Bab 7 : Nggak Peka

1.3K 158 3
                                    

Alin menguap berkali-kali, merasa bosan melihat sang ibu tengah melamun di sofa ruang keluarganya. Entah mengapa beliau datang ke rumahnya, ditanya malah jawab ngelantur.

Biasanya jam begini ibunya tengah berada di butik, restoran, atau pergi nongkrong dengan teman sosialita. Namun, kali ini tidak, Alin sedikit dibuat bingung dengan sikap tersebut.

"Udah jam 4 sore, Bu, serius belum mau pulang?" tanyanya.

Devi menghela napas berat. "Kamu tahu ...." Lagi-lagi ucapannya menggantung.

Alin memutar bola mata, benar-benar bosan. Sudah sejak pagi ibunya berada di sini, tetapi belum juga mengatakan tujuan dan maksud. Beruntung sekarang Livano sedang bersama orang tua Key, membuat Alin tak kerepotan membagi perhatian pada ibu dan anaknya.

"Mana aku tahu, Ibu aja nggak ngasih tahu," gerutunya, sedikit bernada kesal.

Devi lagi-lagi menghela napas berat. "Abangmu, kemarin malam dia bilang sesuatu ke ibu, matanya berkaca-kaca kayak mau nangis." Akhirnya keluar juga penjelasannya.

Alin berpindah tempat dari singgel sofa, ke sebelah ibunya yang duduk di sofa panjang. Rasa penasarannya semakin memuncak, baru kali ini Alin mendengarkan bahwa abangnya menangis.

Apakah pemicunya adalah perjodohan?

"Bang Dav ngomong apa?" tanyanya.

"Dia bilang, kenapa Ibu nggak introspeksi diri sebelum jerat dia," Devi menatap Alin, meminta bantuan untuk mencari jawaban, "terus, dia nyuruh Ibu cari tahu kenapa bisa dia seberengsek kemarin."

Bibir Alin lurus tanpa emosi, jawaban dari semua itu, mungkin hanya Alin yang tahu. Sebelum abangnya pergi menuntut ilmu ke luar negeri, mereka sering berbagi perasaan dan pikiran.

Sebagai bungsu yang membutuhkan perhatian, Arion selalu ada di sebelahnya. Ketika Alin mengatakan akan segera menikah sebab hamil di luar nikah, abangnya adalah orang pertama yang merasa sakit dan gagal.

Namun, meski begitu emosinya tak ditunjukkan kepada Alin, melainkan pada Keyvano yang hampir babak belur dibuat sang kakak. Arion juga lebih memilih meluapkan emosi pada perilaku tak terpuji, seakan tengah menghukum ayah mereka atas dosa yang dilakukan Alin.

"Bu," ucapnya pelan, "tujuan perjodohan ini untuk apa, sih?"

Meski awalnya ini adalah ide darinya, tetapi Alin ingin kembali mendengarkan tujuan dari semua rencana tersebut. Ia menginginkan kejujuran, bahkan sekecil apapun alasannya harus tersampaikan padanya.

"Biar abangmu serius kerja," jawab Devi.

"Terus?" Alin bertanya dengan nada menuntut.

"Biar dia berhenti jadi berengsek, berhenti main sama perempuan nggak jelas. Kasihan ayah sering sakit kepala mikirin dia yang nggak mau jadi penerus perusahaan, cuma karena mau main sama perempuan-perempuan itu." Devi menjelaskan dengan wajah kesalnya.

Alin paham, semua ini demi kebaikan abangnya. Namun, ada satu hal yang membuat ia terdiam merenung. Seorang Arion tak ingin menjadi penerus perusahaan keluarga mereka, itu pasti ada hubungannya dengan ketidaksukaan pada ayah dan ibu dalam membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan.

"Ibu tahu alasan abang jadi kayak gitu?"

Devi menggeleng. "Emang ada alasannya?"

Ia menghela napas kasar, ternyata ibunya ini tak punya kepekaan. Sebagai seorang ibu pasti tahu apa yang anaknya rasakan, bertanya jika sang anak berubah, atau mungkin memberi pengertian di saat salah.

Namun, inilah keluarga yang dimiliki Alin, sejak dulu dan hingga sekarang. Status keluarga hanya ada dalam selembar kertas, pada kenyataannya tak ada kehangatan yang dinamakan keluarga.

"Kalau kamu tahu alasannya, kasih tahu ke Ibu sekarang." Devi sedikit memaksa.

Alin tersenyum kecut. "Buat apa?"

"Ya ... biar Ibu sama ayah bisa nyusun rencana selanjutnya, dan nentuin kita masih butuh Fidelya atau enggak."

Alin tertawa kecil. "Aku rasa udahan aja sampai sini, Bu. Biar aku yang jelasin ke abang, Ibu nggak perlu repot-repot cari tahu alasan abang."

"Loh, kenapa gitu? Kamu mau berkhianat?" Devi protes.

Alin tak lagi mengatakan apapun, mulutnya terkunci sempurna. Lebih baik membersihkan rumah daripada meladeni wanita itu. Semakin tua, semakin tak peka.

Ini yang namanya jika sudah terbiasa tak peduli, maka selamanya akan seperti itu.

---

Vote dan komen.

Bisa baca cerita Alin di JEBAKAN BUCIN Kanalda_ok

Aku mau push rank dulu 😌

Jebakan Pak CEO (END)Where stories live. Discover now