Bab 8

6.3K 324 3
                                    

Hari, jam, menit, dan waktu seakan begitu cepat berputar. Kini semua seakan berubah menjadi seperti semula. Setelah acara lamaran minggu lalu, Jessa sekarang sibuk dengan kegiatan biasanya.

Pagi-pagi berangkat kerja, pulang malam, istirahat dan terus begitu selama seminggu terakhir ini.

Tidak ada komunikasi selayaknya pasangan pada umumnya. Seperti bertukar pesan, telpon atau menanyakan kabar satu sama lain. Seakan saat ini dia memang tidak memiliki pasangan, atau ikatan. Menikmati waktu yang tinggal beberapa bulan sendiri.

Pagi ini matahari sudah tinggi di atas sana. Tapi Jessa masih asik bergulung di balik selimut tebalnya. Mengabaikan bunyi ponsel yang sedari tadi terus bergetar, tubuhnya terasa remuk pagi ini. Setelah semalam pulang hampir larut, kini ia ingin mengistirahatkan tubuhnya sejenak.

Tapi bunyi ponsel dari atas meja nakas terus berbunyi seiring kedua mata Jessa mulai terbuka. Dengan sedikit malas Jessa meraih ponselnya. Dan menatap layar ponsel yang sedarintadi mengganggu tidurnya.

Berdecak kesal, Jessa dengan kasar menekan layar berwarna merah di ponselnya. Dan menyampakkan ponselnya begitu saja di samping tempatnya berbaring.

Jessa benar-benar kesal, ketika mengetahui nomer asing yang sedari tadi mengganggu waktu istirahatnya.

Karna yakin tidak akan bisa memejamkan mata lagi akhirnya Jessa pun beranjak dari ranjangnya. Tenggorokannya terasa kering saat ini.

"Enak banget ya, yang sekarang udah jadi calon nyonya muda Abichandra. Sampe jam segini baru bangun." Ucapan bernada sindir dari saudara kembarnya membuat Jessa meliriknya malas.

Saat turun dari kamar dan minum di dapur karna merasa haus. Jessa langsung disuguhkan dengan saudara kembarnya yang duduk di meja makan dengan kopi di depannya lengkap dengan tatapan tajamnya.

"Gue mau bangun jam berapa juga, gak ada urusannya sama lo." Balas Jessa sinis.

"Ck, Kayaknya lo makin besar kepala ya, sekarang? Mentang-mentang papa sekarang ada di pihak lo."

TAK.

Dengan kuat Jessa meletakkan gelas di atas meja membuat Jessi tersentak karna kaget karena terkejut.

"Lo bisakan, sehari aja gak usah ganggu hidup gue? Lo gak bosen tiap hari bikin masalah sama gue? Atau-" Tersenyum mengejek. "Lo iri sama hidup gue? Sampe selalu cari gara-gara dan mancing emosi gue? Asal lo tau! Gue gak tertarik ngeladenin omong kosong lo sekarang. Jadi mending lo diam!" Sambung Jessa menatap tajam Jessi.

Jessi mengepalkan tangan geram. "Belagu banget sih lo. Apa lo lupa, siapa orang pertama yang mau dijodohin sama tunangan lo itu? Gue." Tunjuk Jessi pada dirinya sendiri. "Jadi lo gak usah sombong."

Jessa tersenyum mengejek mendengar ucapan saudara kembarnya. "Apa sekarang lo mau bilang. Kalau lo nyesel karna udah nolak perjodohan itu?"

"Lo pikir gue bakal menjilat air ludah gue sendiri?"

Mengangkat bahu cuek. "Gue kenal lo. Dan gue tau kalau lo-" Menatap lurus Jessi. "Gak pernah mau kalah dari gue. Lo kira gue gak tau sama rengekan lo ke mama semalam." Ejek Jessa yang langsung membuat wajah Jessi merah padam.

"Cuman ada dua kemungkinan sekarang. Yang pertama, lo gak mau tersaingi sama gue karna itu lo ngerengek ke mama buat batalin pernikahan gue. Atau yang kedua, karna Mario udah bosen sama lo, dan buang lo kayak mantan lo itu." Sambung Jessa santai.

Merasa tak tahan lagi dengan semua ucapan Jessa. Dengan kasar Jessi langsung menyiramka kopi di depannya ke arah wajah Jessa. Membuat Jessa menahan umpatannya dan menatap menyalang kearah Jessi.

The Perfect Bride (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang