Bab 8 : Mengakui

1.2K 161 3
                                    

Arion baru saja tiba di rumahnya sekitar pukul 20.45. Ada Alin yang menunggu di teras, tatapan bertanya ia layangkan, adiknya itu malah tersenyum miris melihat keadaannya.

Alin melangkah mendekatinya, pelukan hangat diberikan. Arion semakin dibuat bertanya, pasalnya Alin tak pernah seperti ini, saat dalam keadaan baik. Perasaannya jadi tak karuan, memikirkan ada sesuatu yang terjadi pada Alin.

"Kenapa?" tanyanya sembari membalas pelukan itu.

"Bang, udahan, ya," Alin menghela napas berat, "lakukan apa yang Abang pengin, nggak usah marah lagi ke ayah."

"Maksudnya?" Arion melerai pelukan mereka, bahunya memegang pundak sang adik dan menatap matanya.

Sudah lama mereka tak pernah sedekat ini, mengetahui ada pria lain yang bisa menjaga adiknya, sedikit membuat Arion lega. Meski begitu, sampai kapan pun, ia tak akan melepaskan pengawasan pada Alin, begitu yang sering dikatakannya kepada Key.

"Sebenarnya, aku yang saranin ayah buat jodohin Abang. Tapi maksud aku baik, aku nggak mau Abang jajan sembarangan di luar," aku Alin, "tapi nyatanya, ayah sama ibu punya alasan lain selain itu."

Arion tersenyum kecut, sudah ia ketahui apa yang diinginkan orang tuanya. Menjadi penerus perusahaan yang bisa diandalkan, sejak dulu mereka menginginkan itu.

"Dan sebenarnya, perjodohan itu cuma bohongan. Jadi ... Abang nggak perlu nyari cewek itu, sampai kapan pun dia nggak bakal nongol di depan Abang," tambah Alin.

Menghela napas, Arion menyembunyikan kekecewaannya dalam anggukan dan senyum tipis menggantung di bibir. Selama ini ia mencari jawaban, dan sekarang sudah didengarkannya.

Sakit memang, tetapi mau diapa, Arion bukan anak kecil yang harus menangis meraung ketika mainannya hilang. Perempuan banyak di luar sana, meskipun sampai sekarang Arion belum menemukan perempuan yang mampu membuatnya terpaku dalam sekali tatap, selain Fidelya, tentunya.

"Bang," Alin menggoyang lengan abangnya, "ngomong, dong."

Arion tertawa kecil. "Ngomong apa?"

"Kecewa nggak?" tanya Alin.

"Dikit," Arion kembali menghela napas, "tapi, Lin, kayaknya rencana kamu berhasil, Abang jatuh cinta ke Fidelya dan udah berhenti main-main di luar."

"Iya, aku tahu kalau soal itu." Alin menunduk, merasa bersalah membuat abangnya sibuk mencari sang cinta.

"Jadi, Abang putusin tetap nyari Fidelya. Soal pekerjaan, besok adalah penentuan."

---

Arion menyumbatkan telinganya menggunakan earphone, memutar musik rock, untuk menghindari kemarahan di luar kamar.

Ketukan di pintu tak digubrisnya, bahkan teriakan memanggil namanya pun tak diindahkan. Arion masih tenang mendengar musik yang mengalun, seakan segala kekesalannya telah diteriakkan oleh penyanyi tersebut.

Malam itu, sebelum kembali ke rumah, Arion menaruh surat pengunduran diri di atas meja CEO. Ia putuskan untuk keluar dari belenggu, memulai hidup baru dengan ilmu yang sudah didapatkannya.

Cukup terlambat, setelah sekian lama baru Arion sadar bahwa pemberontakan itu tak akan pernah membuat orang tuanya peka.

Lagi pula, tugas Arion telah selesai. Adiknya sudah menikah, memiliki pria yang bisa melindungi. Tak ada lagi alasan baginya untuk terus berada di sebelah ayah dan ibunya.

Pintu dibuka dengan paksa, punya kunci serep, mungkin. Dari ekor mata Arion bisa melihat pintu terbuka, dengan perlahan ia bangkit dan duduk di tepi ranjang.

Dilihatnya wajah sang ayah merah karena amarah, meski begitu ia belum juga ingin melepaskan earphone. Dibiarkan pria itu terus mengoceh, di detik berikutnya beliau runtuh ke lantai.

Arion terkejut bukan main, ayahnya memegang dada kiri, dengan napas terengah. Spontan ia mendekat, biar bagaimanapun rasa sayangnya kepada beliau masih tetap ada, meski langit runtuh, tak ada yang bisa memutuskan hubungan orang tua dan anak.

"Ayah!" teriaknya, khawatir.

---

Vote dan komen

🥲 aku dikejar deadline
Astagaaa sakit kepalaku

Gak apa, demi masa depan yg cerah.

Jebakan Pak CEO (END)Where stories live. Discover now