20

114 20 2
                                    

"Yang brengsek di sini itu Lo!" tunjuk Jeje tepat di wajah Marko. Lelaki itu sudah berbuat salah, bukannya minta maaf malah marah-marah.

Marko bersikap seakan dia sedang difitnah dan dirugikan, padahal korbannya di sini adalah Anjani. Bagaimana bisa Marko dengan berani membuat acara lamaran, disaat dirinya belum merasa bersalah. Jeje rasanya ingin membawa kaca sebesar lemari untuk Marko, agar lelaki itu bisa berkaca dan melihat betapa kotor perbuatannya.

"Marko! Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini," tiba-tiba Ayah Marko dengan gurat amarah yang tergambar jelas. Tak hanya itu, dibelakang itu ada orang tua Anjani dan Ibu Marko yang menampilkan raut kekecewaan.

Setelah Anjani perhatikan, para tamu sudah tidak ada. Entah bagaimana para orang tua bisa mengondisikan kekacauan ini dengan cepat. Sekarang Anjani mulai kembali cemas, karena dirinya reputasi dua keluarga jadi tercoret.

Anjani menunduk dengan bahu bergetar, Jeje yang menyadari jika sahabatnya itu kembali terguncang langsung memeluknya tanpa ragu.

"Ini bukan salah lo Ni, semua ini salah Marko. Jadi jangan sekalipun salahin diri lo," bisik Jeje untuk menguatkan kembali mental Anjani yang terhantam bertubi-tibu dengan masalah ini.

Jeje tahu bagaimana sifat Ajani, ia bukan satu dua tahu mengenal Sahabatnya itu. Mereka bahkan sudah bersahabat sejak bayi. Mereka tumbuh bersama, berbagi cerita bersama, serta memahami bersama. Jadi ia yakin Ajani ataupun dirinya sudah paham sifat masing-masing luar dalam.

Marko yang tahu jika sang Ayah mulai kehabisan kesabaran, membuatnya takut. Selama ini Marko bersusah payah agar tidak membuat nama keluarganya tetap baik, ia hampir tidak pernah membuat kesalahan. Namun kali ini, ia baru sadar jika perbuatannya benar-benar memalukan.

Marko melihat Anjani, wanita itu adalah sosok yang selama ini bersamanya. Mereka banyak membagi kenangam bahagia sebagai pasangan. Bagaimana bisa ia, berselingkuh.

Marko tertegun, saat melihat wajah Anjani jantungnya masih berdegup kencang. Tak pernah sekalipun rasa cintanya berkurang pada wanita itu. Namun, apa yang membuatnya berpaling?

Reva.

Ingatan tentang sebuah malam panas dengan Reva membuat Marko tertohok. Sebuah kesalahan yang membuatnya keluar batas.

Malam itu Marko mabuk, dan entah bagaimana Reva dan dirinya sudah bermalam pada sebuah hotel. Bualan manis dari mulut Reva membuai hati Marko. Terlebih lagi, saat itu Marko sedang dalam fase bosan pada hubungannya dengan Anjani.

Anjani sangat konservatif, wanita itu selalu membuat batas pada Marko. Hubungan mereka seperti anak SMP yang tidak boleh lebih dari berciuman. Marko tahu jika pikirannya begitu buruk karena menginginkan Anjani lebih, sebelum hubungan mereka sah. Tapi sebagai lelaki, ia mana bisa menolak ikan yang sudah di sodorkan di depan matanya. Reva menawarkan hubungan lebih itu tanpa menuntut apapun, tentu saja Marko tergiur.

Selama ini Marko menyembunyikan rasa bersalahnya dengan menyalahkan Anjani. Marko menganggap Anjani tak memiliki keyakinan pada hubungan mereka. Dan, bukankah lebih mudah menyalahkan orang lain daripada diri sendiri?

"Ayah tidak butuh diam kamu Marko," geram sang Ayah.

Marko menatap mata Ayahnya, "Semua itu benar, Marko memang memiliki hubungan dengan wanita lain. Tapi Marko tidak salah, Anjani yang menyebabkan semua hal ini. Anjani tidak percaya penuh dengan hubungan ini—"

PLAK

Sebuah tamparan keras melayang di pipi Marko. Iya, sang ayah yang menampar Marko.

"Tidak ada yang salah dengan Anjani, jadi jangan salahkan dia. Ayah kecewa sama kamu Marko. Ayah pikir, kamu adalah anak lelaki ayah yang memiliki prinsip dan pendirian. Siapa sangka kamu melakukan perbuatan memalukan itu!"

Tamparan ayahnya tidak semenyakitkan itu, namun hati Marko rasanya seperti tertusuk sebuah pedang.

"Anjani, Om minta maaf atas perbuatan Marko. Om mohon kamu maafkan Marko, jika perlu apapun permintaan Anjani akan om kabulkan."

Ayah Marko sampai berlutut dihadapan Anjani untuk meminta maaf. Hal itu membuat Anjani tidak enak, ia langsung menuntuk Ayah Marko untuk berdiri.

"Anjani tidak akan meminta hal banyak. Hanya satu, yaitu hubunganku dan Marko berakhir selamanya."

Ayah Marko mengangguk setuju, "Tentu saja, itu sudah pasti. Om tidak akan membiarkan Marko mengganggu kamu lagi."

"Ayah tidak boleh memutuskannya secara sepihak," protes Marko.

"Kamu tidak punya hak memilih di sini Marko. Apa kamu tidak sadar dengan kesalahanmu? Dan masih berharap Anjani mau berurusan denganmu di masa depan?!" Amarah Ayah Marko kembali meluap, namun beliau menghembuskan nafas untuk menurunkan emosinya.

"Kita pulang sekaranga," titah Ayah Marko.

Mau tidak mau, keluarga Marko harus pulang. Mereka tak mau menambah masalah di rumah Anjani. Lagipula Marko perlu hukuman berat untuk kesalahannya itu.

Sepeninggal keluarga Marko, Ibu dan Ayah Anjani menghamburkan pelukan pada Anjani.

"Kenapa kamu tidak bicara terus terang pada kami? Masa depan kamu hampir saja hancur karena keegoisan kami Nak," ujar sang ayah sambil mengelus rambut putrinya uang mulai terisak lagi.

"Anjani tidak mau membuat kalian kecewa. Sebab keluarga kita dan Marko sangat dekat, Anjani tidak mau membuatnya hancur."

"Hal itu tidak lebih penting daripada kebahagiaan kamu Nak, jika kamu bilang ayah tidak akan segan akan membuat Marko berlutut di kaki kamu dan memutuskan hubungan kalian detik itu juga."

Kini gantian Anjani yang memeluk kedua orang tuanya. Jika saja ia bilang lebih awal, mungkin acara ini bisa dibatalkan dengan cepat.

"Omong-omong, bagaimana bisa para tamu sudah pulang semua?"

"Dalam situasi seperti ini, kamu masih memikirkan tamu?" Ibu Anjani berujar sarkas.

Anjani hanya diam, hatinya sudah lega. Orang-orang menyayanginya, dan ingin menjaganya agar tetap bahagia. Kalau begitu, Anjani akan sekuat tenaga menjalani kehidupannya senyaman mungkin agar mereka tidak khawatir. Anjani jadi paham, bahwa egosi demi kebahagiaannya itu penting.

TBC

Bucin [Ongoing]Where stories live. Discover now