39. CRUSH HOUR

9.4K 1.1K 49
                                    

Cinta.

Seda mencoba menggali dalam dirinya apa, sih, yang dibutuhkan seseorang untuk mencintai? Sebab, sungguh Seda tidak mengerti dengan hal semacam itu. Baginya hidup bersama Odessa dengan segala kegiatan dan penerimaan yang dilakukan adalah sepenuhnya cukup. Hingga Seda tidak pernah menanyakan soal cinta di dalam dirinya. Jika cinta menjadi persoalan yang besar, maka Seda sudah pasti tak akan mau menikahi Odessa waktu itu.

Untuk apa? Seda bisa saja mencari perempuan yang dia cintai, tapi Seda tidak memiliki waktu untuk semua itu. Baginya Odessa lebih dari cukup, tak seperti wanita yang sebelumnya dia kenal dan cari sendiri. Odessa terhitung tak peduli dengan sikap Seda yang jauh dari harapan dari kebanyakan perempuan.

Pertama, Seda adalah orang yang tidak peka. Semua hal dianggap remeh dan ucapannya tidak jarang menyakiti. Kedua, Seda adalah orang yang tak suka berbagi kabar lewat pesan. Mungkin itu sebabnya Odessa sempat mencari tempat untuk berbagi pesan yang nyaman. Sebagai pasangan suami dan istri mereka jarang sekali mengirim pesan 'lagi di mana?', 'udah makan belum?', semua itu tidak penting untuk dilakukan bagi Seda. Karena dia lebih suka menelepon atau bahkan bertemu langsung supaya tak menghabiskan waktu untuk basa basi. Sejak awal mengenal dan menikah, Odesaa tak pernah menuntut. Jadi ... untuk apa baru menanyakan cinta sekarang?

"Selamat pagi, Pak."

"Hm. Pagi," jawab Seda pada Deprima.

Wajah Deprima tegang dengan kedatangan atasannya. Kejadian tempo hari lalu membuat Seda tak masuk kerja beberapa hari dan Deprima hanya diberikan pesan lewat e-mail saja. Deprima yakin bos besarnya itu sangat marah.

"Saya di kantor cuma sampe jam satu, ya, Prim. Saya ada urusan habis itu. Kalo ada divisi yang butuh persetujuan saya, tolong segera."

Deprima mengangguk. "Baik, Pak."

Seda duduk di kursi kebesarannya. Mulai membaca dan menandatangani dokumen satu persatu. Beginilah fungsinya sebagai bos besar, persetujuan selalu ada di tangannya. Meski Deprima sudah memilah dokumen yang benar dan salah, tetap saja Seda tak suka bila tak sesuai kemauannya.

"Ini acara KopDar kenapa nggak ada laporan lanjutan?" tanya Seda yang membuat Deprima tak jadi mengundurkan diri.

"Eh, bukannya ada pertimbangan untuk nggak lanjut, Pak?"

"Siapa yang bilang?"

Deprima menatap atasannya dengan bingung. "Bapak waktu itu bilang syuting diberhentikan. Kami nggak berani lanjut syuting, terus produser KopDar juga merasa gagal banget, Pak. Jadi ..."

"Kalo gitu atur schedule saya rapat dengan tim produksi KopDar. Jangan sampai bentrok dengan jadwal meeting saya yang lain."

Seda memang harus menyelesaikan kesalahpahaman ini juga dengan anak buahnya. Kalimatnya waktu itu bukan untuk memberhentikan syuting selamanya, melainkan syuting hari itu saja karena talent yang ada salah kaprah.

"Ini berarti kita rugi budgeting juga gara-gara produksi kemarin gagal, ya?" tanya Seda.

"Betul, Pak."

Seda mengangguk masih berusaha fokus dengan dokumen di mejanya.

"Minta mereka hitung kerugiannya. Saya juga butuh hitung-hitungannya supaya nggak merugikan perusahaan."

Deprima mengiyakan titah bos besarnya itu.

"Terus kamu kenapa?"

Pertanyaan Seda membuat Deprima bingung. "Gimana, Pak?"

"Kamu kenapa? Hening banget kerjamu. Biasanya kamu agak cerewet."

Bagaimana tak hening, Deprima sedang takut jika perkejaannya mengalami akhir takdirnya. Mengingat kejadian beberapa waktu lalu, Deprima bisa saja langsung dipecat saat akan syuting bersama istri atasannya itu.

"Eh ... nggak kenapa-napa, Pak. Cuma nggak ingin banyak bicara saja."

"Kalo kerjaanmu terlalu hening, saya bakalan sering lupa. Tugasmu harus cerewet mengingatkan saya ini dan itu. Kalo kamu berniat mengundurkan diri bilang saja langsung, jangan malah kerjaanmu dibuat hening."

"Bu—bukan begitu, Pak. Saya justru takut dipecat, Pak."

"Siapa yang bilang kamu akan dipecat? Kamu ini pikirannya berisi semua hal yang buruk, ya? Kalian nggak berpikir kalo saya akan lebih ribet lagi kalo main asal pecat pegawai? Nggak ngerti kamu ada HRD yang mengurus persoalan seperti itu?"

"Maaf, Pak."

"Jangan minta maaf. Kamu itu nggak salah. Saya mewakili istri saya meminta maaf ke kalian karena menjadi bagian yang mengacaukan produksi. Lain kali harus dipastikan dulu apakah itu istri dari tim produksi atau nggak. Ini pelajaran untuk kita semua."

"Iya, Pak."

Seda menghela napasnya. "Balasanmu yang singkat itu bikin saya merasa kamu atasannya saya asistennya."

Deprima menggaruk pelipisnya. "Saya juga heran kenapa Bapak jadi lebih banyak bicara hari ini."

"Saya lagi belajar, sih. Istri saya bilang, saya harus banyak bicara, tapi mikir dulu sebelum bicara."

"Jadi ... damai, Pak?" tanya Deprima hati-hati.

"Apanya yang damai?"

"Bapak dan istri," tambah Deprima.

"Oh, damai. Setelah perang cukup panjang yang mengandalkan perdebatan mulut dan ranjang."

Deprima ingin menepuk jidatnya, tapi tak jadi. "Saya permisi, Pak." Deprima mengakhirinya supaya tak mendengar bagian 'ranjang' atasannya.

Ya, begini saja sudah cukup. Deprima tak mau kehilangan pekerjaan dan tidak mendengar kabar perceraian bos nya. Semoga saja pernikahan atasannya bisa bertahan lama hingga maut memisahkan. Meski pasangan itu mengisi hubungan dengan kekonyolan satu sama lain.

CRUSH HOUR /TAMATWhere stories live. Discover now