2

477 59 2
                                    

Bagaimana perasaanmu jika tidak lolos di kampus pilihan? Sedih? Stres? Ya itu yang dirasakan oleh Anjani. Saat ia dan dua temannya berjuang bersama untuk masuk ke kampus negeri. Ia tersisih dalam tes, menyedihkan. Apakah ia sebodoh itu? Anjani yakin kalau ia sudah berusaha sangat keras bahkan ia sudah kursus setiap hari.

Sayang sekali keberuntungan tak mamihaknya, saat kedua sahabatnya lolos. Ia harus menelan pil pahit melihat betapa bangganya mereka. Ia bukannya tidak senang, hanya saja ada setitik iri di hatinya.

Setidaknya ia masih bersyukur memiliki orang tua yang tidak terlalu menuntut. Anjani ingin selalu dekat dengan sahabatnya, sehingga ia memilih berkuliah di kampus swasta yang terletak di samping kampus negeri tempat sahabatnya study.

Mereka masih bisa saling bertemu, kebanyakan Anjani yang selalu mengunjungi mereka. Setiap hari, kalau kuliah sedang tidak libur. Mungkin kalau orang awam lihat, Anjani sudah pasti dikira mahasiswa kampus itu.

"Lo gak bosen apa ke sini terus?" Reva bertanya kepada Anjani yang asik makan bakso pesanannya. Mereka sedang berada di kantin fakultas kedokteran.

Anjani menghentikan acara makannya dan manatap Reva bosan, "Pertanyaan lo basi. Gue udah kayak gini sejak semester satu, dan ini udah masuk semester dua akhir. Lo masih aja kasih pertanyaan yang sama."

Bukannya Reva tidak suka, tapi ia merasa tidak enak dengan Anjani. Ia tidak mau jika Anjani saja yang effort untuk ke kampusnya. Reva juga ingin merasakan berkunjung ke kampusnya Anjani. Tetapi, sahabatnya itu selalu menolak, dan mengatakan kalau di kampusnya tidak ada makanan enak.

"Bukannya kami gak suka lo ke sini Ni, tapi lain kali biar kita aja lah yang ke kampus lo. Kita tuh harus timbal balik, gue juga penasaran gimana tempat lo kuliah selama ini," Jeje yang duduk di samping Reva ikut menanggapi.

Lagi-lagi perdebatan tidak penting. Anjani harus berapa kali bilang kalau ia lebih suka makan di kantin kampus ini daripada kampusnya sendiri. Di sini lebih murah dan merakyat. Kampus swasta apa-apa serba mahal, didukung oleh fasilitasnya yang lengkap juga sih.

Anjani menghela napas pelan sebelum menjawab, "Kan udah gue bilang, makanan di kampus gue mahal banget. Di sini tuh lebih murah, enak lagi."

"Sekali-sekali lah," Reva tetap memaksa.

"Ih, maksa ya kalian. Ya udah besok aja gantian ke kampus gue, siapin duit yang banyak biar gak kaget," peringat Anjani.

Reva dan Jeje bersorak bahagia, akhirnya Anjani luluh juga.

Mereka kembali melanjutkan makan siang. Hari ini Anjani sudah menyelesaikan kelasnya sebelum jam 10. Sedangkan kedua temannya ini masih ada kelas sehabis jam makan siang.

Tetapi, makan siang hari itu berbeda dari hari-hari lainnya. Ini hari pertama mata Anjani melihat ciptaan tuhan paling sempurna. Sosok laki-laki dengan tubuh tegap, pakaian rapi, dan paras tampan yang entah kenapa bisa menyihir Anjani untuk melihatnya terus menerus.

"Heh!" Reva menyadarkan Anjani yang matanya sejak tadi mengikuti arah perginya Waksa.

Iya, sosok itu Waksa, Presiden Mahasiswa dari fakultas Kedokteran. Mahasiswa paling populer, terkenal ramah, berwibawa, dan cerdas. Sosok paket lengkap yang jarang ditemui. Selain dikenal sebagai Presma, Waksa juga pernah mendapat predikat sebagai Pangeran Kampus. Tak heran jika hampir semua mahasiswa mengenalnya.

"Terpesona sama Waksa lo?" Jeje ikut meledek Anjani yang sekarang terlihat seperti fans dadakan.

Mengabaikan perkataan kedua temannya Anjani malah berbalik bertanya. Ia sungguh penasaran siapa sosok itu.

"Dia siapa? Selama gue main ke sini, nggak pernah sekalipun ketemu dia? Mahasiswa baru ya?" Pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut Anjani.

Kedua temannya hanya menggeleng sebal. Mereka seperti paham sekali dengan kebiasaan Anjani yang mudah luluh oleh paras tampan seorang lelaki.

"Dia Waksa, bukan mahasiswa baru. Tapi dia emang jarang sih di area sini. Dia kebanyakan nongkrong di fakultas lain. Jangan naksir, ingat lo udah ada Marko," jelas Reva selagi menasehati sahabatnya yang mudah goyah itu.

Anjani cemberut, ia merasa sedang dihakimi. Padahal ia cuma penasaran aja, masa selama ini ia bisa melewatkan sosok setampan Waksa. Apakah mata Anjani mulai minus?

"Gue paham, ini cuma penasaran tahu siapa juga yang naksir. Kayaknya gue ngefans deh sama dia."

Kedua temannya menepuk jidat masing-masing. Bukannya menurut untuk tak berurusan dengan Waksa, Anjani malah bilang bahwa dia ngefans? Otaknya sepertinya perlu diperbaiki.

"Ni, ngefans itu sama Artis atau selebgram, penyanyi, model. Bukan sama Waksa," ujar Jeje sarkas.

Anjani memutar mata bosan, "Biarin deh, cuma ngefans juga. Udah kalian gak perlu mikir perasaan gue, kalian cuma perlu jadi perantara aja. Antara gue sang fans, sama Waksa sang idola."

Jujur sama Reva dan Jeje tidak berselera menanggapi gagasan aneh Anjani. Buat apa memiliki idola seperti Waksa, mereka setara, sesama mahasiswa.

"Bagi info tentang Waksa dong, data diri, sosmed, dan lain-lain. Gue kepo parah!" Anjani berkata dengan semangat 45, mulai hari ini ia mendeklarasikan diri sebagai fans nomor satunya Waksa.

Tetapi sebelum kedua orang dihadapan Anjani menjawab, sebuah getaran di gawainya membuat Anjani terdiam. 'Marko' sebuah nama yang akrab bagi Anjani. Pacarnya menelpon.

"Angakat tuh," peringat Reva.

Tak perlu pikir panjang, Anjani langsung mengangkat panggilan itu. Suara berat sosok Marko mengawali panggilan itu.

"Sayang, jadi dijemput?" tanya Marko dengan panggilan mesranya.

"O-oh jadi Ko, kamu berangkat aja sekarang, aku udah hampir selesai makan siang. Jemput di tempat biasa ya," balas Anjani.

"Oke."

Setelahnya Marko menutup panggilan. Dan Anjani mempercepat makan siangnya. Untuk tempat jemputan yang dimaksud Anjani adalah garbang kampus negeri yang sedang ia pijak saat ini. Saking terbiasanya Marko sampai hafal, tempat kesukaan pacarnya itu.

To Be Continue

Bucin [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang