Chapter 2 - Tertolak

116 16 0
                                    

“Maaf pak saya terlambat, tadi saya ada sedikit kendala….” kataku yang langsung dipotong oleh manajer dari perusahaan itu.
 
“Seperti yang sudah tertera di surat jadwal interviewmu bahwa kami tidak mentolerir sedikitpun keterlambatan dan kamu sudah terlambat selama 10 menit yang artinya sorry to say, kamu didiskualifikasi dari interview ini.” potong Pak Marvin.

“Tapi saya sudah datang tepat waktu, pak. Saya hanya terkendala karena saya kurang tahu terkait tata tertib dari perusahaan ini. Apakah tidak bisa dimaklumi?” protesku hampir memohon karena rasanya sangat sulit untuk diriku melepaskan kesempatan ini karena si pria gila itu. 

Gara-gara dia aku harus naik tangga dari lantai 1-10 karena traffic liftnya yang cukup padat. Aku sudah hampir pupus harapan karena bila dalam 1 minggu aku tidak mendapatkan program magang maka kelulusanku akan ditunda dan aku akan semakin dikucilkan karena dianggap hanya membawa malu bagi keluargaku. 

“Maaf, tapi perusahaan ini sangat menjunjung tinggi yang namanya disiplin, tanggungjawab dan professionalisme. Apabila kamu sudah tahu bahwa interview ini penting maka kamu seharusnya datang lebih cepat. Dari sikapmu yang seperti ini semakin membuat saya yakin untuk menolak anda bekerja disini. Jadi saya mohon maaf, sepertinya kamu tidak cocok bekerja dengan budaya perusahaan ini dan saya persilahkan untuk anda keluar.” sanggah Pak Marvin yang semakin memupuskan harapanku. 

“Baik, pak. Saya akui kesalahan saya dan saya meminta maaf atas keterlambatan ini. Kalau begitu saya permisi.” putusku sedih sambil berjalan keluar dari ruangan itu dengan patah semangat. 

Harapan terakhirku telah sirna begitu saja dan aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Sepertinya takdir memang tidak terlalu menyukai keberadaaanku. Setiap hal yang ingin aku raih selalu lenyap begitu saja karena satu dua hal diluar kendaliku. Pada akhirnya, aku harus sadar, semua tidak bisa berjalan sesuai kemauanku dan aku harus menerima nasibku yang memang akan selalu dipandang remeh oleh orang disekelilingku.

Aku tidak mampu menjadi seseorang yang ada dalam harapan orangtuaku seberapapun aku mencoba dan aku juga tidak bisa mengubah ketidaksempurnaan yang ada diriku sebagaimana aku berusaha untuk memenuhi ekspektasi dari orang disekelilingku. Apapun usaha yang telah aku keluarkan, aku akan selalu kembali ketitik awal, menjadi Fio yang tak bisa berbuat apa-apa dan yang tidak pernah diinginkan untuk lahir didunia ini. 

Sembari melangkah keluar, aku merasakan getaran di smartphone-ku yang tidak berhenti yang menandakan ada pesan yang masuk. Aku lalu mengambil handphone-ku sambil menghapus air mata frustasi yang sudah bergenangan di pelupuk mataku. 

“Bagaimana? Apakah diterima?” tanya Alice melalui chat.

“Menurutmu?” balasku balik.

“Sepertinya tidak ya……. Tidak apa apa, Fio. Mungkin belum rezekinya, tenang saja aku akan meminta tolong papaku untuk memasukkanmu ke perusahaan lain. Kau tidak perlu khawatir.” tanggap Alice.

“Tidak usah, Alice. Aku tidak mau merepotkan keluargamu. Keluargamu sudah banyak membantuku selama ini dan dengan bantuan papamu, aku juga bisa mendapatkan kesempatan untuk melamar di perusahaan ternama nomor satu di New York. Sepertinya aku memang harus menurunkan standar dan mencari perusahaan yang memang sepadan dengan kemampuanku. Aku tidak bisa terus berangan-angan tinggi dan berharap hidupku akan seperti novel. Tenang saja, aku sudah memasukkan beberapa lamaran lagi di beberapa perusahaan kecil. Cepat atau lambat, aku pasti bisa diterima.” paparku dengan menambahkan emoticon tersenyum. 

“Apa kau yakin? Kau tidak perlu bersikap kuat dengan kita, Fio. Kami bukan orangtuamu yang selalu mengharapkanmu untuk tetap tegar, kami siap untuk menjadi sandaranmu. Kamu tidak perlu untuk menyembunyikan perasaanmu. Terkadang menangis itu jauh lebih baik daripada kamu terus memendam kekecewaanmu itu.” sosor Chelsea.

Sweetest Fall Where stories live. Discover now