Chapter 15 - Pengusiran

48 9 0
                                    

“Jika iya?” 

“Kalau iya maukah kau menjajaki hubungan kita ke arah lebih serius?” 
Yang dimaksudkan Marvin, dia ingin aku menjadi pacarnya, bukan? Itukah alasannya dia menawarkan diri menjadi pacar pura-puraku tadi karena dirinya sudah berharap lebih dari hubungan kita. Atau jangan-jangan dia hanya bercanda? Jawaban apa yang pantas kuucapkan kepadanya, apabila aku menolaknya tentu akan membuat hubungan kita menjadi canggung dan bila aku menerimanya, aku juga belum yakin dengan perasaanku. 

“Jangan bermain-main denganku, Marvin. Kau sungguh telah menaruh hatiku?” 

“Aku mengungkapkan yang ada dipikiranku. Lagipula kita sudah saling nyaman satu dengan lain jadi apa salahnya apabila kita menuju ke jenjang selanjutnya.” pernyataan itu tanpa kusadari seakan menjadi lampu hijau bagi dirinya masuk kedalam hatiku. Entah mengapa kupu-kupu serasa berterbangan di perutku. Pipiku mulai terasa panas dan memerah layaknya tomat. Benarkah aku mulai jatuh hati kepadanya?

“Hahahahaha…….. Tidak perlu terkejut seperti itu. Aku hanya bercanda.” tambahnya sambil tertawa. 

Saat mendengar ucapannya kenapa aku seperti merasa dilema. Disatu sisi aku lega dan disaat bersamaan aku berharap bahwa apa yang diucapnya benar-benar berasal dari hatinya.

“Hey! Hey! Kamu tidak apa-apa?” cetusnya khawatir setelah melihat tak memberikannya respon sama sekali. 

“Kamu-sih. Kenapa tiba-tiba melontarkan pertanyaan seperti itu? Buat orang panik saja.” gerutuku berusaha untuk menutupi kekecewaanku. 

“Aduh, ada yang marah. Bagaimana ini?” ledeknya yang langsung kusumpal dengan makanan biar tidak semakin melantur kemana-mana. 

“Makan! Makan! Daripada kamu terus berbicara omong kosong terus.” 

—------------------------------------------------

Sejak sepulang kantor tadi, aku langsung masuk ke kamarku untuk mengemas seluruh barang yang ada dalam kamarku. Sudah kuduga, Mama dan Kak Bella sama sekali tidak pusing dan asyik menonton drama. Dalam hatiku, ada secercah harapan jika mereka mau menurunkan sedikit ego mereka dan mencegatku untuk jangan pergi, namun apalah dayaku? Harapan itu seketika pupus saat melihat sikap acuh tak acuh mereka. Disaat itu aku sudah memantapkan diri untuk minggat dari rumah ini. 

Tak disangka, pada saat yang bersamaan, Kak Bram pulang dan melihat kekacauan ini. Dia yang tidak mengerti apa-apa karena semenjak subuh tadi dia sudah pergi bekerja, dia pun bertanya apa yang sedang terjadi kepada Mama dan saat dia tahu jika aku memutuskan untuk pergi, dia segera mengikutiku ke kamarku dan mencoba untuk menghalangiku. 

“Kau benar-benar akan pergi?” pinta Kak Bram yang menahan tanganku saat aku memasukkan semua baju yang ada di lemari. 

“Tidak ada lagi alasan untuk diriku tetap bertahan di rumah ini, Kak. Rumah ini cuma menyisakan kenangan pahit yang ingin segera aku tinggalkan. Aku disini hanya mewujudkan keinginan terbesar Mama kita. Bukankah mereka selalu ingin aku menikah muda agar aku bisa tersingkir dari rumah ini. Bahkan sampai aku pernah dipaksa untuk menikah dengan pilihan mama hanya demi mendapatkan uang untuk membiayai kebutuhan Kak Bella. Jika tidak ada kakak saat itu aku tidak akan tahu nasibku seperti apa.” 

“Dirumah ini tidak ada lagi yang bisa membantuku. Kakak sudah punya kehidupan kakak sendiri dan aku tidak mungkin terus menggantungkan hidupku pada bantuan kakak. Ini sudah jalan yang terbaik agar tidak ada lagi yang terluka karena diriku.” uraiku sambil menutup tas yang telah terisi penuh dengan semua barang barang keperluanku. 

Sweetest Fall Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora