9

227 32 7
                                    

Seminggu ini Waksa tidak lagi melihat si penguntit. Entah memana perginya gadis itu, ia mulai merasa kesepian. Ia belum selesai bermain-main dengan gadis itu.

"Hai Sa, hari ini kita jadi ke Gramed kan?" Reva, gadis yang beberapa hari ini mendekat pada Waksa bertanya.

Waksa tahu si penguntit dan Reva adalah teman, lelaki itu tahu karena mereka berdua selalu terlihat bersama. Lebih tepatnya tiga orang, dua di antaranya teman satu fakultas Waksa. Si penguntit pasti memanfaatkan dua temannya ini untuk mendekati Waksa.

Dan si Reva ini, entah kenapa mulai ikut mendekatinya. Jika Waksa perhatikan, gadis di depannya ini memang sudah dari lama menaksirnya. Tapi selama ini Reva berdiam diri, tetapi ketika Si penguntit itu juga mulai tertarik dengan Waksa, nampaknya Reva mulai terancam.

Hal itu jadi dimanfaatkan oleh Waksa. Lelaki itu bisa dengan mudah menghancurkan Si penguntit jika ia bisa menghancurkan persahabatannya. Bisa apa gadis itu tanpa sahabatnya? Waksa penasaran.

"Sorry, hari ini gue ada bimbingan lomba sama dosen. Lain kali ya, gue harus pergi sekarang," tanpa berpikir dua kali, Waksa meninggalkan Reva yang menunjukkan raut kecewa.

Waksa tidak benar-benar membiarkan Reva mendekatinya. Gadis itu hanya alat agar Waksa bisa membalas Si penguntit. Tapi, karena beberapa hari ini kehidupan Waksa tampak tenang. Sepertinya Reva tidak terlalu berguna lagi.

***

Di sisi lain, Anjani sedang bersenang-senang dengan Marko. Setelah merenungkan kata-kata Jeje. Ia harus bertanggung jawab dengan hubungannya dan Marko. Apalagi rencana mereka adalah bertunangan setelah lulus kuliah nanti. Ia tak mau merusak kebahagiaanya yang sudah ia alami selama ini bersama Marko. Tidak kalau hanya demi Waksa, sosok asing yang tiba-tiba membuat Anjani berubah aneh.

"Akhir-akhir ini kamu punya banyak waktu ya buat aku, lagi nggak ada tugas ya?" Marko bertanya penasaran.

Seingatnya Anjani akhir-akhir ini agak sulit jika diajak untuk kencan. Gadis itu lebih memilih mengerjakan tugas di rumah, daripada menghabiskan waktu denga  Marko.

"Iya nih, semua deadline udah aku kerjain semua. Jadi banyak waktu deh," jawab Anjani beralasa. Mana mungkin ia bilang kalau ia sudah tak menguntit Waksa lagi. Waktunya tidak ia sia-siakan lagi untuk lelaki itu.

Marko tersenyum tenang, ia suka jika Anjani meluangkan waktu untuk mempererat hubungan mereka.

"Kita ke kafe yuk, ada yang baru buka di dekat kampus kamu."

"Boleh, yuk kita berangkat sekarang."

Mereka mendatangi sebuah kafe baru yang letaknya tepat di belakang kampus tempat Anjani belajar. Sebuah kafe kecil, namun begitu asri dengan dekorasi tumbuhan di sekitar kafe. Pemandangan di sana membuat nyaman, apalagi setelah perjalanan di jalan raya yang sangat ramai dan berpolusi.

Mereka berjalan ke arah kasir untuk memesan makanan. Namun, sebuah kejutan menghampiri Anjani. Ia berpapasan dengan Waksa, lelaki yang sangat ia hindari sekarang.

Mereka saling betatapan dalam jarak dekat. Waksa yang selesai memesan, dan Anjani yang akan memesan. Sungguh takdir benar-benar mempermainkan mereka. Anjani tak bisa bohong kalau jantungnya berdetak tak karuan saat bertemu dengan Waksa.

"Sayang, kamu mau pesan apa?" Pertanyaan Marko menyentak kesadaran Anjani. Ia menatap udara kosong, Waksa sudah pergi.

"Caramel macciato."

Hanya dengan satu tatapan mata, Waksa berhasil memporak-porandakan benteng pertahana  Anjani.

To be Continue

Bucin [Ongoing]Where stories live. Discover now