Bab 14 : Memaksa

1.2K 154 3
                                    

Fidelya berkali-kali mendengkus kesal melihat ponselnya bergetar, pertanda seseorang menghubunginya. Semakin tak dipedulikan, semakin membuat kesal. Ia menolak telepon dari Kadava, pria itu malah menggunakan ponsel Callia, asisten pribadi, bahkan sekertaris kantor, hanya untuk berbicara dengannya.

Kali ini entah menggunakan ponsel siapa lagi, tiap kali diterima, sudah pasti yang terdengar hanyalah suara pria itu. Fidelya ingat, dirinya pernah diganggu seperti ini, ketika sang mama telah berpulang dan Kadava terus memaksanya untuk tinggal bersama di rumah istri pertama.

Berkali-kali menolak, Fidelya memilih bekerja untuk menyambung hidup, di saat masih duduk di bangku SMA. Namun, pada kenyataannya, ayah kandung Kadava malah turun tangan, dan menarik paksa dirinya untuk pergi ke rumah penuh kebencian itu.

Fidelya tak tahan tinggal bersama ibu tiri dan saudaranya. Apapun itu disalahkan padanya, padahal diam adalah aktivitas yang sering dilakukannya di rumah tersebut. Serta, hampir setiap hari Fidelya mendengarkan nama mamanya disebut sebagai pengganggu hidup, bentuk kesialan, dan sebagai anak dirinya harus menanggung dosa sang mama.

Ini tidak adil, begitulah pikir Fidelya. Bukan dirinya yang berbuat salah di masa lalu, ia pun tak bisa memilih lahir dari rahim siapa, atau berasal dari sperma siapa. Jikapun diberikan kesempatan memilih, tentu akan dipilihnya terlahir dari keluarga normal, saling menghargai dan mencintai.

"Ngelamun," tegur Key.

Fidelya hanya melirik pria itu tanpa semangat, biasanya ia akan menyunggingkan senyum untuk menyambut kedatangan Key yang bisa dibilang jarang, sebab bosnya itu lebih sering berada di kafe yang berada di Jakarta Pusat.

"Ada telpon, tuh," Key menunjuk ke arah ponsel yang berada di atas meja, "penyakit masalah?"

Fidelya meraih ponselnya, kali ini telepon dari orang yang berbeda. Nama kontak Penyakit Masalah ia tujukan pada kakak ipar Keyvano. Ya, meski yang menelepon orang berbeda, tetap saja Fidelya tidak akan mengangkat telepon tersebut.

"Lo ngapain ke sini? Inspeksi mendadak?" tanya Fidelya, sembari memasukkan ponsel ke dalam tasnya.

"Enggak, gue cuma mampir doang, di depan ada istri dan anak gue lagi singgah istirahat." Keyvano menjawab dengan ramahnya.

Ya, inilah sosok yang dicintai Fidelya, si murah hati, pekerja keras, dan sangat mencintai sang istri. Jujur, ia sangat cemburu pada Alin, perempuan yang dulu dikejar mati-matian oleh Keyvano, sampai melupakan orang sekitar dan diri sendiri.

"Kalian habis jalan-jalan?"

Keyvano mengangguk. "Gue cabut dulu, ya, kasihan Alin nungguin."

"Key," sela Fidelya.

Ia spontan memanggil ketika mendengarkan nama Alin. Ada perih di dada, nama Alin diucapkan Keyvano seperti sebuah mantra dari ketulusan, siapapun yang mendengarkan pasti tahu ada begitu besar cinta di sana, tetapi bagi Fidelya itu adalah neraka.

"Ya?" Keyvano yang hendak menuju pintu, kembali menoleh pada Fidelya.

Bibirnya membentuk garis lurus, tak tahu harus berkata apa. Fidelya menghela napas berat, ditatapnya Keyvano begitu lekat. Seharusnya sejak dulu ia telah melepaskan pria itu, hanya saja rasa ini enggan untuk meninggalkan pemilik hati.

"Menurut lo ... gue harus angkat telepon tadi atau nggak?" tanyanya.

Keyvano menyengir. "Menurut gue angkat aja, soalnya gue yang bakal direpotin sama abang gue."

Fidelya membuka bibir, terkejut temannya itu tahu siapa yang dimaksud sebagai Penyakit Masalah.

"Jangan bilang ke abang lo," ancamnya.

"Soal nama kontaknya penyakit masalah?"

Ia mengangguk. "Bisa-bisa dia maksa nyuruh ganti."

Keyvano tertawa kecil. "Yang sabar hadapi kakak ipar gue, karena sekali niat, dia nggak bakal lepasin."

Fidelya mendengkus tak suka. "Lo bisa tegur dia?"

Pria itu tertawa kecil, kemudian mengangkat kedua tangan ke sisi kepala. "Nyerah, orang tua aja nggak bisa berhentiin dia," ujar Keyvano, kemudian kembali melanjutkan langkah keluar dari ruangan itu.

Fidelya menghela napas pasrah, membuang punggung ke sandaran kursi. Ponselnya tak lagi bergetar, mungkin orang-orang itu telah lelah mengganggu dirinya. Untuk saat ini ia bisa lega, dinonaktifkan ponsel tersebut, kemudian melanjutkan pekerjaan.

***

Pada rasa lelah yang ingin segera beristirahat, Fidelya berdecak kesal berkali-kali, ketika melihat seorang pria menunggunya tepat di depan pintu kamar kosnya. Entah dari mana beliau tahu hunian baru Fidelya, padahal seorang pun belum diberitahu olehnya.

Ya, lingkar pertemanannya sangat kecil, bahkan jika tak menjadi manager di Kafe Dialinda, mungkin ia sama sekali tak memiliki teman. Melihat Kadava mendapatkan alamat hunian barunya, sudah pasti pria itu menyewa seseorang untuk mencari tahu tentang dirinya.

"Ah ... akhirnya ketemu," Kadava menghela napas lega, "kenapa nggak angkat telepon Ayah?"

Fidelya menggenggam erat selempang tasnya, menatap pria itu tanpa senyum. "Sibuk," jawabnya, singkat.

Kadava tersenyum. "Cuma alasan, 'kan?"

"Saya selalu sibuk kalau Anda yang nelpon," Fidelya menarik napas lelah, "lagi pula, saya nggak ingat pernah ngasih tahu ke Anda tempat tinggal baru saya."

Di indekos yang dominan dihuni oleh para mahasiswa, Fidelya sengaja mencari hunian yang jauh dari tempat bekerja. Hal ini dilakukan agar Kadava berhenti mencari keberadaannya. Mengetahui nomor ponselnya itu sudah lebih dari cukup, selain dari itu Fidelya tak ingin ayah kandungnya ini mengetahui atau ikut campur dengan kehidupannya.

"Iya, Ayah kesulitan nyariin kamu. Kenapa nggak tinggal di apartemen yang Ayah kasih?"

Fidelya memicingkan mata, seharusnya pria itu sudah tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya. Namun, beginilah Kadava, selalu berbasa-basi entah untuk apa. Padahal, Fidelya sendiri sudah berkali-kali mengirimkan sinyal tak peduli.

"Maaf, Pak, saya capek, mau istirahat." Fidelya mengeluarkan kunci indekosnya dari dalam tas.

Pria yang masih mengenakan setelan jas itu, mengangguk dan memberikan ruang untuk Fidelya membuka pintu. "Ayah mau ngomongin soal Arion, kayaknya dia serius banget sama kamu," ucap Kadava.

Tangan Fidelya mengambang di udara, mendengar nama itu membuat geraknya terhenti. "Saya udah nolak dia. Jadi, apapun yang dia katakan pada Pak Dava, tidak perlu lagi cari saya buat ngasih tahu."

"Del," Kadava menghela napas berat, "bisa, nggak, sekali aja, kamu bicara ke Ayah nggak kayak bawahan ke atasan."

Bibir Fidelya mengerat, tak ingin membalas ucapan itu. Beliau memang tak pernah menelantarkan dirinya, sejak lahir hingga masih menempuh jenjang pendidikan, Kadava mencukupi semua kebutuhannya.

Namun, sejak mengetahui ia bukanlah anak yang lahir dalam keluarga harmonis dan sering mendapat cacian dari saudaranya, saat itu Fidelya sadar bahwa ia tak pantas mendapatkan status sebagai anak dari Kadava Abshari.

Meski begitu, yang namanya orang tua, pasti tak ingin sang anak menjadi seperti ini. Bukan hanya Kadava, ayah dari beliau pun selalu ingin mendekatkan diri pada Fidelya, seolah mengatakan bahwa ia pun punya hak di keluarga Abshari.

"Maaf, Pak, saya capek," Fidelya memutar knop pintu indekosnya, "permisi," ucapnya saat menutup pintu.

Sebelum pria itu benar-benar tertutup oleh pintu, Fidelya bisa melihat tatapan terluka yang telah dilihatnya berkali-kali. Namun, hal tersebut sama sekali tak pernah membuat hati ini luluh meski sebentar saja.

***

😍

Jebakan Pak CEO (END)Where stories live. Discover now