38. CRUSH HOUR

8.1K 1.2K 19
                                    

Menjelang tidur, Odessa seperti memiliki kebiasaan baru. Dia melamun, menatap langit kamar, dan tidak tahu berpikir mengenai apa pun. Sungguh tidak mengerti mengapa setelah dinyatakan hamil justru banyak waktu untuk memikirkan hal tidak penting.

"Des?" Panggilan itu membuat Odessa sedikit tersentak.

"Mas? Kebangun, ya?"

Seda mengusap sebelah matanya yang terasa berat untuk terbuka. "Kamu gerak terus, kerasa."

Padahal Odessa tidak merasa demikian. Dia kira hanya sibuk melamun saja, tetapi nyatanya Odessa bergerak terlalu banyak hingga suaminya terbangun.

"Kamu ngapain nggak tidur? Katanya besok mau cari-cari bahan?"

Iya, besok Odessa akan memulai untuk mencari barang guna restoran yang akan dibukanya sendiri. Tentu saja ada bantuan Seda karena pria itu lebih dulu terjun sebagai pemegang perusahaan.

"Iya. Aku juga nggak ngerti kenapa aku nggak bisa tidur, Mas. Kayak pikiranku nggak bisa istirahat."

Odessa kembali menatap langit kamar. Pikirannya menerawang dan tidak memedulikan apa yang suaminya lakukan. Odessa mengira pria itu pasti akan kembali tidur setelah bertanya seperti tadi.

Tanpa pernah Odessa perkirakan, pria itu menepuk bahu Odessa dan berkata. "Des, aku habis searching, mau aku pijit nggak?"

Odessa mengernyit. Ingin tertawa, tapi tak mau membuat semangat suaminya menurun.

"Emang kamu search apa, Mas?"

"Cara membuat ibu hamil tidur nyenyak," jawab Seda.

Tumben banget inisiatif. Pasti gara-gara mikirin anaknya.

"Des? Kok, malah bengong lihatin aku?"

"Hm ... habisnya kamu bikin aku terpana." Odessa mendekat pada suaminya dan mencoba memejamkan mata. "Ayo, cepetan! Bikin ibu hamil ini tidur nyenyak."

Seda bergerak dan memposisikan diri untuk duduk. "Kamu punya koleksi lilin aroma terapi, kan, Des?"

Mata Odessa terbuka kembali. "Kenapa? Kamu jangan macem-macem sama koleksi lilin aku, ya, Mas!"

"Makin curigaan juga ternyata," gumam Seda.

"Apa? Kamu ngomong apa, Mas?"

"Itu, kamu. Ibu hamil emang gampang insomnia, dan ternyata gampang curigaan juga, terbukti dari sikap kamu."

Odessa langsung memukul dada suaminya karena kesal. "Udah bagus kamu diem aja, deh! Omongan kamu bikin kesel. Gampang curigaan itu bukan dari aku sendiri, bukan mauku sendiri. Kamu bikin kesel!"

Seda kenyang dipukul oleh istrinya. Tidak berusaha menghentikan karena tak mau membuat istrinya berhenti mengeluarkan emosinya.

"Nangis aja, Des. Biar lega. Aku minta maaf bikin kamu kesel. Besok-besok aku diem aja."

Odessa meraung. "Jangan balik diem! Aku nggak mau kamu diem lagi, Mas."

Menggaruk pelipisnya, Seda benar-benar sulit mengerti apa maunya sang istri.

"Yang bener gimana? Aku boleh ngomong atau nggak, Des?"

"Ngomonglah! Tapi yang nyenengin hatiku aja, jangan sembarangan kalo ngomong. Dipikir mateng sebelum ngomong!"

Disentak seperti itu, Seda rasanya sedang sport jantung. Sulit sekali mengerti maunya Odessa yang sekarang.

"Yaudah, aku nyalain lilin aroma terapi dulu. Habis itu aku pijit kamu supaya rileks."

Odessa mengangguk sambil menangis layaknya anak kecil. Kacau. Seda baru kali ini mendapati Odessa yang seperti ini. Bingung tapi menyenangkan.

Sekembalinya Seda menyalakan lilin dan menyelesaikan kegiatannya untuk membuatkan susu ibu hamil yang hangat, ia naik ke atas tempat tidur dan mendapati Odessa yang sudah lebih tenang dari tangisnya.

"Minum susunya," kata Seda.

Biasanya pria itu yang diurus oleh Odessa, tidak lagi dengan saat ini. Seda dipaksa untuk mengerti kondisi istrinya yang tidak sepenuhnya menjadi diri sendiri.

"Udah," ujar Odessa yang enggan menghabiskan susunya.

"Masih setengah lagi, Des."

"Bau!"

Seda mencoba mencium aroma dari susu kehamilan istrinya. Tidak ada yang aneh. Aroma susu.

"Yang wangi, ya, parfum, Des. Ini baunya biasa, bau susu."

"Ih, kamu nggak akan paham, Mas. Aku nggak bisa cium sesuatu seperti kamu, semuanya aneh. Di dalam tubuhku ini kayak ada kepribadian lain. Pokoknya kamu nggak akan ngerti."

"Oke, aku nggak akan paksa lagi. Tiduran, biar aku pijit."

Odessa menurut, kepalanya dipijat dengan gerakan tangan suaminya yang cukup membuat nyaman.

"Mas ... kamu pernah mikir, nggak?" tanya Odessa.

"Soal apa?"

"Cinta," kata Odessa.

"Cinta? Maksud kamu gimana?"

"Ya, kamu pernah mikir nggak kalo kamu udah cinta sama aku? Apa kamu pernah mikir apa aku udah cinta kamu, Mas?"

Seda berpikir, kapan dirinya pernah memikirkan hal tersebut? Apakah cinta adalah hal yang Seda ingin pikirkan?

"Kayaknya nggak pernah, Des."

"Kenapa nggak pernah?"

Seda ingin langsung membalas dengan jawaban, "Cinta nggak penting buatku, karena yang aku butuhkan adalah kenyamanan dan pengertian."

Namun, mengingat ucapan Odessa saat menangis tadi, Seda kembali berpikir untuk tidak sembarangan bicara.

"Ya, karena aku orang yang nggak pengertian, seperti yang kamu bilang. Orangtuaku nggak pernah bahas cinta satu sama lain. Aku bahkan dikasih tahu kalo mereka menikah karena dikenalkan kepala desa. Menikah, nyaman, punya anak. Udah. Jadi, aku nggak terbiasa dengan hal semacam romansa begitu."

Odessa mendongak menatap suaminya. "Aku kasih kamu PR, ya, Mas. Pikirin apa kamu cinta aku, aku juga akan pikirin perasaanku ke kamu."

"Ada PR begitu, Des?"

"Ada, dari aku. Udah kamu jangan protes, pijitnya yang bener."

Pembicaraan mereka berhenti di sana, karena selanjutnya Odessa terlelap dan Seda menyusul cepat.

CRUSH HOUR /TAMATWhere stories live. Discover now