Chapter 6 - Boss Tantrum

89 16 3
                                    

“Maksud bapak apa ya?” tanyaku tidak mengerti yang langsung mendapatkan pukulan meja darinya. 

“Jangan berpura-pura polos kamu, Fio. Kamu ke pantry bukan hanya untuk membuatkanku kopi-kan? Kamu asyik bermesraan dengan salah satu karyawan kantorku pada saat jam kantor. Tidak lupa kalian melakukan itu di depan umum? Kenapa? Kamu mempergunakan kesempatan ini hanya untuk mencari jodoh? Agar taraf hidupmu semakin baik? Kamu sudah lupa dengan kewajibanmu di kantor ini?” tuduhnya yang sontak membuatku emosi. 

“Bapak jangan sembarangan ngomong kalau tidak ada bukti!” marahku. 

Setiap aku berada dalam ruangan yang sama dengan Pak Ryan, entah mengapa dia selalu memancing emosiku. Dia seperti tidak bisa menjaga perasaan karyawannya dengan berbicara semaunya sendiri. Bersikap seolah dirinya-lah yang paling tentang diriku padahal kita saja baru bertemu beberapa kali. Begitu mudahnya dia menghakimi setiap tindakanku dan menjudge diriku berdasarkan perspektifnya sendiri. 

“Bukti? Apa perlu aku tunjukkan CCTV agar kamu sadar akan perbuatanmu?!” serangnya. 

“Kami tidak melakukan kesalahan apa-apa, pak! Saya hanya belajar membuat kopi kesukaan bapak karena saya tidak mengerti menggunakan mesin kopi yang ada di pantry! Apa itu salah jika saya meminta tolong pada orang lain. Ataukah bapak berkeinginan untuk saya merusakkan alat elektronik milik perusahaan pada hari pertama saya bekerja? Lagipula apabila saya mau bermesraan berdua dengan dia, memangnya apa urusannya dengan bapak? Yang terpenting adalah saya bekerja dengan baik disini.”

“Saya rasa tidak ada hubungannya antara pekerjaan dan kehidupan asmara saya. Dan jika bapak berpikir saya disini hanya untuk mencari jodoh, lalu untuk apa saya menolak tawaran bapak kemarin? Jika memang yang saya incar adalah harta, maka sejak awal saya sudah menerima untuk menjadi pacar bapak. Apabila menurut bapak perilaku saya diluar batas saya meminta maaf karena bersikap lancang di kantor.” terangku yang tidak terima dengan tuduhan itu namun mencoba untuk tetap bersabar dengan membungkukkan badanku. 

“Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya permisi.” pamitku dingin sambil berjalan keluar. Jika satu menit aku tetap berada dalam ruangan ini, aku tidak akan tahu apa yang akan aku perbuat pada dirinya untuk melampiaskan amarahku yang sedang berkobar. 

“Maafkan aku.” racaunya yang lantas membuatku berhenti melangkah keluar. 

“Apa? Bapak meminta maaf pada saya?” imbuhku tidak percaya.

“Iya, aku tidak suka apabila karyawanku  mempergunakan waktu kerja untuk bersenang-senang. Dan aku terbawa emosi melihat dirimu yang seperti mengabaikan perintahku demi kepentingan pribadimu.” kelitnya. 

“Baik, pak tidak akan saya ulangi lagi. Ada lagi yang perlu dipermasalahkan?” tuturku.
 
Meski dirinya sudah meminta maaf, entah mengapa aku masih merasa kesal dengan ucapannya tadi. Aku tidak bisa menerima perlakuannya begitu saja biarpun aku tahu dia begini karena keadaan. Sampai kapan aku bisa tahan dengan sikapnya seperti ini? Pantas saja tidak ada sekretaris yang bekerja lama untuknya. Siapa juga yang mau lama lama bekerja untuk boss stress seperti dirinya. Sedikit sedikit marah sedikit sedikit main ancam.

“Lupakan, Fio.” hanya itulah yang bisa kukatakan pada diriku sekarang. Aku masih membutuhkan pekerjaan ini. Setidaknya sampai 6 bulan kedepan. Menyimpan amarah selama itu tentu tidak akan berdampak baik bagi kesehatan mentalku.

“Tidak ada, kau boleh keluar.” tegasnya dan akupun berjalan keluar dari ruangannya. Dengan raut muka kesal aku kemudian duduk di kursi kerjaku yang sontak membuat Helen mendekatiku. 

“Ada apa?” 

“Tidak ada apa-apa.” ujarku sambil menghela nafas. 

“Kamu sepertinya habis terkena teguran dari Pak Ryan. Benar-kan?” celetuknya yang cuma bisa kutanggapi dengan anggukan. 

Sweetest Fall Donde viven las historias. Descúbrelo ahora