35. CRUSH HOUR

8.5K 1.3K 72
                                    

Arnis dan Sandi bukan tipikal orangtua yang suka sekali mencampuri urusan anaknya. Namun, karena anak yang mereka punya hanyalah Seda Dactari, yang menikah saja tak bisa mencari pasangannya sendiri, tentu saja sebagai orangtua ada rasa cemas yang hinggap untuk putra mereka itu. Anak semata wayang, selamanya Seda akan terlihat seperti anak-anak di mata keduanya. 

"Aku cemas kalo mereka seperti ini terus, Pa." Arnis mengungkapkan kegundahannya. 

"Mau gimana, sih, Ma? Seda dan Essa sudah berusaha, kok." 

"Mereka nggak akan nikah yang setipe kayak di novel romansa begitu, kan?" 

Sandi mengernyit. Koran di tangannya sampai harus dilipat karena begitu tak mengerti arah pembicaraan istrinya. "Tipe nikah novel romansa memangnya gimana, Ma?" 

"Yang nikah ada kontrak, ada jangka waktunya. Siapa tahu mereka melakukan itu juga, makanya nggak ngasih kita cucu!" Dengan nada menggebu Arnis menyatakan demikian. 

"Mama terlalu berlebihan," jawab Sandi yang kembali membuka halaman korannya. 

"Papa! Aku serius ini, loh. Kamu harusnya panik, nggak ada catatan di keluarga kita yang nikah pake kontrak segala." 

Sandi menghela napasnya dalam. "Terus maunya gimana, Ma?"

"Kita ajak orangtua Odessa untuk nginep di rumah mereka. Kita lihat interaksi mereka seperti apa. Kalo ada kita, kan, pasti mereka satu kamar dan bisa bikin anak." 

Sandi berdecak dan mengibaskan tangan. "Nggak perlu bawa orangtuanya Odessa. Udah kita aja cukup, Ma." 

"Oke. Nggak masalah." 

Sandi mengangguk dan menganggap pembicaraan mereka mengenai hal tersebut sudah selesai. Jelas saja ia terkejut karena tiba-tiba saja Arnis menarik koran di tangan Sandi dan langsung mengajak pria itu untuk segera beranjak. 

"Mama kenapa, sih?"

"Kita berangkat sekarang juga. Aku pengen tahu mereka pisah kamar atau nggak. Kalo kita dateng dadakan pagi begini mereka nggak bisa sengaja rapiin kamar dulu." 

Sandi memutar bola mata, begitu malas menghadapi sifat istrinya yang suka mendramatisasi suasana. 

"Mama sangat keterlaluan kalo nggak percaya anak sendiri," ujar Sandi. 

"Justru mama peduli makanya bisa begini. Papa jangan ngomong terus, ayo siap-siap!"

Bisa apa Sandi selain menuruti ucapan istrinya?

*

"Tuan dan nyonya mau ke mana?" 

Arnis bergerak begitu cepat tanpa mempedulikan apa yang ditanyakan oleh asisten rumah tangga di kediaman putranya itu. Sandi di belakang wanita itu hanya bisa menggelengkan kepala, sudah biasa menghadapi tingkah istrinya yang semacam ini. 

"Kami mau menemui anak dan mantu, bisa tolong kamu siapkan sarapan? Saya belum mengisi perut." Sandi yang menjawab sekaligus meminta disediakan sarapan. 

"Sudah disiapkan, Tuan. Biasanya bapak dan ibu makan roti dan selai kalo pagi." 

Sandi mengibaskan tangannya. "Saya bukan anak muda yang suka makan roti, buatkan makanan lengkap. Nasi, lauk, sayur. Biar saya kenyang." 

Bagi Sandi, makan pagi harus mengenyangkan karena itu lebih penting dari makan siang. Lain hal jika makan siang, pria itu lebih santai. 

"Papa! Kenapa malah sibuk minta makan?!" Arnis yang gemas menarik tangan suaminya supaya cepat menuju kamar anak mereka. 

"Suruh siapa mama malah sibuk pengen ke sini, aku belum dapet sarapan lengkap tadi, cuma kopi." 

Tak mempedulikan suaminya, Arnis segera memutar kenop pintu. Tak sabaran dia membukanya, dipikiran wanita itu yang buruk, akan didapatinya pemandangan dimana Seda dan Odessa yang tidur terpisah. Namun, pemandangan di depan mata mereka sangat mengejutkan. 

"Astaga—" Sandi membungkam mulutnya sendiri begitu menatap tubuh putranya dan sang istri yang telanjang bulat. "Keluar, Ma! Keluar! Bikin mata pedih aja, sih, kerjaan mama!" Kalimat itu Sandi ucapkan dengan nada berbisik supaya tak membangunkan Seda dan Odessa. 

"Pa ..." 

Sandi berdecak. Untung saja dia tidak jelalatan. Begitu menangkap siluet tubuh anaknya, Sandi lebih dulu memalingkan muka agar tak melihat tubuh Odessa. 

"Gara-gara mama, jadi bingung kalo tatap muka sama mereka!" kecam Sandi kesal. 

"Mana aku tahu kalo mereka ternyata beneran ... seaktif itu." 

Sandi segera menyentil kening istrinya agar tersadar. "Kamu curigaan, Ma. Padahal Seda udah sering bilang kalo mereka aktif berhubungan intim. Bodohnya papa ikutin mama ke sini pagi-pagi. Malah jadi lihat yang aneh-aneh."

Arnis terduduk dengan lemas. Dia bingung jika menghadapi putranya nanti. 

"Untung aja mereka nggak kebangun, kalo sampe bangun ... kita bakalan saling bikin gerakan silat. Yang satu berusaha nggak lihat, yang satu berusaha nutupin area terlarang." 

Arnis memukul wajah suaminya dengan bantal sofa. Sandi tidak merasakan sakit, hanya spontan saja mengaduh. 

"Mama sama papa yang masuk kamarku?" 

Suara itu membuat Arnis dan Sandi langsung membalikkan badan. Mereka mendapati Seda berkacak pinggang dengan handuk melilit menutupi area pribadi pria itu. 

"Kamu kebangun, ya?" tanya Arnis balik. 

"Jelas. Pintu kamar kebuka, berisik, Odessa sampe ketakutan ngira ada maling." 

Arnis meringis. "Maaf, ya, Da. Mama nggak sengaja." 

"Iya, yang salah mama kamu. Salahin aja dia." 

"Papa!" 

Seda yang melihat orangtuanya bertengkar kecil memilih kembali masuk kamar dan bersiap untuk menemui dan bicara dengan benar bersama kedua orangtuanya. Diam-diam padahal Seda juga malu, dia menutupi area pribadinya sembari bergumam. "Malu banget, sialan!"

CRUSH HOUR /TAMATWhere stories live. Discover now