Chapter 9 - Ada yang Peduli?

51 13 0
                                    

“Apa ini?” tanyaku penasaran sambil membuka kantong darinya dan melihat beberapa salep dan peralatan medis lainnya.

Aku lalu mengambil salah satu salep berwarna orange dan mengamati fungsi dari salep itu. Untuk meredakan luka bakar? Aku-pun mulai menjadi bingung. Siapa yang habis terkena luka bakar? Aku rasa aku tidak ada luka sedikitpun. Aku melihat salep lain yang berwarna biru juga ternyata memiliki fungsi yang sama. 

“Kenapa kamu memberikanku semua salep ini? Aku tidak ada luka sama sekali.” imbuhku. 

“Tanganmu-kan terluka akibat terkena kopi panas tadi.” bebernya yang sontak membuatku tersadar dan melihat ke arah tanganku dan ternyata benar tanganku terlihat sedikit mengalami iritasi dan kemerahan.

Saat aku mencoba untuk menyentuh luka itu, aku sontak meringis kesakitan.“Luka sebesar ini kenapa baru sekarang aku sadar?” pikirku. Sejak tadi aku bahkan tidak merasakan sakit akibat luka ini karena asyik bertengkar dengan Pak Ryan. Aku mulai menyadari satu hal aneh, bila aku sendiri saja tidak sadar, bagaimana bisa Marvin tahu bahwa lukaku akan menjadi separah ini? Apakah dia memperhatikanku sedari tadi?

“Bagaimana kau tahu kalau tanganku……” tuturku yang langsung dipotong olehnya. 

“Karena aku yang menyebabkan tanganmu terluka. Saat tadi aku membantumu membuatkan kopi untuk Pak Ryan, aku perhatikan lukamu semakin parah karena tidak kau siram air keran. Makanya aku dengan segera membelikanmu obat tadi tapi pada saat aku sampai, katanya orang kantor, kau sudah pergi dengan Pak Ryan karena ada urusan diluar. Aku cukup kaget kau sama sekali tidak menyadari hal ini padahal lukamu sepertinya sudah meradang begitu. Kalau tidak segera diobati mungkin itu akan meninggalkan bekas. Sini tanganmu biar kubantu oleskan.” terangnya sambil meraih salep dan tanganku untuk diolesi salep agar radangnya bisa berkurang. 

Aku lantas tersenyum melihat perhatiannya. Baru pertama kali ada lelaki yang memperhatikanku sama sebegininya. Dia juga sampai rela berlari menemuiku di tengah malam ini hanya untuk memberikanku sekantong obat. Dimana lagi aku bisa bertemu orang sebaik dia. Sudah ganteng, baik, perhatian. Aduh benar-benar pacarable. Beruntungnya aku jika dia mau menjadi pacarku. 

Saat aku menyadari apa yang sedang kupikirkan tadi, pipiku lantas mulai memerah dan aku tersipu malu. Aneh-aneh saja aku ini. Pacar, pacar mana mungkin dia ada perasaan dengan diriku. Dia itu cuma baik karena ingin menebus kesalahannya bukan karena dia ada hati dengan diriku. “Sadar Fio!” teriakku dalam hati. Jangan langsung kebawa perasaan saat diberikan perhatian sedikit sama seorang lelaki. 

“Pakailah ini saat pagi dan malam dan jangan kompres dengan es serta menutupnya dengan kain kasa karena itu akan memperparah kondisi lukamu.” tambahnya membangunkanku dari lamunanku sambil dirinya terus berfokus mengobati lukaku. 

“Thank you Marvin.” ucapku sambil tersenyum yang kemudian direspon kembali olehnya dengan senyuman sambil berkata, “Sama-sama. Itulah gunanya teman. Selalu ada disaat kamu membutuhkan.” 

Teman? Kata-kata itu kenapa memunculkan rasa kecewa dihatiku. Seperti aku menginginkan dirinya untuk mengatakan hal lain. “Kau ingin dia memanggilmu apa? Pacar? Bukankah hal itu malah membuatmu menjadi tidak nyaman.” ucap hatiku. Benar juga, jika dirinya tiba-tiba memanggilku panggilan seperti itu bukankah aku malah menjadi ilfeel dengannya seperti saat diriku dengan Pak Ryan. Ah ya sudahlah. Terlalu ribet untuk kupikirkan saat ini. Perasaan yang muncul saat ini sungguh memusingkanku. Inilah alasan kenapa aku menjadi jomblo selama 21 tahun. Semua cinta yang kualami selalu bertepuk sebelah tangan. 

Cinta? Melantur saja aku ini. Mana mungkin aku menyukainya. Sepertinya pikiranku sedang tidak waras makanya aku terus mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Cinta pada pandangan pertama itu tidak benar adanya. Itu hanyalah khayalan fiksi untuk memperindah suatu cerita.  

Sweetest Fall Where stories live. Discover now