan wajah yang terlihat tertarik dengan pertanyaan apa pun. Odessa kira suaminya akan mengernyit atau terkejut jika ditanya mengenai mantannya, tapi ternyata tidak. Apakah pria itu normal? Bukankah seharusnya Seda sibuk mencari-cari alasan?

"Dibilangin, aku nggak niat kenalan sama yang dulu-dulu, Des. Kerja itu udah kayak pacarku. Mana aku tahu juga konteks pertanyaan kamu itu apa? Giniin versi kamu itu apa, Des?" 

Odessa menghela napas lebih dulu sebelum melanjutkan. "Giniin versi aku adalah bikin cewek-cewek kamu salah tingkah sampai pipinya merah merona, Mas! Itu maksudku." 

Seda menepikan mobil mereka di pinggir jalan yang memang bisa digunakan untuk menepi. Pria itu lantas mencoba menelisik wajah istrinya ketika tak lagi fokus pada kemudi. 

"Mas? Kamu ngapain, sih?" 

Seda mengangkat dagu istrinya dan menyalakan lampu di atas mereka. Matanya lekat memperhatikan wajah Odessa. Situasi itu membuat Odessa tak tenang, orang-orang bisa melihat mereka dengan lampu yang menyala. 

Buru-buru Odessa mematikan lampu di atas mereka dan menahan dada suaminya. "Mas ngapain—"

"Kamu selalu salah tingkah sampai pipi kamu merah merona dengan ucapanku, Des?"

Skakmat. Odessa malah menceburkan diri dan membuka kartunya sendiri. 





CRUSH HOUR /TAMATWhere stories live. Discover now