11

122 20 0
                                    

Waksa hari ini punya rencana brilian, sebuah strategi yang akan membuat kehidupan beberapa orang seakan jungkir balik. Waksa tersenyum kecil ketika membayangkan akan seheboh apa kehidupannya ke depan.

"Sa, hari ini ikut ngafe gak?" Rudi bertanya, menyejajarkan langkahnya dengan Waksa.

Mereka kebetulan sudah menyelesakan mata kuliah terakhir hari ini. Pada hari sebelumnya, memang Rudi selalu mengajak Waksa ngopi sebentar sekadar melepaskan stres karena kuliah.

"Hari nggak dulu, gue cabut duluan," ujar Waksa, lalu segera berbelok ke arah parkiran kampus meninggalkan Rudi yang terdiam.

Baiklah, sepertinya Rudi harus ke kafe sendirian hari ini. Padahal hari ini malam sabtu, yang biasanya Cafe ramai dengan cewek-cewek kampus lain. Itu tontonan menarik untuk mereka.

Di sisi lain, Waksa mengendarai mobilnya ke arah sebuah daerah yang cukup padat, ramai dengan anak muda. Waksa memiliki janji dengan teman satu komplotannya, untuk mengambil sebuah barang yang sudah ia pesan.

Waksa memarkirkan mobilnya di depan sebuah bangunan, pintu masuknya cukup sempit dan temboknya lusuh dan agak terkelupas. Bangunan dua lantai itu nampak seperti properti tidak berpenghuni.

Namun, saat Waksa membuka pintunya. Desain interior ruangan yang minimalis sungguh memanjakan mata, bisa dibilang tempat itu adalah kafe namun juga menyajikan minuman beralkohol. Nampak dalam dan luar ruangan itu sangat berbeda 180°.

"Hey Sa," sapa seorang bartender yang sedang meracik minuman, saat Waksa masuk.

Name tagnya tertuliskan 'Jinan'

"Bang Jin, pesenan gue udah lo bawa?" Ujar Waksa tanpa santun, padahal ia tahu jika Jinan lebih tua darinya.

"Nih," sodor Jinan sebuah bungkusan kertas sebanyak dua buah.

"Aman kan ini?"

"Terjamin aman dan manjur."

Waksa hanya mengangguk-angguk, yang penting ia sudah mendapatkan barang pesanannya.

"Buat apa sih itu? Bukannya tanpa lo paksa, para cewek tetep bersedia ngangkang di depan lo," ucapan vulgar Jinan kurang ditanggapi oleh Waksa.

"Itu mulut tolong dijaga, gue bukan lo yang sebar benih kesana kemari," komentar Waksa dengan bosan. Jinan sok-sok an menasehatinya, padahal Dia sendiri kelakukannya lebih parah.

Waksa memesan obat perangsang dari Jinan, bandarnya obat-obatan semacam itu. Obat ini, yang akan ia gunakan untuk menjebak Reva.

Waksa sudah risih karena hidupnya terus diganggu oleh wanita itu. Setiap Waksa usir, Reva tetap tidak tahu diri. Dan itu membuat Waksa semakin ingin menghancurkan hidup Reva sampai wanita itu tak bisa mendekatinya lagi.

Waksa tidak berhenti di tempat itu terlalu lama, karena ia sudah membuat janji dengan Reva.

"Gue cabut," pamit Waksa tanpa menunggu jawaban dari Jinan.

Jinan belum sempat menyahut, sosok Waksa sudah menghilang dari hadapannya. Seakan seperti siluman, yang menghilang tanpa jejak.

Tepat jam 8 malam, Waksa sudah sampai di depan Kosan Reva. Hari ini Waksa mengajal Reva untuk le Club.

Awalnya Waksa pikir, Reva merupakan cewek baik-baik nan polos yang akan menolak ajakannya ke Club. Tetapi faktanya, Reva langsung mengiyakan ajakannya. Padahal Waksa sudah meyakinkan Reva dua kali, dan wanita itu tetap mau ke Club malam bersamanya.

Ternyata Reva tidak sepolos itu, hanya covernya saja yang seperti cewek biasa yang kerjaannya kuliah-pulang-kuliah-pulang.

"Hai Sa," sapa Reva ketika ia sudah berada di samping mobil Waksa.

Bucin [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang