Bab 24 : Buang Emosi

1K 153 2
                                    

"Gue baik-baikin malah malu-maluin," gerutu Fidelya ketika baru saja masuk ke dalam kamar indekosnya.

Perlakuan Arion yang mengejutkan tadi, mau tak mau menjadi bahan tontonan para pelanggan dan karyawan kafe. Fidelya malu bukan main, tak tahu harus menyembunyikan wajahnya di mana. Saat di mobil, dirinya memarahi Arion, tetapi lelaki itu seakan tak peduli dan malah terus memasang wajah senang sepanjang jalan.

"Aku mandi dulu," ucap Arion yang kini tengah melepas sepatu, "kamu juga, entar selesai mandi aku langsung cari makan. Kamu tungguin aku, ya."

"Terserah lo, gue kesel banget," Fidelya mendengkus, "besok gue harus gimana? Pasti mereka pada ketawa liatin gue." Mencebik kesal.

Namun, meskipun kesal, ada separuh hati yang ingin mengatakan terima kasih, sebab Arion menjadi tamengnya ketika menghadapi Alniyah. Pernikahan adalah satu-satunya cara untuk lepas, tetapi nyatanya Alniyah sengaja datang untuk mempermalukannya di depan umum.

Fidelya menjatuhkan diri ke atas kasur, kemudian berbaring untuk melepaskan penat. Diliriknya Arion yang tengah melepaskan kemeja, tersisa kaus putih polos di sana. Otot tangan lelaki itu terlihat begitu kekar, tatapan Fidelya beralih pada wajah Arion. Hidung mancung, alis cukup tebal, dan tubuh menjulang tinggi, wajahnya khas orang Indonesia, tetapi ketika tersenyum, ada banyak perempuan yang mengagumi, layaknya aktor Korea Selatan.

"Kenapa liatin aku kayak gitu?" tanya Arion.

Tertangkap basah tengah memperhatikan lelaki itu, Fidelya hanya menghela napas berat. "Cuma mau nanya, kenapa harus gue?"

Arion tersenyum manis. "Nggak tahu," jawabnya, penuh kejujuran, "tapi dari awal ketemu, aku maunya kamu, bukan Alniyah."

Fidelya memutar bola mata. "Berapa banyak cewek yang lo gombal kayak gitu?"

Lelaki itu menggeleng. "Cuma kamu doang," akunya.

Tidak menggubris ucapan itu, Fidelya mengalihkan pembicaraan. "Ngomong-ngomong soal Alniyah—"

"Nggak usah dibahas," sela Arion, cepat, "aku nggak mau denger."

Fidelya tersenyum kecut, setelah itu bisa dilihatnya wajah Arion yang seketika menjadi merah, pertanda tengah menahan emosi. Keadaan itu sama seperti tadi, Arion marah untuknya, yang sebenarnya Fidelya sudah tidak peduli lagi apapun yang keluar dari mulut Alniyah atau saudara tiri yang lainnya.

Ucapan Alniyah tadi masih terngiang-ngiang di telinga. Sebagai orang yang selalu mendapatkan pujian, tentu saat ini batin Arion tengah terluka karena mendapatkan hinaan tepat di depan wajah. Fidelya mengerti dengan perasaan Arion, sebab ia pernah mengalaminya.

Di mana Fidelya yang selalu bersama ibu dan neneknya, diperlakukan dengan sangat baik, ketika ditinggalkan satu per satu oleh mereka, Fidelya dijemput sang ayah untuk dilindungi, yang ternyata malah mendapatkan perlakuan tak baik dari saudara dan ibu tirinya. Saat itu, batinnya sangat terluka, sebab baru kali itu mendapatkan cacian dan hinaan.

"Aku nggak suka kamu digituin," ucap Arion sebelum masuk ke kamar mandi, "aku janji, nggak bakalan malu-maluin kamu lagi."

***

Fidelya merasakan tangan mengalungi perutnya, kemudian sebuah kecupan mendarat di tengkuk. Geli bukan main, ia berbalik untuk memberikan peringatan pada Arion, tetapi tertahan sebab lelaki itu menyembunyikan wajah di punggungnya.

"Gue nggak suka," ketusnya.

"Aku janji nggak kasar-kasar," Arion terdengar memohon, "salah sendiri tadi kamu godain aku."

"Gue nggak ada godain lo," sanggah Fidelya, melemparkan tangan Arion yang berada di perutnya.

Arion mendesis. "Galak amet, sih," memeluk Fidelya dengan sangat erat, "aku cuma mau kamu, nggak ada yang lain."

Fidelya mengerti, seks pun dibutuhkan dalam rumah tangga, hanya saja tidak termasuk pernikahan yang tengah mereka jalani saat ini. Jika Arion bersedia, maka Fidelya masih harus berpikir panjang.

Ia kembali merasakan kecupan di tengkuknya, nyatanya Arion tidak mendengarkan peringatannya. Fidelya menyikut, biar bagaimanapun ia adalah wanita dewasa yang juga penasaran bagaimana rasanya dibuai oleh pasangan. Bersama Arion mungkin ia percaya bisa dibawa melambung tinggi dalam kehangatan, tetapi semua tak semudah itu.

"Lo bisa cari perempuan lain di luar sana, kalau mereka nggak mau, lo bisa ke tempat laki-laki hidung belang ngumpul."

Fidelya berusaha menjauh, usahanya itu berhasil karena Arion tidak menghentikannya. Lega bukan main, ia hendak bangkit untuk menjauh, tetapi terhenti karena ternyata Arion lebih dulu bangkit dari kasur tersebut.

"Kamu bener-bener nggak percaya sama aku?" Nada bicara Arion terdengar sangat sedih.

Sebenarnya Fidelya percaya pada Arion, hanya saja ia belum yakin pada perasaannya sendiri. Memberikan mahkotanya, dan kemudian merasakan tak suka pada Arion, sama saja ia rugi besar. Namun, jika dipikir, Fidelya pun tak ingin merasakan jadi janda di umur yang masih terbilang muda.

Lelaki itu berjalan ke kamar mandi, Fidelya menatap punggung lesu itu. Arion adalah laki-laki yang baik, setelah mendengarkan cerita dari Keyvano, penilaiannya terhadap Arion meningkat drastis. Namun, hatinya masih terpahat belum memiliki rasa lebih, selain detak jantung yang tak ingin kembali normal sebab sentuhan lelaki itu.

Ia menjadi bingung dengan perasaan ini, sangat bingung. Dalam kebingungan itu, Fidelya bangkit dari berbaringnya, berjalan mendekati kamar mandi. Wajah terluka Arion ikut mengusiknya, Fidelya menempelkan telinga di pintu kamar mandi, tak mendengarkan apapun dari dalam sana.

Pintu tiba-tiba terbuka, Fidelya terkejut bukan main dan hampir jatuh ke lantai kamar mandi jika saja Arion tidak menangkap tubuhnya.

"Kamu ngapain?" tanya Arion.

Fidelya melepaskan tangan Arion yang melingkari pinggulnya. "Mau gosok gigi," ujarnya, salah tingkah sudah tertangkap basah.

Arion tersenyum. "Ya udah, bareng. Aku juga belum gosok gigi."

"Tapi jangan ganggu," ancam Fidelya.

"Iya." Arion tersenyum senang.

***

Helloooww

Jangan lupa baca Jebakan Bucin jugaaaa

Jebakan Pak CEO (END)Where stories live. Discover now