21

132 20 2
                                    

Tidak terasa sudah seminggu sejak kejadian yang paling membuat Anjani trauma akan sebuah hubungan. Entah bagaimana, kehidupannya seminggu ini begitu mudah tanpa berurusan lagi dengan Marko. Anjani tidak tahu bagaimana Ayah Marko bisa menahan anak lelakinya itu untuk tidak menemui atau mengganggu dirinya.

Orang tua Anjani mengatasi semua permasalahan itu dengan baik. Bahkan kini tidak ada lagi rumor buruk tentang batalnya lamaran antara dia dan Marko. Anjani bersyukur, jika tidak ia yakin akan malu dalam seumur hidupnya.

Berkat bantuan Jeje akhirnya ia bisa lepas dari Marko. Tetapi, tentu saja sosok Waksa juga mengambil bagian besar dalam prosesnya.

Setelah kejadian itu Anjani izin tidak kuliah selama dua hari, ia memanfaatkan waktu liburnya itu untuk menenangkan pikiran dan juga mengumpulkan lagi kepercayaan dirinya. Ayah, Ibu dan sahabatnya cukup supportif bagi Anjani. Sehingga ia tidak perlu kesulitan menghadapi bisingnya suara di kepalannya. Perlahan ia sudah mulai bisa menerima takdirnya, tidak ada penyesalah, yang ada hanyalah rasa lega.

Pada hari ketiga Anjani masuk kuliah dan kembali menjalani aktivitasnya yang sempat terjeda. Tujuannya hari ini selain belajar, ia juga ingin menemui Waksa dan berterima kasih. Meskipun sebelumnya Anjani sempat kesal pada lelaki itu, kini ia sadar jika Waksa benar. Anjani harus tahu bagaimana kelakuan Marko di belakangnya.

"Je, dari tadi gue perhatikan Waksa ga muncul-muncul. Dia ga masuk?" tanya Anjani sambil menyesap lemon tea yang ia pesan di kantin FK di kampusnya Jeje.

"Setahu gue Waksa emang lagi ga di kampus, dia ada lomba di luar kota sejak dua hari lalu. Jadi dari tadi lo lihat orang mondar-mandir buat cari Waksa?"

Anjani tersenyum malu, "iya, gue mau berterima kasih sama dia."

"Kenapa lo ga bilang dari tadi, gue sampai mikir ngapain kita hampir sejam di kantin." ujar Jeje emosi.

Anjani hanya tertawa tidak enak, "sorry."

Kemudian keesokan harinya Anjani main lagi ke kampus Jeje namun, masih tetap belum ketemu dengan Waksa. Lalu besoknya lagi, Anjani juga masih harus menelan pil pahit karena Waksa juga belum kunjung masuk kuliah.

"Lama banget Waksa ngilangnya, gue ga enak mendem rasa terima kasih kelamaan," gerutu Anjani.

"Makannya kalau kesini, tanya gue dulu. Jangan ujug-ujug udah nongol aja di depan kelas gue," tanggap Jeje.

Anjani hanya mengangguk, "gue besok ga ngampus, kayaknya bakal skip ke sini deh."

"Ya udah, lo istirahat aja. Nanti gue kabari kalau ketemu Waksa."

"Thanks Je."

***

Dulu jika ia libur kuliah, biasanya Anjani akan menggunakan kesempatan untuk kencan dengan Marko. Sesingkat apapun, keduanya akan menyisihkan waktu untuk bertemu. Tapi sekarang, Anjani hanya bisa bergelung malas di kasurnya.

Dalam sekejap dua orang yang paling dekat dengannya berkhianat, Marko dan Reva.

Meskipun sudah melewati berhari-hari, rasanya otak Anjani tidak bisa berhenti memutar memori tentang perselingkuhan Marko dan Reva. Ia merutuki dirinya sendiri yang masih saja lemah, padahal mereka bukan orang yang pantas Anjani sesalkan kepergiannya.

Tak berapa lama, Anjani dikagetkan dengan getaran ponselnya. Itu Jeje, ada apa sahabatnya menelpon jam segini? Seingatnya ia sudah bilang jika hari ini ia tidak ada kelas.

"Halo Je, ada apa?"

"Katanya lo cari Waksa? Dia masuk hari ini," ujar Jeje menyahut dari speaker ponsel Anjani.

"Beneran dia udah masuk?" Tanya Anjani sekali lagi untuk memastikan.

"Iya, lo mau ke kampus gue sekarang atau nunggu besok aja?"

Bucin [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang