Bab 11

6.2K 361 4
                                    

Raka adalah pribadi yang memiliki kontrol pengendalian diri luar biasa selama ini. Tapi setelah semua ucapan mamanya tadi, membuat perasaan Raka kini berkecambuk. Sebagian dari dirinya berteriak marah pada dirinya sendiri. Menyalahkannya dan memakinya karna lagi-lagi sudah membuat mamanya kecewa dan marah.

Tapi sebagian dari dirinya juga berteriak merindukan wanita yang sudah lama mengisi relung hatinya.

Sejak dia tiba di villa siang tadi, dan menemukan gadis yang sudah beberapa tahun tidak dia temui. Rasa rindu dan gejolak perasaan mulai datang. Seakan membuat ia langsung kehilangan kontrol.

Tawa, senyuman dan sapaan gadis itu seakan begitu Raka rindukan. Tanpa sadar membuat Raka mengikuti langkah kakinya yang tiba-tiba melangkah mendekat dan berakhir menarik lengan wanita itu untuk duduk berdua di meja dapur. Mendengarkan semua celoteh dan tawa merdu gadis itu. Berakhir mamanya memergokinya.

"Dari tadi bengong mulu. Kesambet baru tau rasa lo." Ucapan dari samping tubuh Raka, membuat Raka hanya meliriknya sekilas. Hanya sekilas, tanpa mau repot-repot menoleh atau menanggapinya. Karna Raka sudah sangat hafal dengan sang pemilik suara.

"Gue boleh duduk?" Sambungnya lagi melangkah mendekat. "Diem berarti boleh." Ucapnya tanpa menunggu jawaban dari Raka.

Raka berdecak kuat mendengar ucapan dari orang yang duduk di sampingnya.

"Lo lagi ada masalah, ya?"

"Apa lo selalu ingin tahu sama setiap masalah orang lain?" Pertanyaan bernada sindiran dari Raka membuat pria yang duduk di samping Raka memutar bola mata malas.

"Ditanya malah balik nanya lagi."

Berdiri dari duduknya, Raka menatap malas pria di sampingnya. "Gue gak tertarik jawab pertanyan lo, Dim."

"Ck, susah ngomong sama orang kaku kayak lo, Ka," Ucap Dimas kesal.

"Terserah. Gue gak tertarik ngomong sama lo." Jawab Raka santai. Sambil melangkah pergi meninggalkan Dimas dengan sumpah serapahnya.

"Mama minta maaf, jika ini menyakitimu, sayang. Tapi mama ingin jujur dengan mu. Karna mama ingin Raka bisa bahagia dengan kamu. Mama yakin pelan-pelan Raka akan mencintai kamu. Jadi mama mohon, bantu mama untuk menyembuhkan hati Raka."

DEG....

Langkah Raka langsung berhenti begitu sayub-sayub mendengar suara mamanya. Bahkan tubuhnya kini terasa mematung kaku.

"Kamu mau kan, sayang?" Raka mendengar dengan jelas jika ucapan mamanya terdengar sarat akan harapan.

"Ma."

"Jessa, mama hanya punya Raka saat ini. Anak mama hanya Raka, sayang. Mama gak tahu harus bagaimana jika dia kembali terpuruk seperti dulu. Mama merasa gak bisa jadi ibu yang baik jika kali ini mama juga gagal membuat Raka bahagia. Cukup dulu mama lengah menjadi seorang ibu, tapi biarkan kali ini mama menikmati masa tua mama dengan melihat anak mama bahagia, nak." Raka tersenyum patah mendengar ucapan mamanya. Sebegitu menyedihkannya kah dia menjadi seorang anak, hingga selalu membuat mamanya merasa khawatir selama ini?

Tidak ingin terlalu lama mendengar ucapan mamanya, Raka memilih melangkah menjauh. Perasaan semakin campur aduk saat ini.

****

Saat ini, bulan tampak lebih terang menyinari bumi. Sang mentari seakan pergi digantikan indahnya cahaya bulan dan bintang.

Raka duduk diam, mendongak menatap indah langit malam. Seakan begitu menikmati indahnya langit malam.

"Langitnya bagus, ya?" Seruan bernada ceria dari samping membuat Raka menoleh sejenak.

Ditatapnya Jessa yang sama persis mendongak seperti dirinya tadi. "Kenapa?" Tanya Jessa balik menatap Raka. Sedang yang ditanya hanya diam dengan sorot mata tajam. Terus menatap lurus ke arahnya.

"Kamu kalau lihatinnya kayak gitu, kayak mau makan aku hidup-hidup tahu gak?" Ucap Jessa dengan nada bercanda. Raka langsung memutar bola mata malas. Tunangannya ini sepertinya terlaru cerewet.

"Kata mama, di belakang villa ini ada pantai?" Raka hanya mengangguk tanpa ada minat menanggapi pertanyaan Jessa lebih jauh.

Menepuk tangannya semangat. "Kita ke sana, yuk?" Ajak Jessa.

"Kamu kalau mau ke sana tinggal pergi, kenapa harus ngajak aku?" Ketus Raka.

"Kamu kenapa, sih? Ketus mulu sama aku?" Raka langsung mencibir mendengar protesan tunanganya.

"Ayo, kata mama kamu suka pantai." Ajak Jessa menarik lengan Raka paksa agar bangkit, mengabaikan protesan pria itu begitu saja.

"Kamu bisa pergi sendiri. Kenapa harus narik-narik, sih?"

"Kamu kenapa sih, marah-marah terus? Gak capek apa itu mulut manyun terus?!"

"Lepas. Jangan tarik-tarik!"

"Aku lepas tapi kita tetap ke pantai, ya?" Nego Jessa dengan kepala mendongak, menatap lurus mata Raka.

"Kenapa aku harus nuruti kata-kata kamu? Dan lagi pula, bukannya kamu tidak menyukai pantai?" Jessa berhenti melangkah mendengar ucapan Raka.

Melepaskan genggamannya. "Kamu .... Tahu dari mana kalau aku gak suka pantai?" Tanya Jessa penuh selidik. Raka hanya mengangkat bahu cuek menjawab pertanyaan Jessa.

"Kamu mata-matain aku, ya?" Tuduh Jessa.

Langkah Raka langsung berhenti mendengar tuduhan Jessa. Menoleh ke arah Jessa. Wajahnya kian berubah kaku. "Semua orang yang hadir diacara prewedding kita juga tau, kalau kamu tidak suka pantai. Lagipula kamu sendiri yang kemarin bilang, kan?"

Jessa mengerjab, selama dia mengenal Raka baru kali ini Raka mau berbicara lebar denganya. Apakah ini sebuah kemajuan? Batin Jessa bersorak.

"Kenapa kamu diam di situ?" Ketus Raka.

Jessa langsung melangkah mendekat kearah Raka. "Jangan galak-galak dong, kamu kelihatan nyeremin kalau galak begitu." Goda Jessa mengerling. Raka mendengus lalu memalingkan wajah. Tak urung tetap diam saat Jessa kembali menggamit lenganya.

Jessa terus menarik lengan Raka ke arah jejeran kursi di pinggir pantai. Meja bulat dengan atap seperti payung dan kursi melingkar menjadi tujuan Jessa.

"Kita duduk di sini aja, ya?" Seru Jessa menarik lengan Raka. Raka hanya pasrah ketika tunanganya lagi-lagi menarik lenganya. Mendudukkannya di salah satu kursi sebelahnya yang sebelum di duduki Raka, ditarik lebih dekat oleh Jessa.

Bahkan ketika Jessa bersandar di pundaknya, Raka hanya diam dengan tatapan lurus.

"Raka." Raka berdehem menjawap panggilan Jessa.

"Menurut kamu, apa pernikahan kita nanti akan berhasil?" Tanya Jessa menatap hamparan ombak di depannya. Pundak Raka terasa nyaman untuk tempat ia bersandar saat ini. Membuat Jessa terasa malas hanya untuk sekedar menatap wajah Raka.

"Raka?"

Raka melirik Jessa yang nampak asik bersandar di pundaknya. "Bagaimana aku tahu, kita bahkan belum mencobanya." Ketusnya.

Jessa merenggut dan mendongak menatap Raka. "Kamu bisa gak sih jangan ketus-ketus?"

Raka memutar bola mata malas. "Kamu kenapa sih, kok kayaknya gak suka banget sama aku. Ketus terus," Sambung Jessa cemberut.

"Karna kamu terlalu cerewet, aku gak suka."

"Jadi kalau aku gak cerewet, kamu suka?"

"Apa, sih." Keluh Raka kesal. Jessa tertawa lepas mendengar nada kesal calon suaminya. Bahkan kini wajah Raka tampak ditekuk kesal dengan sorot mata tajamnya. Membuat perut Jessa terasa tergelitik. Menggoda Raka ternyata tidak lah buruk.

Jessa kembali bersandar di pundak Raka. Bahkan kini jari-jari lentiknya meraih tangan Raka, dan memasukkannya kesela-sel jari pria itu. "Nanti kalau udah nikah jangan galak-galak, ya?"

"Dasar genit." Desis Raka.

"Gak ada larangan genit sama calon suami."

"Kebanyakan nonton sinetron kamu." Jessa berdecak kuat mendengar ucapan tunanganya.

"Hati-hati nanti jatuh cinta." Cetus Jessa bercanda.

Walau hanya candaan, tapi entah mengapa tubuh Raka langsung menegang mendengar candaaan tunanganya.

The Perfect Bride (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang