Chapter 22 - The Morning

23 9 1
                                    

Matahari mulai mengganggu tidurku saat cahayanya menembus masuk dari jendelaku dan menyinariku dengan begitu terang. Perlahan aku mengerjapkan mataku sambil meraba nakas disamping tempat tidurku untuk mencari smartphone. Saat berhasil kuraih, aku melihat jam yang tertera di smartphoneku dan ternyata ini baru jam 06.00. Terlalu pagi untuk seorang yang hampir pengangguran bangun jam segini tetapi karena mataku sudah sangat terang aku-pun merenggangkan tubuhku sebelum aku bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk bebersih diri. 

Setelah dari kamar mandi, aku lalu ke dapur untuk memasakkan makanan pagi untuk kita berdua. Saat melewati ruang tamu aku bisa melihat Marvin yang masih bergelung dalam selimut dengan mulut yang sedikit menganga. Memandangi dirinya seperti itu membuat aku tersenyum sendiri sebelum aku berjalan ke arah dapur dan mulai memasak makanan. Aku berpikir untuk memasak sesuatu yang praktis saja. Mungkin telur orak arik dengan nasi goreng. Akankah Marvin terbiasa dengan makanan seperti ini atau lebih baik aku masak omelet untuk dirinya? 

Karena terlalu lama melamun, aku tiba-tiba menjerit kencang saat menyadari bahwa aku terciprat minyak panas karena aku lupa sudah menyalakan kompor dengan minyak tanpa memasukkan bahan makanan apapun. Melihat tanganku yang habis terkena minyak panas yang cukup banyak, aku meniup-niupnya untuk mengurangi rasa sakitnya. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarik tanganku sembari membuka air keran dan menyirami tanganku dengan air itu. 

“Ahhh!” teriakku mendorong itu sampai Marvin terjatuh ke lantai. Aku lupa jika kemarin dirinya menginap di rumah ini. Kupikir ada orang asing yang tiba-tiba menyentuhku sampai dengan reflek aku melakukan hal itu. 

“Jika kamu melakukan ini karena kau masih marah denganku, aku mengerti. Aku memang pantas untuk mendapatkan tamparan, dorongan bahkan cacian darimu atas perbuatanku.” sesalnya yang sontak membuatku merasa bersalah dan memainkan tanganku sambil menatap kebawah. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya terkejut saja.

“Kau salah paham, Vin. Aku…. Aku cuma tidak menyangka ada orang di apartemen ini selain aku. Aku minta maaf.” bantahku sambil menggerakan tanganku didepan.

“Jadi kau sudah memaafkan perbuatanku?” tanyanya dengan wajah berharap. 

“Aku tidak ingin membahas hal itu di pagi hari. Duduklah kau juga pasti masih pusing. Aku akan masak dan membuatkanmu air madu untuk mengurangi hangover-mu.” jawabku sambil berbalik membelakanginya. Belum sempat aku memecahkan telur yang sudah kupegang. Tanganku kembali diarahkan ke keran yang masih mengalir air. 

“Berdiamlah disana dan sirami terus tanganmu untuk mencegah iritasi dan melepuh. Untuk urusan memasak biar itu menjadi urusanku.” ocehnya menahanku di tempat sambil berdiri disampingku untuk mulai memasak. 

“Bukannya kau sakit karena mabuk kemarin? Sini biar aku saja.” tolakku berusaha menyingkirkannya dari dapur dengan mengambil spatula namun dirinya tetap berdiri disana tanpa bergerak sedikitpun. 

“Aku baik-baik saja, Fio. Siramilah terus tanganmu. Jangan membantah!” gertaknya membuatku terdiam dan akhirnya duduk di kursi makan sambil memandanginya yang dengan gercep menyiapkan masakan untuk kami berdua. 

Melihat gerakannya, aku yakin dirinya pasti sudah sering berada di dapur, kecepatannya memotong hingga cara dirinya memegang panci, jika orang awam pasti tidak akan selincah ini. Ingin rasanya aku bertanya kepadanya dimana dirinya belajar masak tetapi aku-kan masih marah dengannya. Meskipun kemarin Kak Bram memintaku agar memaafkan Marvin tetapi sebelum aku memaafkannya, aku juga ingin dengar dari mulutnya sendiri alasan dibalik semua ini. Rasa emosi dan kekecewaan itu masih nyata terasa, okay? Dan itu artinya semua belum baik-baik saja. 

“Ini, makanlah.” ucapnya sambil menyodorkan aku satu piring full makanan yang terlihat menggiurkan. Melihat diriku yang begitu menantikan untuk mencoba masakannya membuat Marvin tersenyum sendiri sambil duduk didepanku. Aku-pun hanya diam menatap kearah makanan itu sambil menggaruk-garuk saja makanan itu tanpa memakannya. Sebenarnya makanan itu terlihat sedap tetapi saat melihatnya di hadapanku  semua kenangan itu muncul membuat seketika aku tidak nafsu makan.

Sweetest Fall Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang